Perang Melawan Korupsi Pengadaan Barang & Jasa
Ade Maman Suherman ;
Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
(Unsoed)
|
KORAN
SINDO, 27 Juli 2015
Korupsi pengadaan barang dan jasa
pemerintah seakan masih menjadi agenda yang terlewatkan dalam isu besar
pemberantasan korupsi. Seringkali langkah pemberantasan korupsi terjebak pada
hilir atau akibat tanpa membereskan hulu permasalahan atau sebab. Padahal,
korupsi pengadaan barang dan jasa justru merupakan grand corruption.
Ini adalah hulu permasalahan dari
rentetan panjang kasus korupsi yang sistemik, dan berdampak pada mandeknya
pembangunan fisik dan buruknya kualitas infrastruktur pemerintah.
Riset dari Michael Buehler (2012)
mengenai reformasi sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah dan merujuk
data Indonesia Procurement Watch
(IPW) menunjukkan 70% praktik korupsi berakar dari sistem pengadaan barang
dan jasa pemerintah.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), dari
560 kasus korupsi sepanjang 2013 dengan angka kerugian negara sebesar Rp7,3
triliun rupiah, 40,7% (228 kasus) merupakan kasus yang berkaitan dengan
korupsi pengadaan barang dan jasa.
Dari 1271 tersangka, sekitar 47,6%
(605 orang) merupakan tersangka korupsi pengadaan barang dan jasa. Fakta
lain, berdasarkan Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK 2014, penanganan
berdasarkan jenis perkara menunjukkan dari 58 perkara korupsi sepanjang 2014,
15 di antaranya kasus korupsi pengadaan barang dan jasa.
Sisanya berupa 5 kasus untuk
korupsi perizinan, 20 untuk penyuapan, 6 pungutan, 4 penyalahgunaan anggaran,
5 pencucian uang, dan 3 kasus merintangi pemeriksaan KPK. Namun, jika laporan
tersebut diteliti lebih jauh, perkara perizinan, suap, pungutan, dan
penyalahgunaan anggaran masih terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah
sebagai hulu permasalahan.
Dari korupsi pengadaan barang dan
jasa, terjadi banyak kecelakaan karena kualitas jalan raya yang buruk akibat
dana proyek yang dikorupsi. Hal yang sama juga terjadi misalnya pada jembatan
yang sudah roboh sebelum waktunya karena kualitas pengerjaan yang buruk jauh
di bawah standar kelayakan.
Korupsi pengadaan barang dan jasa
juga menyebabkan banyak gedung sekolah yang ambruk karena kualitas bangunan
yang buruk. Anggaran untuk infrastruktur pendidikan yang seharusnya digunakan
untuk mencerdaskan anak bangsa justru dikorupsi. Apa yang bisa kita harapkan
dari generasi dengan kualitas infrastruktur pendidikan yang buruk?
Potensi
Kebocoran APBN
Kemitraan
mencatat terdapat setidaknya tiga hal yang menyebabkan terjadi kerawanan
korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Pertama, melibatkan anggaran negara
yang sangat besar.
Kedua,
merupakan relasi transaksional ekonomis antara pemilik anggaran yang didukung
dengan kewenangan dan kekuasaan dan pihak penyedia barang dan jasa. Ketiga,
pengadaan hanya melibatkan sedikit pihak.
Dengan
demikian, ruang keterlibatan publik, transparansi, dan akuntabilitas dari
proses pengadaan sangat sulit untuk dapat diwujudkan. Pemerintahan Joko
Widodo mencanangkan era pembangunan infrastruktur dalam Anggaran Pendapatan
Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2015. Tidak tanggung-tanggung, dana yang digelontorkan
untuk infrastruktur mencapai Rp290,3 triliun.
Anggaran
infrastruktur ini yang terbesar sejak pemerintahan SBY dari 2005-2014. Tiga
kementerian yang mendapatkan porsi alokasi terbesar dari anggaran
infrastruktur ini adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Rp105 triliun, Kementerian Perhubungan Rp52,5 triliun, dan Kementerian Energi
Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar Rp5,9 triliun.
Pos
anggaran infrastruktur yang besar ini menunjukkan komitmen Presiden
mewujudkan pemerataan pembangunan di Indonesia. Namun, pada saat yang sama,
besarnya anggaran infrastruktur rentan menjadi lahan korupsi para mafia
proyek karena sistem dan mekanisme pengawasan yang masih belum menutup celah
korupsi pengadaan.
Memberantas dari Hulu
Kari
Heggstad, Mona Froystad, and Jan Isaksen (2010) membagi korupsi dalam
pengadaan menjadi dua level yakni korupsi birokrasi (bureaucratic corruption) dan korupsi politik (political corruption).
Korupsi
politik terjadi ketika pejabat yang memiliki kewenangan di level atas
menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi dan kelompok. Korupsi
pada level ini biasanya terjadi pada tahap perencanaan anggaran pembangunan
yang melibatkan eksekutif dan legislatif.
Lalu,
dari mana perang melawan korupsi pengadaan barang dan jasa ini dimulai? Apa
yang harus dilakukan untuk mencegah korupsi sejak di hulu? Pertama, komitmen
harus dimulai dari Presiden Jokowi. Lazim diketahui bahwa korupsi sangat erat
kaitannya dengan kekuasaan politik.
Karena
itu, dibutuhkan komitmen Presiden, one
and for all: tak ada pembagian jatah proyek atau kekuasaan bagi relawan,
tim sukses, atau lingkaran dekat Presiden. Semuanya diserahkan pada mekanisme
kompetisi yang aturannya sudah ditetapkan pemerintah.
Komitmen
ini penting untuk membatasi kekuasaan politik agar tidak memberi ruang
sedikit pun pada setiap potensi kecurangan pengadaan barang dan jasa.
Secanggih apa pun sistem yang diciptakan, selama masih ada fleksibilitas dan
celah untuk korupsi, potensi kebocoran akan tetap ada. Kedua, modernisasi
sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) selaku lembaga
berwenang dalam proses pengadaan barang dan jasa jangan sampai terjebak pada
formalitas kegiatan pengadaan dan sertifikasi, tapi seharusnya juga melakukan
perbaikan signifikan secara internal.
Perbaikan
yang urgen untuk segera dilakukan seperti modernisasi sistem manajemen
informasi pengadaan, integrasi database LKPP dengan KPK, BPK, dan institusi
pengawas lainnya, serta perbaikan sumber daya manusia (SDM) di Unit Layanan
Pengadaan (ULP) seluruh Indonesia.
Ketiga,
deteksi dini korupsi politik pengadaan barang dan jasa. Dalam hal ini KPK dan
LKPP harus menciptakan sistem yang terintegrasi untuk mendeteksi potensi
kecurangan dalam setiap tahapan pengadaan. Peran KPK dalam hal ini strategis
terutama dalam pencegahan dan penindakan korupsi politik.
Hal
ini karena political corruption biasanya
melibatkan kongkalikong antara oknum di eksekutif dan legislatif dari tahap
perencanaan sampai pelaksanaan proyek. Sistem deteksi dini kerja sama KPK dan
LKPP diharapkan mampu mencegah perencanaan anggaran yang dicurigai merupakan
bagian dari upaya korupsi politik, melalui pengadaan barang dan jasa baik di
pusat maupun di daerah.
Kita
berharap momentum pemilihan calon pimpinan KPK periode 2015-2019 dapat
melahirkan jajaran komisioner yang peduli terhadap perbaikan sistem pengadaan
barang dan jasa secara menyeluruh.
Jangan
sampai nurani publik terkooptasi dengan pengertian sustainable development (pembangunan berkelanjutan) yang keliru
yakni bangsa ini harus terus menerus membangun walaupun dengan kualitas dan
prosedur yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Perang
melawan korupsi pengadaan barang dan jasa harus dimulai sekarang atau
pembangunan bangsa ini akan terus tertinggal karena kualitas infrastruktur
yang buruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar