Rezeki
Samuel Mulia ; Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 21 Juni 2015
Di bagian belakang
sebuah truk tertulis kalimat yang membuat saya tersenyum kemudian berpikir
keras. ”Tuhan berikan aku
rezekimu. Cukup satu miliar saja.”
Tidak cukup
Cukup, adalah sebuah
kata yang sudah lama sekali menjadi sebuah kata yang digaungkan ke gendang
telinga oleh begitu banyak orang, ketika saya merasa tidak cukup dalam segala
hal. Ketika saya ingin memiliki hal yang lebih dari yang sekarang saya
miliki.
Waktu saya
berpenghasilan dua ratus lima puluh ribu rupiah, dua puluh tujuh tahun lalu,
saya berkeinginan memiliki penghasilan satu juta rupiah. Dengan berjalannya
waktu, saya pindah kerja, saya memiliki upah dengan nilai yang lebih dari
cita-cita itu. Tetapi itu tidaklah cukup. Demikian seterusnya.
Waktu upah saya masih
rendah dan berkeinginan memiliki lebih, itu semua gara-gara saya tak tahan
melihat orang lain bisa memiliki hidup yang berkelimpahan. Dapat membeli ini
dan itu dengan mudahnya, berlibur dari utara ke selatan tanpa berpikir
panjang. Saya hadir dalam acara-acara mereka yang serba mewah, di rumah
tinggal yang saking luasnya yang membuat saya bisa kehilangan arah di rumah
sendiri.
Bahkan minggu lalu
saya berkunjung ke sebuah area di Jakarta dan menyaksikan rumah besar dan
terbuka, yang garasinya saja lebih besar dari tempat tinggal saya dan memuat
lima mobil mewah di dalamnya.
Tak jauh dari rumah
itu terlihat kapal laut mewah, yang mampu menghanyutkan bayangan saya
berlayar bersama teman-teman dengan nyaman, dan yang membuat saya berucap dengan
suara lirih: ”Kapan ya Tuhan, saya bisa memiliki yang seperti ini.” Suara
lirih itu telah membuat teman yang sedang menyetir berkomentar: ”Lo ngomong
apa, bro?”
Sudah lama saya curhat
dengan Yang Kuasa dalam doa-doa dengan kalimat yang persis seperti kalimat
yang saya lihat dan baca di bagian belakang truk di atas. Tetapi kenyataannya
setelah sekian belas tahun meminta, hasilnya belum kelihatan.
Rezeki yang diberikan
masih belum cukup untuk membuat mata orang menjadi silau, bukan mata saya.
Karena kekayaan yang menyilaukan mata orang lain itu mampu membuat mereka
memberikan fasilitas lebih kepada saya, mampu membuat mereka menjadi teman
yang belum tentu setia, tetapi bisa menjadi dayang-dayang yang saya setia
setiap saat seperti deodoran.
Bersyukur
Setelah lama berdoa
dan bekerja, dan cita-cita memiliki rezeki yang berlimpah ruah itu belum
tercapai, maka kemudian saya berpikir untuk mengganti cara saya meminta dan
curhat kepada Yang Mahakuasa. Kali ini meminta dengan alasan yang mulia.
Saya menjelaskan bahwa
kalau saya ini hanya punya kekayaan yang hanya segini-segini saja, saya tak
bisa membantu orang lain yang membutuhkan dan sejuta alasan mulia lainnya.
Namun, doa sejenis itu yang sudah saya jalankan tiga tahun terakhir ini pun
tetap tak mampu membuat buku tabungan kalau selesai dicetak memesona mata
saya.
Maka seperti semua
aktivitas yang saya lakukan yang telah mencapai titik yang optimal dan tak
ada hasilnya, akan menurunkan semangat dan keinginan. Persis seperti setelah
menenggak obat penurun panas. Dalam kondisi seperti itu, yang ada hanya
ketidakinginan.
Bukan menerima
keadaan. Bukan juga mengundang akal sehat untuk berpikir lebih rasional.
Karena sampai hari ini saya tak bisa menerima. Saya tak bisa menerima bahwa
kehidupan saya ini begini-begini saja, terutama soal kekayaan.
Dalam kondisi seperti
itu banyak orang akan mulai menghakimi saya sebagai orang yang tak tahu diri.
Biasanya mereka membuat perbandingan antara kekayaan saya dengan orang yang
kurang dari apa yang saya miliki.
Atau mereka akan
mengatakan kekayaan itu tak mampu membuat saya berbahagia. Saya tak tahu dari
mana mereka bisa mengatakan itu, hanya karena melihat kondisi beberapa orang
kaya raya yang kehidupannya berantakan. La wong saya juga punya teman yang
bisa dikatakan sangat bersahaja saja, hidupnya juga tak kalah berantakannya.
Saya sendiri juga tak
tahu apakah mereka yang menasihati itu hanya ingin terlihat seperti malaikat,
padahal jauh di dalam hati, bisa jadi mereka juga ingin seperti apa yang saya
cita-citakan.
”Sebagai manusia,
merasa cukup itu enggak perlu. Itu enggak masuk akal. Manusia kok bisa
disuruh merasa cukup. Yang perlu itu, terutama kamu, harus belajar bersyukur
dan berhenti meminta. Orang yang bersyukur untuk hal kecil dan enggak
minta-minta kayak elo, bakal makin dikasih. Bersyukur itu awal kekayaan,
bukan meminta, tahu!”
Demikian suara dari
nurani saya. Saya sungguh tak tahu apa teknik usulan nurani itu bisa tokcer. Tetapi itu perlu dicoba. Siapa
tahu saya bisa kaya raya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar