Swasembada Pangan yang Menyejahterakan Petani
Noer
Fauzi Rachman ;
Ketua Dewan Pengarah Prakarsa Desa;
Peneliti
Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria;
Dewan
Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria
|
KORAN SINDO, 04 Juli 2015
Mengawali Juli 2015,
Badan Pusat Statistik (BPS) membuat suatu pengumuman yang menjadi rujukan
awal untuk mengevaluasi pilihan kebijakan dan kerja keras kepemimpinan dan
jajaran Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Produksi padi pada
2015 diperkirakan naik sebesar 6,64% dibandingkan pada 2014. Pada 2015
sebesar 75,55 juta ton gabah kering giling (GKG), sedangkan pada 2014 sebesar
70,85 juta ton GKG, luas panen 2015 diperkirakan naik 512,06 ribu hektare
(3,71%). Produktivitas 2015 diperkirakan naik 1,145 kuintal/hektare (2,82%).
Produksi jagung
diperkirakan naik sebesar 8,72% dibandingkanpada 2014.
Pada 2015 sebesar
20,67 juta ton dan pada 2014 sebesar 19,01 juta ton. Luas panen 2015
diperkirakan naik 160,48 ribu hectare (4,18%) dan produktivitas 2015
diperkirakan naik 2,16 kuintal/hektare (4,36%). Sementara produksi kedelai
diperkirakan naik sebesar 4,59% dibandingkan pada 2014. Pada 2015 sebesar
998.870 ton dan pada 2014 sebesar 955.000 ton. Luas panen 2015 diperkirakan
naik 24.670 hektare (4,01%) dan produktivitas 2015 diperkirakan naik 0,09
kuintal/hektare (0,58%).
Kepala BPS Dr Suryamin
M Sc menyampaikan, “Untuk pertama kali dalam 10 tahun terakhir tiga komoditi
(padi, jagung, dan kedelai) ini mengalami kenaikan secara bersamaan. Hal ini
karena program Upsus (Upaya Khusus) yang dilakukan oleh Kementerian
Pertanian.” Capaian produksi padi, jagung, dan kedelai 2015 itu telah
membangkitkan optimisme.
Perbaikan tersebut
tentu membuat kita yakin bisa pada suatu titik mencapai swasembada pangan dan
tak bergantung pada impor. Selama ini impor pangan telah menunjukkan
komplikasi ekonomi rente dalam perdagangan impor pangan dan kecanduan yang
parah. Pilihan kebijakan pertanian untuk mengatasi kesenjangan antara
ketersediaan/stok dan kebutuhan konsumsi dilakukan bukan dengan cara
pengadaan komoditas pangan melalui impor melalui perdagangan internasional,
melainkan dengan cara menggenjot produktivitas dan frekuensi penanaman,
dengan perbaikan prasarana dan sarana pertanian, distribusi pupuk, racun
hama, dan asintan (alat mesin pertanian).
Angka produksi padi,
jagung, dan kedelai itu diyakini telah membuktikan keampuhan formula itu.
Meski keampuhan jalan ini terbukti, keberhasilan pemerintah juga akan
ditentukan oleh ampuh dan tidaknya cara yang dipergunakan untuk mengatasi
ketidakpuasan dan permainan dari pemain-pemain impor pangan yang telah
menikmati kekayaan dari privilese mereka selama ini.
Tantangan untuk Menyejahterakan Petani
Mencapai swasembada
bisa saja dengan memaksa petani menjadi produktif dan meningkatkan frekuensi
penanaman, dengan perbaikan prasarana dan sarana pertanian, serta distribusi
pupuk, racun hama, dan asintan. Pengumuman BPS mengenai nilai tukar petani
pada Juni 2015 menunjukkan bahwa kesejahteraan petani belum meningkat signifikan
seiring dengan meningkatnya produksi pangan. Angka nilai tukar petani (NTP)
nasional Juni 2015 sebesar 100,52 atau naik 0,50% dibanding NTP bulan
sebelumnya. Kenaikan NTP sedikit ini, menurut BPS, karena indeks harga yang
diterima petani (It) naik sebesar 1,15% lebih besar dibandingkan kenaikan
indeks harga yang dibayar petani (Ib) sebesar 0,65%.
Swasembada pangan
tanpa meningkatkan kesejahteraan petani dapat membuat pemerintah digugat
legitimasinya bahwa peningkatan anggaran dan belanja Kementerian Pertanian
bukanlah untuk kesejahteraan petani, melainkan untuk mereka yang mengerjakan dan
membuat kebijakan dan menjalankan program-program pertanian. Petani pun hanya
diperlakukan sebagai objek kebijakan belaka.
Bagaimana cara
pencapaian swasembada pangan yang sekaligus menyejahterakan petani? Tak
mungkin terjadi kecuali dengan menempatkan petani itu sendiri sebagai subjek
yang berdaulat. Pembandingan antara Sensus Pertanian (SP) 2013 dan SP2003 menunjukkan
bahwa pengurangan jumlah rumah tangga petani berlangsung secara drastis,
yakni kurang lebih satu rumah tangga petani per satu menit. Mereka terpaksa
meninggalkan profesinya sebagai petani.
Ini krisis agraria
dari pertanian rakyat, yang utamanya karena empat hal utama, yakni konversi
tanah pertanian rakyat, usaha pertanian rakyat tidak menguntungkan, hilangnya
minat pemuda-pemudi untuk bekerja sebagai petani di pertanian rakyat, dan
perampasan-perampasan tanah pertanian rakyat untuk proyek-proyek perkebunan,
industri, pertambangan, infrastruktur, dan sebagainya.
Kementerian Pertanian
telah berhasil dipimpin dengan menjalankan Upaya Khusus (UPSUS) untuk
peningkatan swasembada pangan, namun belum sampai bisa menyelesaikan krisis
agraria dari pertanian rakyat itu. Bagaimana caranya UPSUS itu digaransi
sedemikian rupa dengan tambahan tujuan baru, yakni membuat pertanian rakyat
bisa menjadi sumber kesejahteraan petani?
Untuk itu, Kementerian
Pertanian tidak bisa bekerja sendiri. Petani harus dijamin kepastian haknya
atas tanah, termasuk petani dan pertanian rakyat yang berada di dalam kawasan
hutan negara, dan hidup dalam pengaruh sistem agraria perkebunan-perkebunan
raksasa. Mereka sama sekali belum pernah disentuh oleh kerja Kementerian
Pertanian. Tata guna tanah musti dipulihkan sedemikian rupa agar
fungsi-fungsi faali dari alam, terutama siklus air, bisa melayani pertanian
rakyat secara berlanjut.
Koperasi perlu
diarahkan mengurusi produksi pertanian. Desa bukan hanya mengurusi
pemerintahan, melainkan badan usaha milik desa (bumdes) perlu diefektifkan
untuk memberdayakan petani dan membuat pertanian rakyat benar-benar bisa menyejahterakan.
Jadi, kementerian/lembaga pemerintah harus bekerja sama, terutama yang oleh
mereka mengurusi sektor agraria, kehutanan, koperasi, dan desa. Dapatkah cita-cita
itu diwujudkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar