Selasa, 23 Juni 2015

Penghalauan Kapal dengan Uang

Penghalauan Kapal dengan Uang

Hikmahanto Juwana  ;   Guru Besar Hukum Internasional UI
KOMPAS, 23 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Aparat intelijen Australia, sebagaimana dilansir oleh Sydney Morning Herald, diduga memberikan uang 5.000 dollar Amerika Serikat kepada nakhoda dan awak kapal warga Indonesia yang membawa para pencari suaka. Tujuannya agar kapal yang menuju Australia berbalik arah ke Indonesia.

Meski tidak menolak atau mengakui dugaan tersebut, Perdana Menteri Tony Abbott menganggap tindakan tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Australia. Abbott mengatakan, yang terpenting adalah kapal dapat dihentikan untuk masuk ke Australia (we have stopped the boats). Seolah segala cara dapat dibenarkan, termasuk perilaku koruptif dengan menggunakan uang.

Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop dalam pernyataannya atas insiden ini justru menyalahkan Indonesia. Indonesia salah karena tidak secara ketat menjalankan tugasnya menjaga wilayah laut. Logika yang digunakan Bishop, seandainya Indonesia ketat mengawasi wilayah lautnya, tidak mungkin terjadi dugaan insiden pemberian uang oleh aparat intelijen Australia kepada nakhoda dan awak kapal. Logika yang menggunakan cara berpikir anak-anak.

Banyak pihak di Indonesia dikejutkan dengan insiden ini. Tidak kurang dari Panglima TNI Moeldoko yang menyatakan ini merupakan modus baru dari Australia untuk menghalau kapal-kapal pencari suaka. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, jika apa yang dilakukan aparat intelijen Australia benar, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai "suap".

Wajar apabila para pejabat Indonesia terkejut mengingat Australia termasuk negara yang bersih. Bahkan, Indonesia banyak dibantu dalam upaya perang melawan korupsi. Sungguh ironis.

Namun, fakta ini menunjukkan negara yang mengklaim beradab, menghormati hak asasi manusia, dan kampiun dalam pemberantasan korupsi, ketika kepentingan nasional yang menjadi taruhan, segala slogan yang agung akan segera runtuh. Penghalalan segala cara akan dibenarkan.

Ini tentu menjadi preseden buruk. Negara besar seperti Australia ternyata hanya pandai berceramah kepada negara-negara yang lebih lemah, tetapi akan menafikan slogan-slogan peradaban dunia modern saat kepentingan mereka membutuhkan.

Bukan pertama

Dalam masa pemerintahan Abbott, bukan sekali ini saja penghalalan segala cara dalam kebijakan untuk menghalau kapal-kapal yang berisikan pencari suaka.

Pada Januari 2014 kapal perang Angkatan Laut Australia, saat menghalau kapal pencari suaka, memasuki wilayah kedaulatan Indonesia. Ini jelas merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia. Insiden ini selesai dengan permintaan maaf Panglima Angkatan Perang Australia kepada Panglima TNI.

Selanjutnya, pada Februari 2014 diduga dua kali Australia memasukkan para pencari suaka ke kapal sekoci berwarna oranye tanpa registrasi dan tanda kebangsaan. Sekoci ini kemudian didorong ke wilayah Indonesia.

Polisi melakukan investigasi terhadap pemilik sekoci oranye ini. Namun, karena kurangnya bukti, investigasi tidak diteruskan. Tidak ada pernyataan apa pun dari Pemerintah Indonesia terhadap Australia terkait sekoci yang berisi pencari suaka.

Terkait insiden terakhir dan merupakan insiden ketiga menjadi pertanyaan, patutkah Indonesia berdiam diri atau menganggap insiden ini sebagai tidak pernah ada?

Apabila mengacu pada kebijakan politik luar negeri bebas aktif yang telah diinterpretasi oleh pemerintahan Jokowi, yaitu semua negara adalah sahabat, sampai dengan kedaulatan Indonesia direndahkan dan kepentingan nasional dirugikan, maka tidak seharusnya kebijakan menghalalkan segala cara Pemerintah Australia didiamkan.

Opsi pemerintah

Lalu, apa saja opsi Pemerintah Indonesia?

Pertama, patut diapresiasi apa yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi yang memanggil Duta Besar Australia di Indonesia untuk memberikan penjelasan. Penjelasan tersebut hingga artikel ini ditulis belum diberikan karena Dubes Australia sedang meminta konfirmasi dari Canberra.

Demi kepastian, Menlu Retno Marsudi perlu memberikan batas waktu. Jangan kemudian Australia mempermainkan Indonesia dengan mengulur-ulur waktu. Harapannya tentu agar insiden ini terlupakan sebagaimana insiden-insiden sebelumnya.

Kedua, kepolisian harus tetap melanjutkan proses hukum terhadap para nakhoda dan awak yang diduga melakukan penyelundupan manusia.

Di saat bersamaan, kepolisian harus terus mendalami pengakuan nakhoda terkait dengan pemberian uang dan kesaksian para pencari suaka. Uang pemberian kepada nakhoda dan awak kapal harus disita dan disimpan untuk dijadikan barang bukti apabila kelak diperlukan.

Ketiga, jika berdasarkan berbagai barang bukti dan penjelasan dari Pemerintah Australia terdapat bukti-bukti kuat adanya pemberian uang oleh aparat intelijen Australia, Indonesia perlu mendesak agar Australia melakukan proses hukum terhadap siapa pun yang melakukan tindakan koruptif tersebut.

Desakan ini dilakukan mengingat Australia adalah negara peserta dari the Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air yang merupakan bagian dari Convention against Transnational Organized Crime. Aparat intelijen tersebut dapat dikualifikasi telah turut serta dalam kejahatan penyelundupan manusia.

Apabila Australia tidak mau (unwilling) melakukan proses hukum terhadap pelaku pemberi uang, maka tindakan aparat intelijen ini dapat diatribusikan sebagai kebijakan Pemerintah Australia. Artinya, penghalauan kapal pencari suaka yang menggunakan uang dan masuk kategori perilaku koruptif merupakan kebijakan Pemerintah Australia. Tentu ini akan mempermalukan Pemerintah Australia di mata dunia.

Terakhir, jika berbagai upaya yang dilakukan Indonesia ditanggapi secara dingin oleh Australia, Indonesia perlu membawa permasalahan ini ke tingkat internasional.

Di Dewan HAM PBB, Indonesia dapat menyampaikan praktik pelanggaran HAM para pencari suaka yang dilakukan dengan perilaku koruptif yang dilakukan oleh Pemerintah Australia.

Australia telah tidak mematuhi Konvensi tentang Pengungsi yang telah diikutinya. Cara licik Pemerintah Australia untuk tidak patuh dalam konvensi adalah dengan melabeli para pencari suaka sebagai imigran gelap. Tentu setiap negara mempunyai hak untuk menghalau imigran gelap memasuki negaranya secara ilegal.

Secara internasional, Indonesia juga dapat menyampaikan kepada badan PBB yang mengurusi pengungsi (UNHCR) dan negara-negara yang peduli terhadap nasib pencari suaka agar menekan Australia supaya mematuhi kewajibannya dalam Konvensi tentang Pengungsi.

Terakhir, masalah ini seharusnya menjadi kepedulian lembaga swadaya masyarakat baik di Indonesia maupun internasional. Kebijakan menghalau para pencari suaka adalah pelanggaran HAM yang tidak bisa didiamkan. Kecuali para pegiat HAM menyuarakan isu HAM dengan target negara berkembang dan negara kecil saja, tetapi tidak negara besar seperti Australia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar