Ironi Penegakan Hukum
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik The University
of Melbourne
|
JAWA
POS, 06 Agustus 2015
KALAU pelaku kriminal saja tetap merasa ngeri ketika
diciduk polisi dan membayangkan dijebloskan ke dalam bui, apalagi orang tidak
bersalah yang dicap sebagai kriminal. Begitu batin saya saat menyimak kabar
tentang kasus Dedi bin Mugeni dan Dahlan Iskan.
Dedi didakwa mengeroyok dan membunuh, bahkan sempat
menghuni jeruji besi sekian bulan sebelum putusan hakim dianulir di tingkat
pengadilan tinggi. Sementara itu, Dahlan akhirnya menggenggam trofi keadilan
setelah memenangi gugatan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai
tersangka korupsi semasa menjabat direktur utama PLN.
Merujuk pada berbagai referensi, pantas untuk khawatir
bahwa Dedi dan Dahlan adalah dua di antara sekian banyak orang apes yang
telah dikenai tuduhan salah melakukan kejahatan (wrongful conviction).
Dedi, Dahlan, dan kebanyakan orang yang senasib masuk ke
dalam situasi yang sangat tidak menyenangkan itu karena lembaga penegakan
hukum masih saja terlalu mengandalkan kerja investigasi mereka dengan memburu
kesaksian dan pengakuan.
Padahal, timbunan riset memiliki benang merah temuan.
Yaitu, kesaksian dan pengakuan adalah benda yang paling merusak dalam proses
pengungkapan kasus kejahatan. Sebab, kesaksian dan pengakuan, sebagai produk
pemberian informasi, bersumber dari proses kognitif manusia yang realitasnya
sangat rentan mengalami fragmentasi dan distorsi. Ekstremnya, dalam proses
tersebut, yang tidak ada bisa menjadi ada, demikian pula sebaliknya, terjadi
dengan berbagai penyebabnya.
Yang kerap terabaikan dalam –sebutlah– kasus salah tangkap
adalah reaksi korban kejahatan. Awam beranggapan, korban tidak ambil pusing
siapa pun yang divonis bersalah. Sebab, fokus kebutuhan korban adalah balas
dendam.
Namun, yang mengejutkan, sekian banyak riset justru
menemukan, menyusul terungkapnya aksi salah tangkap yang dilakukan penegak
hukum, korban merasakan penderitaan yang lebih dalam ketimbang saat mereka
mengalami kejahatan itu sendiri.
Tekanan batin korban kejahatan tersebut bisa berupa
perasaan bersalah karena telah menyengsarakan orang lain. Bisa pula perasaan
takut bahwa si korban salah tangkap akan mengincarnya sebagai sasaran
pelampiasan rasa sakit hati.
Juga, perasaan terteror karena pelaku kejahatan yang
sesungguhnya ternyata masih berkeliaran. Apa pun variasinya, itu merupakan
kondisi ironis. Yakni, langkah penegakan hukum malah mendatangkan perasaan
tidak aman bagi korban kejahatan, terlepas aksi salah tangkap itu disebabkan
kekhilafan maupun kesengajaan sebagai ulah individual personel atau sebagai
operasi terencana organisasi.
Perasaan terancam jiwanya yang dialami korban sangat
beralasan. Acker (2013), misalnya, menyatakan, ketika aksi salah tangkap
berlangsung, penjahat yang sebenarnya justru bebas tak tersentuh hukum,
bahkan mengulangi aksi kejahatannya.
Dalam situasi kelak jika dia tertangkap, rentang waktu
yang jauh antara aksi kejahatan dan penangkapan tetap menguntungkan si
penjahat karena bukti dan saksi sudah menghilang. Proses pembinaan yang
dikenakan otoritas penjara –jika ada– pun tidak begitu berfaedah. Sebab, di
dalam diri pelaku telanjur terjadi pemapanan citra diri ’’positif’’.
Yakni, dia mampu menaklukkan otoritas penegak hukum.
Karena itulah, setelah terjadi aksi salah tangkap, instansi penegakan hukum
tetap harus terus berupaya menangkap pelaku kejahatan yang sesungguhnya.
Aksi salah tangkap tentu juga berdampak buruk terhadap
negara, terutama lembaga penegakan hukum. Sebagai perbandingan, di Amerika
Serikat saja, belum semua negara bagian memiliki ketentuan baku tentang
unsur-unsur yang harus dimasukkan ke dalam kompensasi negara bagi korban
salah tangkap.
Dalam salah satu insiden salah tangkap tahun lalu di
Central Park, New York, saat lima remaja kulit hitam dan keturunan Latin
dipenjara karena ’’terbukti’’ memerkosa, negara dibuat keluar keringat dingin
karena harus menggelontorkan puluhan juta dolar sebagai ganti rugi bagi
anak-anak muda malang tersebut.
Anggaplah bahwa negara sanggup membayar ganti rugi kepada
korban salah tangkap dalam besaran yang benar-benar pantas (dan itu pasti
tidak sedikit!). Namun, pada saat yang sama, kerugian negara karena runtuhnya
kepercayaan publik terhadap lembaga penegakan hukum sungguh-sungguh tak
terbilang besarnya.
Krisis kepercayaan masyarakat, pada gilirannya, akan
mempersulit otoritas penegak hukum untuk membangun kemitraan. Akibatnya,
kemampuan preemtif dan preventif mereka dalam mengatasi masalah kriminalitas
di tengah-tengah masyarakat menurun.
Memulihkan rasa aman dan kepercayaan masyarakat melibatkan
kerja besar. Dan, sebagai wujud kesungguhan lembaga penegakan hukum untuk menangkal
berulangnya aksi salah tangkap, dibutuhkan peran intens, khususnya dari tiga
unit kerja.
Pertama, unit inspektorat. Personel yang terlibat dalam
aksi ’’penjeblosan ahli surga ke liang neraka’’ harus diberi ganjaran sesuai
dengan tingkat kesalahan mereka. Hasil penindakan internal tersebut
selanjutnya diumumkan ke publik. Perkataan ’’maaf’’ secara terbuka semoga
menjadi sedikit penawar bagi masyarakat dan terutama korban salah tangkap.
Kedua, unit pendidikan dan pelatihan. Pembenahan terhadap
kurikulum yang berkaitan dengan investigasi kasus perlu diprioritaskan.
Materi khusus tentang kompleksitas psikologis di dalam ruang pemeriksaan
–seperti yang pernah diberikan selama beberapa waktu di Sekolah Tinggi Ilmu
Kepolisian– patut dipertajam.
Ketiga, unit sumber daya manusia. Sebagai gugus pelaksana
perekrutan sumber daya lembaga penegakan hukum, radar mereka harus mampu
menyaring bahwa hanya para kandidat dengan tendensi kekerasan
seminimal-minimalnya yang bisa bergabung ke dalam institusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar