Dana Aspirasi dan Nasionalisme
Laode Ida ; Wakil
Ketua DPD RI 2004-2014;
Pendiri
dan Koordinator Penggerak FITRA 1999-2004
|
MEDIA INDONESIA, 17 Juni 2015
BAGI saya, dan tentu saja bagi banyak orang di
negeri ini yang berpikir sehat, merupakan kabar gembira ketika Partai NasDem
bersikap menolak dana aspirasi yang diusulkan Rp20 miliar per anggota DPR
(Media Indonesia, 16/6). Sebelumnya, saya sungguh sedikit merasakan `sesak
napas' alias gelisah kalau parpol yang dinakhodai Surya Paloh itu berkeras
meminta atau mendukung usulan sebagian fraksi di DPR tersebut. Saya
beranggapan NasDem memiliki posisi tawar dan pengaruh yang cukup kuat dan
strategis.
Akan tetapi, tampaknya politisi NasDem, dan
semoga itu konsisten, dalam diri mereka kembali bersikap sangat kritis.
Mungkin setelah melakukan refleksi dan sekaligus mendengar suara publik, tak
sedikit yang menentang usulan itu sehingga sampai pada kesimpulan inisiatif
tersebut hanya merupakan akal-akalan atau `cacat pikir' dari sebagian politikus
di Senayan. Pertimbangan yang berbasis nasionalisme juga sangat kuat, yakni
terkait dengan pemerataan pembangunan. Jika bisa dibayangkan memang, betapa
akan semakin timpangnya distribusi anggaran pembangunan bila dana aspirasi
(DA) itu diwujudkan untuk setiap anggota DPR. Daerah-daerah yang wilayahnya
luas utamanya di luar Jawa akan sangat sedikit memperoleh anggaran jika
dibandingkan dengan Pulau Jawa.
Maka, jangan heran jika akan ada klaim bahwa
sangat rendah derajat nasionalisme politisi yang memaksakan DA itu karena
hanya berpikir untuk kepentingan subjektif mereka, bukan untuk kepentingan
pembangunan nasional sebagai suatu kesatuan kita dalam berbangsa dan
bernegara.
Pada tingkat tertentu, bahkan tak mustahil hal
itu akan melahirkan benih disintegritas karena pengambilan kebijakan di
tingkat nasional ternyata lebih berpikir hanya untuk daerahnya sendiri.
Cobalah bayangkan jika skenario rancangan
alokasi DA itu diwujudkan. Bagi provinsi-provinsi seperti Gorontalo, Papua
Barat, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung yang masing-masing hanya memiliki
tiga anggota DPR hanya akan memperoleh maksimal Rp60 miliar. Bandingkan
dengan provinsi seperti Jawa Barat dan Jawa Timur yang anggota DPR-nya hampir
100 orang, maka DA yang akan digelontorkan pun mencapai hampir Rp2 triliun.
Akan tetapi, bukan mustahil politisi itu akan
sangat mengabaikan akal sehat dan prinsip-prinsip nasionalisme tersebut.
Niscaya mereka akan terus mencari-cari alasan pembenaran, yakni terkait
dengan sumpah mereka untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang ada di daerah
pemilihan (dapil) sehingga terkesan sebagai suatu kewajiban untuk
direalisasikan dalam APBN 2016.
Semula sebagian fraksi seperti Gerindra, PKS,
dan PDIP memang masih bersikap menolak usulan DA itu. Namun, belakangan sikap
mereka kembali mengambang. Apalagi kalau unsur pimpinan DPR yang jumlahnya
empat orang itu bersepakat untuk memaksakan, bisa saja terwujud, termasuk
bisa dilewati melalui mekanisme voting dalam sidang paripurna.
Sikap pemerintah
Apalagi jika pemerintah setuju saja, usulan
itu tak akan memperoleh hambatan. Kalaupun ada kelompok-kelompok masyarakat
yang menolak, niscaya tak akan berpengaruh karena mereka semua berada di luar
panggung penentuan anggaran, sedangkan yang mengambil keputusan ialah
elemen-elemen elite (anggota DPR dan pejabat pemerintah terkait) yang berada
di dalam ruangan tertutup.
Kita berharap memang Presiden Jokowi dan para
pembantunya di kabinet lebih bersikap bijak dalam menyikapi usulan politisi
yang sudah `ngebet' untuk memperoleh bagian dari APBN itu. Usulan DA itu
merupakan hal baru di Indonesia. Pertama itu harus dikonfirmasi dulu dengan
aturan yang terkait khususnya UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Cobalah lakukan kajian berdasarkan aturan itu karena `sedangkal' pemahaman
saya, tak ada satu pun klausul yang menyatakan bahwa anggota-anggota DPR
diberi hak untuk memiliki DA.
Maka boleh jadi usulan DA itu mengabaikan
pertimbangan legalistik atau aturan pengelolaan keuangan negara, hanya
berdasarkan tafsir subjektif atas nama `perjuangan aspirasi daerah
pemilihan'.Apalagi pada tingkat operasionalnya, niscaya itu akan sangat sarat
kepentingan.
Peluang untuk perusakan sistem termasuk
penyalahgunaan anggaran negara melalui skema DA memang sangat terbuka.
Utamanya jika para anggota parlemen diberi otoritas untuk mengarahkan
penggunaan dana itu berdasarkan permintaan konstituen di daerah pemilihan
(dapil). Pertama, yang pasti sudah akan rusak ialah sistem perencanaan, di
saat setiap daerah sudah memiliki dokumen perencanaan yang dibuat melalui
proses buttom up (dari bawah) dengan
melibatkan masyarakat atau seluruh stakeholder
secara langsung.
Dokumen perencanaan itu berpeluang untuk selalu diabaikan
karena aspirasi tiba-tiba akan muncul dan dianggap harus diakomodasi untuk
dibiayai melalui DA. Kalau DA itu dititip di lembaga pemerintah, anggota DPR
tinggal memerintahkan untuk mencairkan anggarannya. Padahal, aspirasi itu
sebenarnya hanyalah merupakan keinginan alias bukan kebutuhan
masyarakat/daerah.
Kedua, pemaksaan DA perlu juga dicurigai
sebagai akal-akalan oknum politisi untuk memperoleh cipratan langsung dari
APBN. Maklum, belakangan ini, ketika KPK begitu gencar mengawasi oknum
politisi busuk yang jadi mafia anggaran untuk mengegolkan anggaran dengan
memperoleh komisi dari pemilik otoritas pengelola anggaran (eksekutif) dan
pengusaha, mungkin kondisi dirasa sudah sulit untuk melakukannya. Padahal,
biaya politik sangat tinggi, mulai pengeluaran saat kampanye sampai dengan
berbagai pengeluaran tak terduga.Belum lagi ada keperluan `wajib untung'
selama jadi penentu kebijakan, maka gairah untuk mewujudkan DA itu akan
sangat tinggi dan dianggap semacam keharusan untuk disetujui pemerintah.
Masih banyak juga politikus bersih, memiliki
integritas. Namun, ketika tak berdaya karena berada di bawah kendali parpol
yang sangat mencengkeram, niscaya mereka akan tak berdaya untuk lakukan perlawanan.
Mereka yang ngotot untuk dapat bagian DA pasti akan mengabaikan prinsip etika
fundamental dari pengambil kebijakan di mana pun di dunia ini yang tak boleh
membuat kebijakan untuk menguntungkan diri mereka sendiri. Prinsip tersebut
tentu dicamkan betul bagi mereka yang berpikir waras dalam peradaban tinggi
dalam pengelolaan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar