Benarkah Manusia Indonesia Pendendam?
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Juli 2015
DENGAN membaca situasi sosial, politik, dan keagamaan di
Indonesia saat ini, sangat sulit untuk tidak mengatakan bahwa tidak ada
mentalitas buruk yang sulit dihapus dari kejiwaan manusia Indonesia, yaitu
pendendam. Nurcholish Madjid, salah satu ilmuwan Islam yang banyak mengkaji
suasana politik kebangsaan Indonesia, pernah berujar bahwa kondisi psikologis
orang Indonesia, terutama para pemimpinnya, ada dalam posisi saling mengunci
dan saling mengintai (grid-lock
situation) terhadap kesalahan dan aib masing-masing di masa lalu. Akibatnya,
suasana gaduh tak pernah berhenti berdetak karena kebencian dan dendam, terutama
yang diakibatkan faktor politik masa lalu, selalu memiliki peran terhadap
situasi dan kondisi yang berlaku saat ini.
Hiruk-pikuk itu ditandai, misalnya, dengan rivalitas
KPK-Kepolisian, rivalitas antarpartai, antarsuku, dan antaragama yang
semuanya seolah memiliki nama agama dan seolah memiliki alasan yang paling
rasional untuk melakukan tindakan paling benar.
Namun, mereka lupa untuk mengatasnamakan kemanusiaan
sejati. Kalau tak karena dendam, pastilah negeri ini akan aman dan damai, baldatun thayyibatun warabbun gafur.
Namun, karena aman dan damai (baldah
thayyibah) tak kunjung datang, ampunan Tuhan pun (rabbun gafur) pasti tak
akan sampai. Jadi, jelas sekali hubungan antara yang material dan inmaterial
serta yang wujud dengan yang gaib. Itu selalu menjadi dua prasyarat yang
tidak bisa dinisbikan antara satu dan lainnya. Dendam ialah prasyarat yang
tak pernah bisa dilepaskan sekaligus dilupakan para pemimpin politik dan
keagamaan kita hingga saat ini.
Dendam merupakan penyakit keturunan manusia yang sengaja
disisipkan Tuhan melalui setan. Perasaan dendam itu sama dengan cinta, tak
pernah ada kata yang bisa mendefinisikannya secara pas. Karena dendam
menyangkut kumpulan rasa, terkadang kehadirannya tak bisa kita duga dan sapa
secara pasti dan nyata. Dendam pula yang membuat hati jutaan manusia selalu
menduga-duga, ada apa di balik setiap peristiwa. Yang nyata dari sebuah
dendam hanya tampak pada hasilnya yang sering kali destruktif, tak peduli
benar atau salah. Pertanyaannya sekali lagi ialah apakah benar manusia
Indonesia ialah manusia pendendam?
Tidak bisa dimungkiri, betapa sulit mengidentifikasi
sifat-sifat orang Indonesia. Pasalnya, Indonesia terbangun di atas fondasi
perbedaan suku, budaya, agama, dan tempat tinggal yang saling terpisah dan
sejarah perjuangan yang berbeda-beda. Artinya, mereka memiliki kepribadian
yang berbeda-beda juga.
Mochtar Lubis pernah menulis 12 sifat orang Indonesia.
Meskipun penuh dengan kontroversi, beberapa di antara sifat itu sangat dekat
dengan perilaku dendam sebagaimana kita saksikan dalam belantara kehidupan
sosial-politik dan hukum di Tanah Air.
Misalnya, sifat hipokrit atau munafik, seperti yang
ditunjukkan perilaku buruk para penegak hukum kita yang pandai bersilat lidah
mengatasnamakan hukum. Namun, di belakang kita, kelakuan mereka sungguh luar
biasa tak menunjukkan keteladanan sama sekali. Tak sesuainya kata dengan
perbuatan merupakan ciri utama manusia munafik. Jika kesalahan mereka
ditunjukkan, mereka bukannya menerima kebenaran, melainkan malah cenderung
mencari-cari kesalahan orang lain, lagi-lagi atas nama hukum. Selain sifat
munafik yang dikatakan Mochtar Lubis, ada dua sifat lain yang juga dekat dan
berkait dengan dendam, yaitu dengki dan sombong. Pendendam biasanya memang
sering mengedepankan perilaku sombong dan dengki dengan kebenaran yang
dimiliki orang lain.
Perilaku keteladanan
Kondisi psikologis semacam itu sungguh tak mudah untuk
dikikis, apalagi jika tak dibenahi dari aspek pendidikan. Dalam pendidikan,
semuanya harus dimulai dengan kejujuran. Pasalnya, hanya kejujuran yang mampu
melahirkan manusia-manusia dengan perilaku keteladanan yang baik.
Lemahnya keteladanan merupakan ciri lain dari dendam, baik
di bidang hukum, politik, sosial, maupun keagamaan. Publik harus diingatkan,
misalnya, dengan sikap keteladanan yang pernah dilakukan seorang Jusuf Kalla
dalam Pilpres 2009. Dari aspek kompetensi, pribadi Jusuf Kalla juga
menyiratkan dua hal sekaligus, yaitu kompeten di bidang ekonomi yang
dikuasainya (a hard dimension) dan
pada waktu yang bersamaan beliau juga memiliki sikap dan sifat yang elegan
sebagai seorang negarawan yang menjunjung tinggi budaya negeri (a soft skill dimension).
Definisi kompetensi menurut Naresh Makhijani competency can essentially be defined as
having both job-related technical skills (a hard dimension) as well
as attitudinal and behavioral components (a soft dimension) kiranya tak cocok dengan perilaku dan sikap
kenegarawanan Jusuf Kalla dalam mengedepankan rasa persatuan kebangsaan. Hal
itu sangat terlihat dari dialog Jusuf Kalla dengan SBY pasca-Pemilihan
Presiden 2009, yaitu keinginan JK untuk menjalin tali silaturahim lebih
kental daripada memelihara rasa permusuhan dan persaingan untuk menjadi
presiden.
Pribadi JK yang juga penting dan patut ditiru sivitas
akademika di sekolah dan perguruan tinggi ialah sifat respek, mau menghargai,
dan mengakui kelebihan orang. Beliau memberi ucapan selamat kepada SBY atas
kemenangannya. Orang dengan kecenderungan sikap dan sifat semacam ini tentu
saja akan merasa jauh dari kekurangan, jauh dari rasa kalah, dan akan terus
menjadi pemenang.
Bukankah seorang pemenang sejati ialah mereka yang lebih
banyak memberikan orang lain kesempatan untuk menunjukkan pengabdiannya
dengan tulus dan ikhlas? Karena itu, layak jika para guru mau memetik
pelajaran berharga itu dan menjadikan sikap respek atau menghargai orang lain
sebagai substansi bahan ajar yang harus ditubuhkan dalam budaya sekolah kita.
Negeri ini membutuhkan banyak sekali orang seperti Jusuf
Kalla yang mau bekerja dengan pikir sekaligus zikir serta tak memelihara rasa
dendam, takut, dan permusuhan. Mahasiswa dan siswa kita perlu diajak lebih
banyak membaca sehingga mereka tak tertular virus dendam politik yang membuat
mereka lebih banyak bolos masuk kelas karena terlalu sering berdemo atas nama
rakyat.
Namun, sesungguhnya mereka diam-diam sedang mengubur masa
depan mereka. Jelas sekali bahwa potret pendidikan berkaitan erat dengan
tingkat kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi. Demokrasi akan hancur jika
para pemimpinnya terus memelihara rasa dendam yang tak berkesudahan. Semoga
Idul Fitri tahun ini akan lebih banyak memberikan kesadaran kepada para
pemimpin kita untuk tidak memelihara dendam, tetapi lebih mengutamakan
menghargai kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar