Khawatir Dana Desa Dikorupsi
Rusnadi
Padjung ; Staf Ahli Bidang Pembangunan dan
Kemasyarakatan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi
KOMPAS, 06 Juli 2015
Rusnadi
Padjung ; Staf Ahli Bidang Pembangunan dan
Kemasyarakatan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi
|
Sejumlah kalangan
mengkhawatirkan dana desa dikorupsi, yang dapat berujung pada terjeratnya
banyak aparat desa dalam kasus korupsi. Tidak ketinggalan, KPK, berdasarkan
hasil kajiannya, menunjuk 14 persoalan pengelolaan dana desa yang berpotensi
menjadi korupsi. Ke-14 persoalan tersebut di antaranya berhubungan dengan
pengawasan, pengaduan masyarakat, pertanggungjawaban, sumber daya manusia,
serta monitor dan evaluasi.
Sesungguhnya,
kekhawatiran bahwa dana desa dikorupsi mestinya tak muncul jika hakikat
pemberian dana desa dilihat pada perspektif yang benar, sesuai amanat UU Desa
(UU No 6 Tahun 2014). Dana desa adalah hak desa yang diberikan sebagai
konsekuensi logis dan ikutan dari rekognisi (pengakuan) dan subsidiaritas
yang diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum yang bernama desa.
Napas utama UU Desa
adalah rekognisi (pengakuan) dan subsidiaritas. Denganrekognisi, pemerintah
memberikan pengakuan kepada kesatuan masyarakat hukum yang bernama desa atas
prakarsa masyarakat, hak asal- usul, dan/atau hak tradisional. Sebagai
kesatuanmasyarakat hukum, desa bukanlah bawahan kabupaten/kota, melainkan
organisasi pemerintahan berbasis masyarakat (kombinasi self governing
community dan local self government) yang berhubungan langsung dengan
kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dengan subsidiaritas,
negara menyerahkankewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa.
Dengan demikian, terdapat sejumlah kewenangan yang jadi kewenangan desa tanpa
harus melalui proses pelimpahan (delegasi) urusan/kewenangan dari
kabupaten/kota. Batasan kewenangan lokal berskala desa yang jadi kewenangan
desa sebagian telah diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi (Permen Desa Nomor 1 Tahun 2015) tentang Pedoman
Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.
Atas pengakuan
(rekognisi) dan penyerahan kewenangan (subsidiaritas) itulah, maka negara
memberikan dana kepada desa, meliputi (i) alokasi APBN yang umum disebut dana
desa, (ii) bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota
(PDRD), dan (iii) alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana
perimbangan yang diterima kabupaten/kota (ADD).
Sejalan dengan
rekognisi dan penyerahan kewenangan yang diberikan kepada desa, pemerintah
seyogianya tidak ikut campur terlalu jauh atas pengelolaan dana desa.
Penggunaan dana desa merupakan hak dan kewenangan desa. Dana desa digunakan
oleh desa sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa),
Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa), serta Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa (APB Desa). Karena ketiganya disusun sendiri oleh desa
(pemerintahan dan masyarakat desa), cara paling efektif dalam pengawasan
implementasinya adalah oleh desa itu sendiri, dalam hal ini masyarakat desa.
Secara ekstrem,
pertanggungjawaban dana yangbersumber dari APBN ini sejatinya cukup dilakukan
dengan bukti yang menunjukkan dana telah masuk ke rekening kas desa (RKD).
Selanjutnya, merupakan kewenangan desa. Dari sisi sistem pengelolaan keuangan
negara, secara teknis ini mudah dilakukan dengan memperlakukan dana itu sebagai
anggaran dalam kelompok mata anggaran kegiatan (MAK) bantuan sosial. Dengan
memperlakukan dana desa sebagai bantuan sosial, urusan selesai begitu dana
diterima desa, dan tak ada aparat desa terjerat korupsi.
Memang, kita tentu
ingin agar anggaran yang sebenarnya relatif tidak terlalu besar itu—tahun ini
Rp 20,7 triliun untuk 74,093 desa dibandingkan APBN-P 2015 sekitar Rp 2.000
triliun—dapat digunakan secara efektif menyejahterakan rakyat sesuai tujuan
UU Desa. Untuk efisiensi dan efektivitas serta dalam rangka mendukung program
dan kepentingan nasional, pemerintah bisa saja memberikan arahan dan
rambu-rambu penggunaan dan pengelolaan dana desa sepanjang tak bertentangan
dengan napas kewenangan yang telah diberikan kepada desa.
Aturan bisa menjerat
Meskipun demikian,
terlalu banyak pengaturan justru dapat menjerat aparat desa tersangkut dalam
pengelolaan dana desa. Selain itu, aturan yang rumit akan menjadi
kontraproduktif karena menghambat proses pencairan dan pemanfaatan dana di
desa. Lebih dari itu, terlalu banyak aturan dapat menafikan eksistensi dan
kewenangan desa.
Sibuk mengurus aturan
dan pengendalian dana desa dapat mereduksi roh UU Desa. Implementasi UU Desa
dapat terjebak dalam hanya urusan mekanistik-administratif dana desa, padahal
dana desa hanya bagian kecil dari UU Desa.
Eksistensi dan
kewenangan desa harus diakui. Kecurigaan kepada desa harus disingkirkan
jauh-jauh. Melihat desa, aparat dan masyarakatnya, sebagai tidak jujur harus
dikesampingkan. Desa seyogianya tidak dipandang sebagai kumpulan orang yang
inferior. Desa memiliki kearifan lokal. Desa memiliki orang-orang yang
menjadi panutan. Di balik itu, betapapun tertinggal dan terisolasinya suatu
desa, pasti ada saja anggota masyarakatnya yang melek informasi dan memiliki
sifat kritis.
Sejumlah aturan yang
telah diterbitkan dalam rangka pengelolaan dana desa dapat dianggap lebih
dari cukup untuk memastikan dana tersebut dimanfaatkan dengan baik dan benar.
Aturan itu meliputi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2015 yang direvisi
dari PP No 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yangbersumber dari APBN,Permen
Desa No 3 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2015, serta
Permen Keuangan No 93 Tahun 2015 tentang tata cara pengalokasian, penyaluran,
penggunaan, pemantauan, dan evaluasi dana desa. Ujung dari semua aturan itu
adalah peraturan bupati/wali kota kabupaten/kota masing-masing mengenai tata
cara pembagian dan penetapan rincian dana desa setiap desa.
Desa telah siap
Tak dapat dimungkiri,
dana desa yang tadinya tak ada dan tiba-tiba muncul di RKD yang notabene ada
di bawah kendali aparat desa dapat membuat hijau mata segelintir oknum aparat
desa. Dana dapat diselewengkan oknum. Namun, di desa ada masyarakat yang
dapat melihat, menilai, melapor. Masyarakat pemilik dana itu yang sebelumnya
bersama menyusun APB Desa. Pengelolaan dana sesungguhnya bukanbarang asing
bagi desa. Bahkan, kelompok masyarakat, melalui Badan Keswadayaan Masyarakat,
dan Unit Pengelola Kegiatan sudahbiasa mengelola bantuan langsung masyarakat.
Serupa dengan dana desa, selama ini juga telah ada ADD yang disalurkan
langsung ke desa.
Melalui Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yang telah menyentuh
67.108 desa, masyarakat desa telah dikenalkan ke akuntabilitas dan transparansi
pengelolaan dana, termasuk tentang pentingnya menempelkan fotokopi rekening
dan rincian penggunaan dana di papan informasi. Menurut catatan, sekarang di
desa masih ada 13.000-an fasilitator PNPM Mandiri (nanti akan bernama
pendamping) yang melakukan pendampingan.
Melalui Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, tahun ini pemerintah
akan menambah 26.000 pendamping lokal desa. Salah satu tugas pendamping ini
adalah mendampingi desa dalam mengelola dana desa. Jadi, kekhawatiran dana
desa dikorupsi tidak perlu berlebihan dengan memasang terlalu banyak aturan
dan prosedur berbelit yang justru dapat menjerat aparat desa dan menjadi
kontraproduktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar