Mentahnya Pembatasan Dinasti Politik
Fadli
Ramadhanil ; Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi
|
KOMPAS, 04 Juli 2015
Semangat pembatasan
praktik dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah hampir dipastikan akan
mentah. Hal ini menyusul dikeluarkannya Surat Edaran No 302/KPU/VI/2015
perihal penjelasan beberapa aturan di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Kepala Daerah.
Ada beberpa butir
penting di dalam surat edaran (SE) tersebut yang justru kontraproduktif
dengan semangat pembatasan praktik politik dinasti yang diusung di dalam UU
No 8/2015. Meskipun UU ini mempunyai kelemahan dalam substansi terkait
pengaturan hubungan bakal calon dengan petahana, setidaknya KPU tidak
memberikan tafsiran lain kepada ketentuan ini, yang berpotensi besar
menyebabkan pengaturan petahana tidak bisa diterapkan dalam pilkada
mendatang.
Regulasi tumpul
Adanya ketentuan yang
coba mengatur jadwal pencalonan kepala daerah bagi petahana dengan
keluarganya, tentu saja berbasiskan keinginan untuk menciptakan iklim
demokrasi yang lebih sehat di daerah. Apa yang terjadi di Banten dan
Bangkalan, Madura, misalnya, tentu menjadi pembelajaran bahwa dibutuhkan
mekanisme dan sistem pencalonan kepala daerah yang lebih seimbang. Petahana
yang memiliki akses yang lebih leluasa terhadap apa pun, telah menciptakan
praktik dinasti politik di daerah.
Namun, dengan
terbitnya SE KPU No 302/KPU/VI/2015, pengaturan pencalonan kepala daerah
untuk keluarga petahana akan menjadi ketentuan tumpul yang tak berguna. Dalam
SE tersebut, KPU menyebutkan, kepala daerah yang masa jabatannya berakhir
sebelum masa pendaftaran, mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir
yang dilakukan sebelum masa pendaftaran, dan berhalangan tetap sebelum masa
jabatan berakhir dan terjadi sebelum masa pendaftaran, tidak termasuk dengan
pengertian petahana yang dimaksud KPU dalam peraturannya.
Artinya, jika petahana
mengambil langkah atau berada dalam kondisi yang disebut di dalam SE KPU,
maka tidak ada halangan untuk keluarga petahana mencalonkan diri sebagai
kepala daerah di jabatan yang sama. Dengan batas penalaran yang wajar,
bentangan aturan yang muncul di atas akan sangat mudah untuk diakali oleh
bakal calon kepala daerah yang "sempat" terhalang dengan adanya
larangan mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.
Langkah yang paling
mudah untuk dilakukan tentu mengundurkan diri sebelum tahapan pelaksanaan
pilkada sampai pada masa pendaftaran
pasangan calon. Jika merujuk tahapan pelaksanaan pilkada yang disusun KPU,
pendaftaran pasangan calon dilaksanakan pada 26-28 Juli 2015. Jika berandai
secara sederhana, kalaupun 269 daerah yang akan melaksanakan pilkada 2015
terdapat bakal calon yang terhalang dengan ketentuan konflik kepentingan
dengan petahana, sangat mudah untuk disikapi dengan mengundurkan diri sebelum
26 Juli 2015.
Meski di dalam SE
tersebut juga diwajibkan adanya surat keputusan pemberhentian dari instansi
yang berwenang terhadap kepala daerah yang mengundurkan diri, tetapi semangat
pengaturan untuk menghindari munculnya dinasti politik di daerah sudah
mendekati kelumpuhan. Hal lain, adanya frasa di dalam SE KPU yang
"mementahkan" pembatasan dinasti politik adalah, persyaratan untuk
tidak punya konflik kepentingan dengan petahana, tidak berlaku bagi calon
kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran pasangan
calon.
Artinya, bagi kepala
daerah yang akhir masa jabatannya sebelum 26 Juli 2015, tidak dapat dijangkau
dengan pengaturan konflik kepentingan dengan petahana. Jika merujuk data 269
daerah yang akan menyelenggarakan pilkada, seperti dilansir KPU, maka 22
daerah dipastikan "terbebas" dari pengaturan konflik kepentingan
dengan petahana karena masa jabatannya habis sebelum 26 Juli 2015. Masing-
masing terdiri dari dua daerah provinsi, dua daerah kota, dan 18 daerah
kabupaten.
Persoalan sejak awal
Potensi mentahnya
pengaturan konflik kepentingan dengan petahana ini tidak berdiri sendiri. SE
KPU yang diterbitkan untuk menjelaskan PKPU No 9/2015 merupakan konsekuensi sempitnya
definisi petahana yang diinginkan DPR kala pembahasan PKPU No 9/2015.
Kalau memang ingin
sungguh mengatur praktik dinasti politik, hal-hal prinsip semestinya diatur
jelas di tingkat UU. Misalnya, soal definisi petahana. Dalam kondisi masa
jabatan kepala daerah yang masih tidak bersamaan, DPR dan pemerintah haruslah
mampu merumuskan norma yang dapat mengatur hal tersebut dalam pengaturan
petahana.
Hal penting lainnya
yang mesti diatur pada tingkat UU adalah batasan dan kondisi di mana seorang
kepala daerah bisa gugur identitas petahana atas dirinya. Salah satu keadaan
yang mesti diatur adalah ketika seorang kepala daerah meninggal dunia atau
keadaan yang membuat yang bersangkutan berhalangan tetap lainnya. Rumusan ini
tentunya juga mesti disinkronkan dengan pengaturan di UU pemda yang detail
mengatur terkait masa jabatan kepala daerah.
Jawaban atas persoalan
tersebut sebenarnya dapat disandarkan pada Mahkamah Konstitusi. Proses uji
materi terkait ketentuan Pasal 7 huruf r UU No 8/2015 terkait dengan petahana
sudah memasuki tahapan akhir pemeriksaan di MK. Sebaiknya MK segera
memutuskan persoalan ini. Kita tentu berharap, putusan MK nantinya mampu
menjelaskan pentingnya prinsip pengaturan konflik kepentingan dengan
petahana.
Lebih dari itu,
putusan MK juga diharapkan mampu secara mendalam memberikan jawaban atas
kebutuhan pengaturan dan batasan dalam ketentuan bahwa bakal calon kepala
daerah disyaratkan tidak punya konflik kepentingan dengan petahana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar