Mengapa Harus Takut pada KPK?
Victor
Silaen ;
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
|
KORAN SINDO, 04 Juli 2015
Sebagai bagian dari
masyarakat sipil, saya mengapresiasi kerja-kerja Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) selama ini dalam memberantas korupsi di negara yang dari tahun ke tahun
selalu berperingkat korupsi “lumayan tinggi” ini.
Saya salut ketika KPK
dipimpin oleh Antasari Azhar yang berani karena saat itu banyak “orang
penting” yang dijebloskan ke penjara akibat korupsi. Begitu pun ketika KPK
dipimpin oleh Abraham Samad yang garang, yang juga membuat banyak
penyelenggara negara mendekam di rumah prodeo. Boleh jadi karena itulah,
gagasan untuk mempreteli kewenangan KPK telah berkali-kali muncul ke
permukaan.
Pada 29 Juli 2011
misalnya Ketua DPR Marzuki Ali berkata begini: “Perlu dipikirkan kembali
apakah lembaganya (KPK) perlu dibubarkan, dan fungsinya kita kembalikan ke
lembaga-lembaga penegak hukum yang ada, dengan pengawasan yang lebih baik.”
Pernyataan yang kurang lebih sama disampaikan beberapa bulan kemudian oleh
Wakil Ketua Komisi III DPR Fachri Hamzah.
Ia bahkan mengatakan,
selama ini banyak anggota DPR yang tidak suka dengan keberadaan KPK. “Hanya,
mereka tidak (berani) seperti saya,” ucapnya. Pertanyaannya, benarkah banyak
anggota DPR yang tak menyukai keberadaan KPK? Mengapa demikian? Bukankah DPR
yang membidani kelahiran lembaga antirasuah ini? Mengapa kemudian justru DPR
sendiri yang ingin membubarkannya? Terus terang ini memunculkan kecurigaan,
jangan-jangan DPR khawatir jika makin lama, makin banyak anggotanya yang
dijerat KPK.
Kecurigaan ini
beralasan. Bukankah DPR ditengarai sebagai salah satu lembaga negara terkorup
di negara ini (antara lain menurut hasil survei lembaga kajian nonprofit
Populi Center, Januari 2015)? Kini gagasan kontroversial yang menyangkut
keberadaan KPK muncul kembali dari DPR melalui draf revisi UU KPK.
Memang, draf tersebut
sama sekali tak menyebut-nyebut pembubaran KPK. Namun, sejumlah kewenangan
KPK yang diusulkan untuk dipangkas maupun diubah niscaya membuat lembaga
independen ini tak lagi dapat diandalkan untuk berdiri di garda depan dalam
perang melawan korupsi. Tak pelak, sejumlah pihak dan kalangan pun menyatakan
protes dan keberatannya.
Syukurlah, akhirnya
pemerintah secara tegas menyatakan bahwa revisi UU KPK itu ditolak. Kini
publik boleh bernafas lega karena revisi UU tersebut tak dapat berjalan hanya
berdasarkan keinginan DPR. Diperlukan juga pembahasan bersama pemerintah,
dalam hal ini menteri hukum dan HAM, untuk merealisasikan usulan tersebut.
Sebenarnya kalau revisi yang diusulkan DPR bertujuan untuk menyempurnakan dan
memperkuat posisi KPK, kita layak menyetujuinya.
Sebaliknya, jika
revisi yang dimaksud secara langsung maupun tak langsung hanya ingin
melemahkan lembaga antirasuah ini, kita patut menolaknya. Kita harus mengakui
bahwa kian lama kian banyak orang yang bersimpati kepada KPK, terlepas dari
kelemahan dan kekurangannya. Jujur saja, publik lebih berharap banyak kepada
KPK daripada Polri dan Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi. Di sisi
lain, tak dapat disangkal bahwa publik kian lama kian muak terhadap para
wakil rakyat di lembaga legislatif yang rakus duit itu.
Tak heran jika wacana
pembubaran KPK atau revisi UU KPK, baik dulu maupun sekarang, seakan menjadi
bumerang bagi DPR sendiri. Sebenarnya KPK, sebagai lembaga negara, tak perlu
ada jika penyakit korupsi tidak semakin mengganas di negeri ini. Bukankah
karena praktik korupsi yang kian merajalela itu, keberadaan KPK diperlukan?
Ingatlah bahwa dalam upaya memberantas korupsi selama ini, negara telah
banyak membuat lembaga antikorupsi.
Pada era Soeharto ada
Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Komisi 4, dan akhirnya Operasi Tertib
(Opstib). Pasca- Soeharto dibentuklah Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK). Namun, baru membongkar kasus suap di dunia
peradilan, tak lama kemudian TGPTPK dibubarkan atas putusan Mahkamah Agung.
Pada era Abdurrahman
Wahid, sang presiden sendiri yang tersangkut kasus Bruneigate dan Buloggate
I. Masuk ke era Megawati Soekarnoputri, kembali muncul Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Hasilnya? Alihalih menyusut, praktik korupsi
malah makin menggila. Kalaupun ada yang berubah adalah korupsi di tingkat
atas (korupsi politik), dengan terjadinya transformasi korupsi dari oligarki
ke multipartai.
Jika dulu korupsi
lebih banyak melibatkan pemerintah dan Golkar, kini korupsi dilakukan secara
berjemaah: melibatkan banyak partai dan elite politik bersama mitra kerja
mereka di berbagai lembaga. Jika dulu korupsi berpusat di Istana dan
dikendalikan dari sana bersama dengan para kroni Soeharto, sekarang aktor
korupsi telah berserakan di semua kekuatan politik.
Berdasarkan itulah,
korupsi kemudian dipandang sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime). Kalau begitu,
upaya memerangi korupsi tentulah harus secara luar biasa pula. Korupsi harus
digempur dari berbagai aspek dan sistem, serta gerakan moral dan masyarakat
sipil yang harus makin digencarkan.
Kini sudahkah praktik
korupsi semakin berkurang? Agaknya anekdot ini benar: kini korupsi tak lagi
dilakukan di bawah meja, tapi justru di atas meja. Bahkan kalau perlu,
mejanya sekaligus disikat. Sinis, tapi benar. Atas dasar itulah, KPK
sebenarnya justru harus diperluas kewenangannya serta diperkuat komisioner
dan penyidiknya. Sebaliknya, jangan pernah berpikir untuk menggembosinya,
terutama menyangkut beberapa hal ini. Pertama, soal kewenangan penyadapan.
Jika kewenangan ini
dihilangkan, roh dari KPK dengan sendirinya hilang. Maka itu, alangkah
anehnya kalau ada yang berpikir KPK boleh menyadap, tapi harus mengajukan
izin dulu ke pengadilan. Kedua , KPK tidak perlu diberikan kewenangan untuk
menghentikan penyidikan perkara yang tengah ditangani.
Selama ini KPK melalui
undang-undang memiliki kuasa penuh dalam memberantas korupsi dengan nihilnya
kemampuan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Maka itu,
kalau kewenangan menerbitkan SP3 itu berlaku bagi KPK, dengan sendirinya KPK
pun seperti penyidik yang lain di kejaksaan atau di kepolisian.
Ketiga, soal
kepemimpinan KPK yang bersifat kolektif kolegial. Artinya, tidak perlu ada
aturan bahwa KPK dalam membuat keputusan penetapan tersangka korupsi
memerlukan penandatanganan dari semua komisioner di lembaga tersebut. Cukup
berjumlah minimal setengah plus satu. Itu seharusnya dapat diterima
keabsahannya.
Keempat , soal tidak
diperlukannya badan pengawas di KPK karena UU KPK tidak menyebutkan KPK
mempunyai badan pengawas, kecuali penasihat. Kelima , KPK harus tetap dijamin
kewenangannya dalam melakukan penyidikan (termasuk mengangkat penyidik)
sampai penuntutan. Pendeknya, selama praktik korupsi masih merajalela di
negeri ini, KPK yang sekarang tak sekali-kali boleh direduksi kewenangannya.
KPK juga tak boleh
digeser aktivitas utamanya dari pemberantasan menjadi pencegahan. Apalagi
huruf “P” dalam akronim KPK itu sendiri bermakna “pemberantasan”. Bukankah
melalui upaya pemberantasan korupsi sebenarnya upaya pencegahan sudah
otomatis tercakup di dalamnya? Akhirnya DPR perlu merenungkan pertanyaan ini:
kalau diri sendiri benar dan bersih, mengapa harus takut pada KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar