Pimpinan KPK: Penyidik & Penuntut Umum
Romli Atmasasmita ;
Guru Besar Emeritus; Anggota Dewan Pakar Partai Nasdem
|
KORAN
SINDO, 27 Juli 2015
Pendekatan normatif terhadap UU
KPK Tahun 2002 menegaskan bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut
umum (Pasal 21 ayat 4). Ketentuan ini menetapkan status hukum pimpinan KPK
bukan sekadar pimpinan suatu organisasi melainkan berwenang melaksanakan tugas
secara pro-justitia.
Atas dasar pendekatan normatif,
kelima pimpinan KPK memiliki tugas dan wewenang yang sangat luas yaitu
melaksanakan tugas manajerial dan tugas yang bersifat projustisia.
Kelima pimpinan KPK kini tengah
menghadapi “kendala” berkaitan tugas penyidikan yang dilakukan penyidiknya
sehingga ada usulan penarikan kembali penyidik KPK berasal dari kepolisian
dan kejaksaan.
Ketika KPK jilid I maka setiap
proses pemeriksaan dalam rangka penyidikan selalu dimonitor sampai tuntas
oleh Tumpak H Panggabean salah satu pimpinan KPK, sehingga tidak ada muncul
kesan hambatan proses penyidikan yang ditengarai berasal dari penyidik.
Letak masalahnya adalah monitoring
salah satu pimpinan KPK secara terus-menerus dan intensif serta memberikan
arahan kepada tim penyidik melalui sistem online internal sehingga diperoleh
hasil penyidikan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Struktur organisasi KPK tampak
sebagai “struktur organisasi yang gemuk” karena terdiri atas lima pimpinan;
empat deputi dan satu sekjen; dua belas direktur direktorat dan lima biro
dilengkapi dengan tiga satgas (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan).
Mengamati struktur organisasi KPK
tersebut maka memang organisasi KPK didesain sebagai lembaga permanen, bukan
lembaga adhoc sebagaimana awal ide
pembentukannya, sebagaimana dicantumkan dalam bagian menimbang UU KPK (huruf
b).
Dilihat dari efisiensi dan
efektivitas fungsi pengawasan maka terjadi kesenjangan (span of control) yang panjang/jauh dari pimpinan kepada
satgassatgas yang dibentuk. Gelar perkara berulang-ulang kali pada setiap
tahapan penyelidikan ke penyidikan dan tahap penyidikan ke penuntutan
merupakan puncak dari pengambilan keputusan oleh pimpinan KPK.
Gelar perkara pada tahap
penyidikan dan penuntutan merupakan proses yang penuh risiko tinggi (high risk) karena keberhasilan gelar
perkara pada kedua tahap terakhir sangat ditentukan oleh batas waktu masa penahanan
sesuai dengan KUHAP.
Atas dasar pertimbangan tersebut,
langkah penahanan tersangka oleh KPK harus sangat ekstrahati-hati, yang dapat
mengakibatkan harus dikeluarkannya tersangka dari penahanan jika kedua proses
tersebut melebihi batas waktu perpanjangan waktu penahanan.
Monitoring dan arahan pimpinan
yang bertanggung jawab pada bidangnya, terutama bidang penyelidikan dan
penyidikan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan tugas dan wewenang KPK;
bukan terletak pada satgas-satgas yang dibentuk baik secara individual maupun
secara kolektif.
Dalam konteks inilah saya melihat
struktur organisasi KPK layaknya suatu kementrian atau direktorat jenderal
sehingga “span of control“ terlalu
panjang. Sekalipun sistem online internal banyak membantu akan tetapi
tidaklah cukup untuk suatu tugas projustisia yang rentan terhadap batas waktu
penahanan dan tekanan masyarakat yang tidak henti-hentinya (social pressures) dan tekanan politik
(political pressures) dalam kasus
korupsi yang melibatkan anggota partai politik.
Perampingan (streamlining) adalah solusi pertama
untuk mengatasi kesenjangan pengawasan dalam organisasi KPK sehingga pimpinan
sesuai dengan tanggung jawabnya dapat secara langsung terjun memimpin proses
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Sejak pembentukannya, sampai saat
ini tidak pernah ada satu kesempatan saya melihat pimpinan KPK duduk sebagai
penuntut pada sidang pengadilan tipikor sebagai bukti kepiawaian hukum dan
kelayakan sebagai pimpinan KPK di hadapan publik dan sekaligus membuktikan
kepada publik bahwa korupsi benar-benar merupakan kejahatan luar biasa.
Atau mungkin belum pernah pimpinan
KPK memeriksa tersangka langsung sampai selesai penyidikan. Mengapa tidak?
Gelar perkara di KPK bukanlah sekadar proses pelaporan kemajuan penyelidikan
dan penyidikan.
Tahapan tersebut seharusnya
merupakan bentuk pertanggungjawaban hukum kinerja tim penyelidik atau tim
penyidik kepada pimpinan sekaligus media evaluasi dan introspeksi kinerja
pimpinan KPK itu sendiri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai
penyelidik, penyidik, dan penuntut umum sesuai dengan UU KPK.
Merujuk status hukum pimpinan KPK
maka jabatan pimpinan KPK harus berasal dari Polri dan Kejaksaan. Dua unsur
tersebut tidak dapat dinafikan apalagi putusan praperadilan di PN Jaksel
telah menguatkan UU KPK dan menguatkan status hukum tersebut.
Putusan praperadilan telah
menyatakan bahwa untuk seorang pegawai penyelidik dan penyidik saja harus
berasal dari Polri, apalagi untuk unsur pimpinan yang juga adalah penyidik
dan penuntut umum.
Menjadi masalah hukum bagi KPK
jilid IV jika kedua unsur anggota pimpinan tidak berasal dari Polri dan
kejaksaan, karena akan dengan mudah dipraperadilankan sehingga setiap
tindakan hukum pimpinan KPK yang bersifat kolektif dapat dibatalkan dan tidak
memiliki kekuatan hukum sama sekali.
Apalagi, pimpinan KPK harus dan
wajib memimpin gelar perkara dan memutuskan langkah pro-justitia dalam setiap
tahap mulai penyelidikan, penyidikan, sampai penuntutan.
Harus diingat pula bahwa jaksa
sebagai peuntut umum pada KPK berdasarkan UU KPK tidak memiliki kewenangan
sebagai penyidik sama sekali (Pasal 51 ayat [3] UUKPK).
Kondisi ini berbeda dengan status
hukum jaksa sebagai penuntut umum pada Kejaksaan Agung yang masih tunduk
secara mutlak pada UU Kejaksaan, sedangkan jaksa pada KPK juga penyidik Polri
telah diberhentikan sementara dari instansi asalnya (Pasal 39 ayat 3 UU KPK).
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar