Rabu, 10 Juni 2015

Perlunya Revitalisasi Pancasila

Perlunya Revitalisasi Pancasila

Sutrisno   ;   Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
KORAN JAKARTA, 03 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Hari lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945 - 1 Juni 2015 ini, perlu diperingati oleh bangsa Indonesia untuk menggugah kita: kembali menyadari pentingnya dasar negara Pancasila sebagai filosofi dan ideologi pemersatu bangsa dan negara. Ini tidak terlepas dari kondisi bangsa yang sejak era reformasi semakin jarang membahas konsep Pancasila, baik dalam konteks ketatanegaraan, kebangsaan, kemasyarakatan, maupun akademik.

Bahkan, ada anggapan bahwa Pancasila sudah usang dan ketinggalan jaman sehingga tidak lagi dihargai dan dijadikan pedoman hidup berbangsa. Masyarakat juga cenderung menilai pancasila hanya sekadar simbol negara dan hiasan dinding di kantor-kantor serta instansi pemerintah sedangkan nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalamnya tak lagi dihiraukan. Ada kecenderungan pula Pancasila telah dilupakan dalam praktek kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Benarkah Pancasila sudah dilupakan?

Hemat saya, Pancasila tak dilupakan. Yang terjadi adalah Pancasila belum pernah dilaksanakan secara utuh dan sempurna sampai saat ini oleh seluruh elemen bangsa. Jika kita jujur memberi penilaian, Pancasila sejatinya merupakan ideologi yang baik dan lengkap.

Dikatakan baik dan lengkap, sebab Pancasila adalah ideologi yang secara komprehensif mencakup berbagai aspek yakni ketuhanan, kemanusian, nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial. Sangat jarang kita temukan ideologi yang lengkap serta mencakup demikian banyak aspek kehidupan. Bung Karno menyebut pancasila sebagai Philosofische Grondslag atau fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, dan hasrat yang sedalam-dalamnya dari Indonesia merdeka yang akan berdiri kekal abadi.

Selain itu, ia juga menyebut Pancasila sebagai weltanschauung  bangsa dan negara Indonesia. Di dalam Pancasila terkandung cita-cita, harapan, dan tujuan dari terbentuk dan berdirinya Indonesia yang satu. Melalui nilai-nilai Pancasila terciptalah sebuah masyarakat Indonesia yang kokoh dan harmonis.

Di situ, Soekarno juga sangat jelas mengatakan, “Pancasila sebagai satu-satunya ideologi nasional progressif dalam revolusi Indonesia.” Artinya, dalam kerangka revolusi itu, Pancasila punya dua peran pokok: pertama, sebagai dasar yang mempersatukan bangsa Indonesia; Kedua, sebagai dasar yang memberi arah kepada perikehidupan, termasuk jalannya revolusi Indonesia.

Pancasila sebagai mode dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus sebagai jalan mencapai tujuan keadilan dan kemakmuran, hanya dihadirkan secara sloganistik. Contoh, “Mari kita selamatkan Pancasila dari anasir pengkhianat bangsa”. Pancasila terkesan gagal, karena tidak membumi dalam perilaku sehari-hari.

Perjalanan sejarah Indonesia juga menunjukkan, Pancasila tak diimplementasikan dengan konsekuen dalam kebijakan politik, penegakan hukum, dan perilaku kehidupan berbangsa. Bila ditelisik, sebenarnya cara kita memandang Pancasila selama ini membuat Pancasila diposisikan seolah tidak bekerja sesuai harapan, atau tidak diimplementasikan secara konkret untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita awal lahirnya Pancasila.

Kesalahan kita selama ini, kita belum mampu mengimplementasikan kaidah-kaidah kebersamaan dalam negara-bangsa yang pluralistik. Pancasila merupakan tataran bersama (common platform) sekaligus rasionalitas publik di mana menjadi titik sentuh pertemuan antara keragaman poros agama, adat, norma sosial, bahkan politik, demokrasi dan ekonomi. Dalam Pancasila ada proses penggalian nilai-nilai dan identitas bangsa, berdasarkan lanskap sosial, kultural, dan religiusnya yang beragam. Religiusitas, kemanusiaan, persatuan, politik, demokrasi, ekonomi, dan keadilan sosial-lah yang menjiwai Pancasila, oleh karenanya tidak dapat dipisah-pisahkan.

Ujian atas Pancasila

Di era reformasi ini, Pancasila menghadapi ujian bagaimana harus menghidupkan kembali jiwa nilai nasionalisme dan demokrasi yang telah luntur belakangan ini. Di lain sisi, rakyat dihadapkan pada gempuran globalisasi dan kapitalisme. Arus globalisasi dan tekanan kapitalisme kian dirasakan semakin mengikis nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila.

Selain itu, pada saat yang sama, Pancasila juga dihadapkan pada pembangunan bangsa yang dijangkiti virus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sehingga yang dihasilkan hanya peningkatan kemiskinan, kemelaratan, pengangguran, maraknya kejahatan, merebaknya penyakit sosial, dan kerusakan lingkungan di mana-mana.

Di tengah-tengah kompleksitas permasalahan bangsa saat ini, kita merindukan Pancasila kembali diajarkan di sekolah-sekolah dan disosialisasikan secara luas kepada masyarakat. Kita mengapresiasi hal itu, bahwa masih ada keinginan untuk terus mengajarkan dan mengidupkan pancasila kepada generasi bangsa, namun yang lebih penting adalah mengamalkan pancasila secara benar dalam praktek kehidupan sehari-hari.

Kita tidak mau lagi seperti jaman orde baru dimana Pancasila selalu dilafalkan hampir setiap hari oleh penguasa, tetapi dalam praktek masih melanggar dan menodai nilai-nilai Pancasila sehingga timbul kejahatan korupsi, politik tidak sehat, para mafioso yang mengeruk kekayaan alam, hukum yang tidak berkeadilan, dan memarginalkan rakyat.

Saat ini, praktek pejabat pemerintah dan penguasa juga tidak pernah pancasilais. Ajaran-ajaran pancasila pun dibuat seperti doktrin-doktrin kaku yang anti-kritik dan perdebatan, sehingga dengan sendirinya telah membunuh pancasila sebagai sistim filsafat yang hidup.

Sebagai warisan para founding fathers, Pancasila sudah menjadi konsensus, pandangan hidup, dan landasan ideal bangsa ini. Yudi Latif (2011) dalam bukunya “Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila” menyatakan bahwa sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Setiap sila memiliki justifikasi historisitas, rasionalitas, dan aktualitasnya yang jika dipahami, dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaian agung peradaban bangsa dan dapat mendekati terwujudnya “negara paripurna”.

Yudi Latif (2015) juga menyarankan supaya segea “merevolusikan Pancasila”. Artinya, Pancasila tidak cukup sebagai alat persatuan, tetapi juga harus menjadi praksis-ideologis yang memiliki kekuatan riil dalam melakukan perombakan mendasar pada ranah material dan mental sebagai katalis bagi perwujudan keadilan sosial.

Selain itu, revitalisasi Pancasila juga relevan untuk dilakukan. Di tengah keterpurukan dan krisis multidimensi bangsa, semangat menyegarkan jiwa dan jati diri bangsa untuk mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia. Coleman dan Fukuyama dalam tesisnya memandang Pancasila bisa menjadi modal sosial yang menjadi faktor kemajuan sebuah bangsa. Bangsa ini perlu merevitalisasi Pancasila dalam upaya menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup, dasar, dan ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena ideologi adalah belief system, pedoman hidup dan rumusan cita-cita atau niali-nilai (Sergent, 1981).

Tidak kalah penting adalah upaya untuk membuat Pancasila menjadi lebih menjiwai secara teknis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya revitalisasi Pancasila harus didukung dan dilaksanakan oleh seluruh elemen bangsa. Para pejabat dan penyelenggara harus mengambil peran utama dalam revitalisasi Pancasilan, yaitu menjadikan Pancasila sebagai rujukan dalam bersikap, bertindak, mengambil keputusan, dan membuat kebijakan serta peraturan sehingga roda pemerintahan berjalan sesuai jiwa dan nilai Pancasila.
Salah satu tujuan revitalisasi Pancasila adalah supaya Pancasila tidak dilupakan selama bangsa ini masih berdiri. Dengan revitalisasi Pancasila diharapkan pula nilai-nilai Pancasila bisa terwujud dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan, perilaku yang beadab dan berjiwa kemanusiaan, tumbuhnya jiwa nasionalisme, lahirnya sikap bijak masyarakat, dan para petinggi negara untuk menerima perbedaan keyakinan dan pluralitas, mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan konflik, serta persamaan di depan hukum dan kebijakan keadilan sosial-ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar