Laknat Korupsi
Moh
Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN SINDO, 04 Juli 2015
Meskipun hukum pidana
Islam (jinayat) tidak berlaku di
dalam hukum positif Indonesia, tetapi sebagai bagian dari ilmu banyak juga
yang mempelajarinya, terutama di pondok pesantren. Di beberapa fakultas
hukum, apalagi di fakultas syariah, fiqh
jinayat bahkan menjadi mata kuliah tersendiri. Melalui media sosial
sangat banyak juga masyarakat yang menanyakan kemungkinan pemberlakuan
ancaman dan penjatuhan hukum pidana Islam bagi pelaku kejahatan di Indonesia.
Misalnya soal hukuman bagi kejahatan narkoba dan kejahatan korupsi.
Apa ancaman hukuman
pidana korupsi menurut hukum Islam? Bisakah dihukum mati atau dihukum potong
tangan seperti jenis-jenis hukuman yang berlaku di dalam hukum pidana Islam?
Jawabannya, tentu saja, jinayat
atau hukum pidana Islam tidak berlaku sebagai hukum di Indonesia. Di Indonesia,
hukum pidana Islam bukanlah hukum dalam arti "peraturan resmi yang
berlaku dan mengikat", melainkan sekadar bagian dari objek ilmu hukum
yang bisa dipelajari secara akademis.
Terhadap kejahatan
korupsi di Indonesia tidak bisa diberlakukan hukum pidana Islam. Tetapi
usulan agar pelaku tindak pidana korupsi dijatuhi hukuman mati memang bisa
saja diberlakukan, bukan karena ada di dalam jinayat, melainkan didasarkan
pada undang-undang yang dibuat oleh bangsa Indonesia sendiri.
Bahkan untuk hukum pidana
yang berlaku sekarang ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi memang sudah
ada di Indonesia, yakni di dalam UU Nomor 30/2002 tentang Tindak Pidana
Korupsi.
Di dalam undang-undang
tersebut ancaman hukuman bagi pelaku korupsi adalah hukuman penjara paling
lama 20 tahun atau seumur hidup, tetapi bisa juga dijatuhi hukuman mati jika
korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya dalam keadaan krisis.
Untuk sekadar
diketahui, sebagai ilmu dapat dikemukakan bahwa hukum pidana Islam sama
sekali tidak menentukan jenis hukuman apa bagi pelaku korupsi.
Jenis-jenis hukuman di
dalam Islam terdiri dari qishash, hudud (had), dan ta’zir.
Qishash adalah penghukuman pidana secara sama dengan pidana yang
dilakukannya yang biasanya terkait dengan kejahatan terhadap fisik manusia,
misalnya, yang membunuh dijatuhi hukuman dibunuh juga, yang membuat cacat
tubuh dijatuhi hukuman pencacatan tubuh.
Adapun hudud adalah
penghukuman yang jenisnya ditentukan dalam kualitas tertentu sesuai dengan
jenis perbuatannya, misalnya, penzina yang masih bujang dicambuk
masing-masing 100 kali, pencuri dipotong tangan, penzina muhshan (sudah punya
istri atau suami) dirajam sampai mati.
Di luar ancaman
hukuman yang sudah ditentukan berdasar qishash dan hudud ada jenis hukuman atau
penghukuman berdasar ta’zir, yakni,
hukuman yang ditetapkan oleh hakim berdasar pertimbangannya sendiri sesuai
dengan kualitas atau berat dan ringannya tindak pidana yang dilakukan.
Penghinaan terhadap
orang lain atau penggelapan dokumen, misalnya, tidak ada jenis hukumannya
yang pasti di dalam hukum pidana Islam. Begitu juga kejahatan narkoba, tidak
ada ancaman hukumannya yang bisa dijadikan patokan oleh hakim. Dalam tindak
pidana yang tidak ada patokan penghukuman itulah hakim bisa membuat hukuman sendiri
berdasarkan ta’zir, yakni hukuman
yang ditentukan sendiri oleh hakim sesuai dengan penilaiannya atas tindak
pidana tersebut.
Bagaimana dengan
tindak pidana korupsi? Seperti dikemukakan di atas, banyak yang mengusulkan
agar koruptor dijatuhi hukuman potong tangan karena hakikat korupsi itu sama
dengan mencuri.
Ada juga yang
mengusulkan koruptor dijatuhi hukuman mati karena kejahatan tersebut tak
kalah kejam dari pembunuhan, bahkan korupsi itu bisa berskala pembunuhan
terhadap banyak orang.
Jika dikaitkan dengan
tiga jenis pemidanaan (qishash, hudud, dan ta’zir) maka jelas bahwa tindak
pidana korupsi tidak masuk dalam penghukuman dengan qishash atau hudud.
Artinya, menurut hukum pidana Islam pun sebenarnya tindak pidana korupsi
termasuk dalam lingkup ta’zir, yakni tindak pidana yang hukumannya bisa
ditentukan oleh hakim secara kasus per kasus.
Dengan kewenangan
menghukum berdasar ta’zir hakim bisa menjatuhkan hukuman pidana kepada
koruptor secara bervariasi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Yang melakukan
korupsi karena kemiskinan (by need), misalnya, menaikkan harga pembelian
kertas atau alat tulis lain yang jumlahnya tidak banyak karena ingin membayar
uang sekolah anaknya bisa hanya dijatuhi hukuman ringan seperti denda.
Tetapi yang melakukan
korupsi karena keserakahan atau kerakusan (by greed) sampai miliaran atau
ratusan miliar rupiah bisa dijatuhi hukuman berat seperti pemenjaraan selama
bertahun-tahun, bahkan dijatuhi hukuman mati.
Jadi jenis hukuman
atas korupsi, karena tidak masuk dalam qishash dan hudud, maka bisa juga
dilakukan dalam bentuk penghukuman mati, jika berdasar rasa keadilan yang
digalinya, hakim menganggap layak untuk itu.
Meski korupsi tidak
termasuk dalam hukuman qishash atau hudud, Islam menganggap korupsi merupakan
kejahatan yang sangat serius. Nabi Muhammad SAW menyatakan korupsi itu
terlaknat, dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.
Laknat tentu lebih
berat daripada hudud atau qishash, sebab laknat itu dijatuhkan untuk
perusak sekelas iblis. Pelaknatan atas iblis, misalnya, disebutkan di dalam
Alqur’an Surat Alhijr ayat (35) ketika Allah berfirman kepada Iblis, ”Laknatlah atasmu sampai hari pembalasan.”
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar