Kamis, 18 Juni 2015

Ramadan yang Suram di Yaman

Ramadan yang Suram di Yaman

Smith Alhadar  ;  Penasihat ISMES; Staf Ahli Institute for Democracy Education (IDe)
MEDIA INDONESIA, 17 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERTEMUAN di Jenewa, 15-17 Juni, di antara kekuatan kekuatan politik yang bertikai di Yaman, berlangsung di tengah serangan al-Houthi dan sekutunya ke Kota al-Hazm (ibu kota Provinsi al-Jawf) di satu pihak dan gempuran koalisi Arab pimpinan Arab Saudi ke sejumlah sasaran di Yaman di lain pihak. Dengan demikian, pertemuan untuk menemukan solusi damai yang disponsori PBB itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Ini merupakan pertemuan kedua sejak koalisi Arab menyerang target-target Houthi dan tentara yang loyal kepada mantan Presiden Ali Abdullah Saleh. Pertemuan pertama juga berlangsung tiga hari, 11-13 Mei, di Riyadh, Arab Saudi. Pertemuan itu pun sia-sia karena Houthi tidak hadir. Sudah sejak awal Houthi dan sekutunya menyatakan tak akan hadir bila konferensi itu dilangsungkan di Saudi yang tidak netral.

Kegagalan pada pertemuan Jenewa itu juga disebabkan Mansour Hadi menolak berbicara dengan Houthi kecuali milisi Syiah itu terlebih dahulu tunduk pada Resolusi DK PBB No 2216 yang menyerukannya mundur dari ibu kota Sana'a dan kota-kota yang diduduki sejak Februari. Milisi Houthi pun diminta menyerahkan senjata mereka. Syarat Mansour Hadi tersebut tidak realistis. 

Memang bila Mansour Hadi `berunding' dengan mereka berarti ia melegitimasi pemberontakan Houthi sekaligus mengakui status quo, yang hanya menguntungkan Houthi. Toh, milisi Houthi sebenarnya tidak berniat mengua sai seluruh Yaman. Kota-kota yang diduduki saat ini hanya dimaksudkan memperkuat posisi tawarnya vis a vis Mansour Hadi yang mewakili sebagian masyara kat Yaman Selatan. Houthi ingin mendirikan negara sendiri yang berbasis di Yaman Utara seperti di masa lalu (1968-1990).

Mansour Hadi telah menyia-nyiakan peluang. Tampaknya ia mengira posisinya kuat, sedangkan posisi Houthi yang telah diserang lebih dari sebulan ini melemah. Dia keliru. Resolusi itu tidak memberi mandat bagi serangan militer. Koalisi Arab yang ditopang AS membombardir Houthi dan seku tunya berdasarkan permintaan Mansour Hadi dalam kapasitas sebagai presiden Yaman. Permintaan agar menyerang Houthi dan sekutunya justru melemahkan posisinya. Sebaliknya, posisi Houthi dan sekutunya justru menguat. Rakyat Yaman bagian utara khususnya, tempat hunian warga Syiah, justru makin bersimpati pada Houthi yang semazhab dengan mereka. Bombardir yang dilakukan koalisi Arab yang menghancurkan infrastruktur menewaskan sekitar 2.500 rakyat sipil, membuat ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal, dan memblokade laut dan udara bagi masuknya bantuan kemanusiaan bagi jutaan rakyat Yaman yang miskin dan sengsara, juga telah menciptakan frustrasi rakyat di selatan.

Komunitas internasional tidak sejalan dengan koalisi Arab, AS, Inggris, dan Prancis. Sementara itu, Iran, Rusia, dan Tiongkok meng kritik jalan kekerasan yang dipilih koalisi. Krisis Yaman, yakni konflik antara Mansour Hadi dan Houthi, dapat diselesaikan melalui jalan politik. Jalan militer yang dipilih Mansour Hadi yang mengundang intervensi negara-negara Arab inilah yang membuat utusan PBB Jamal Benomar sebagai mediator mengundurkan diri pada Februari lalu, yang digantikan Ismail Ould Cheikh Ahmaed.

Saat itu, Houthi menyelenggarakan pertemuan di antara faksi-faksi politik Yaman di Sana'a untuk mencari jalan keluar bagi situasi politik yang memburuk. Jamal optimistis penyelesaian politik dapat dicapai. Sayang, Mansour Hadi--yang melihat peluangnya untuk menjadi presiden mengecil - kabur ke Arab Saudi. Koalisi Arab pun melancarkan serangan, yang menutup peluang bagi tercapai nya kesepakatan politik di antara pihak-pihak yang berseteru.

Sekali lagi, tindakan Mansour Hadi itu membuat ia kehilangan legitimasi, baik bagi Yaman Utara maupun Yaman Selatan. Warga selatan yang beraliran Sunni terbagi ke dalam tiga kelompok besar. Pertama, mereka yang mendukung status quo, yakni teritorium dan politik Yaman sebelum krisis. Kedua, kelompok yang menginginkan Yaman berbentuk federasi. Ketiga, kelompok yang menginginkan pemisahan total Yaman Selatan dari Yaman Utara.Al-Qaeda di Jazirah Arab pun telah menguasai Provinsi Shabwa dan Provinsi Abyan di selatan. Maka, tidak banyak rakyat Yaman secara keseluruhan yang mendukung Mansour Hadi.
Sekiranya Mansour Hadi realistis demi bangsa dan negaranya, seharusnya ia mau berunding dengan Houthi dan sekutunya tanpa syarat.

Penolakannya hanya memperpanjang serangan koalisi. Berharap Houthi dan sekutunya akan menyerah merupakan ketidakpahamannya pada realitas budaya, agama, dan politik Yaman secara keseluruhan. Syiah Zaidiyah tidak dapat hidup tanpa imam (pemimpin autentik) dari kalangannya dan militerisme merupakan sesuatu yang dipuja dalam mazhab itu. Salah satu syarat bagi legitimasi imam ialah kecakapan dan ketangguhannya dalam bertempur. Dengan demikian, jangan berharap Houthi dan loyalis Ali Abdullah Saleh (nasionalis Syiah) akan menyerah. Apalagi, Wahabi merupakan musuh bebuyutan kaum Syiah. Maka, Ramadan akan dijalani rakyat Yaman dengan getir dan suram. Jangan berharap Houthi dan loyalis Ali Abdullah Saleh (nasionalis Syiah) akan menyerah. Apalagi, Wahabi merupakan musuh bebuyutan kaum Syiah.
Maka, Ramadan akan dijalani rakyat Yaman dengan getir dan suram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar