Muhammadiyah dan Gerakan Antikorupsi
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel;
Ketua
Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
|
KORAN SINDO, 18 Juni 2015
Di antara penyebab
belum berhasilnya pemberantasan korupsi di negeri ini adalah karena gerakan
antikorupsi mengalami kevakuman ideologi. Indikatornya, banyak orang
berteriak anti korupsi saat masih berada di luar kekuasaan. Tetapi jika
kekuasaan sudah berada di tangan, mereka termasuk yang paling rajin melakukan
korupsi. Dilatarbelakangi kondisi itulah sejumlah aktivis Pemuda Muhammadiyah
menggagas pendirian Madrasah Antikorupsi.
Sayang sekali, gagasan
tersebut hanya menggema saat panas-panasnya hubungan KPK-Polri beberapa waktu
silam. Padahal jika gagasan Madrasah Antikorupsi benar-benar direalisasikan,
banyak anak muda yang siap dididik menjadi pejuang antikorupsi. Dengan
begitu, Muhammadiyah akan semakin meneguhkan kiprahnya sebagai pelopor
gerakan antikorupsi.
Pada era pemerintahan
Presiden Joko Widodo (Jokowi), Muhammadiyah telah menunjukkan kepeloporannya
dalam pemberantasan korupsi. Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Jalan
Menteng, Jakarta telah menjadi markas pegiat antikorupsi dari kalangan lintas
agama. Dalam kisruh KPK-Polri lalu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din
Syamsuddin dan tokoh lintas agama seakan tanpa kenal lelah menyuarakan agar
Jokowi berani mengambil langkah yang cepat dan tepat.
Mereka juga mendorong
agar Jokowi menampilkan diri layaknya seorang presiden. Sebab Jokowi adalah
presiden pilihan rakyat, bukan petugas partai. Selain menyediakan kantor
sebagai pusat kegiatan bagi pegiat antikorupsi, tokohtokoh Muhammadiyah juga
tampak menonjol dalam gerakan antikorupsi.
Di antara tokoh yang
paling menonjol tentu saja mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii
Maarif. Tokoh yang akrab disapa Buya Syafii ini bahkan ditunjuk memimpin Tim
9 yang dibentuk Presiden Jokowi. Tim ini bertugas untuk memberikan
rekomendasi pada presiden guna menyelesaikan konflik KPK-Polri. Sayang
sekali, rekomendasi Tim 9 tidak semuanya dijalankan presiden. Akibatnya,
hubungan KPK-Polri hingga kini terasa masih berjarak.
Rekam jejak Buya
Syafii yang hebat telah mengantarkannya menjadi satu-satunya guru bangsa yang
masih tersisa. Itu terutama setelah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berpulang
ke Rahmatullah. Berkali-kali Buya Syafii mengingatkan bahwa praktik korupsi
di negeri ini sudah nyaris sempurna. Pernyataan ini merupakan wujud
keprihatinan yang mendalam terhadap masa depan gerakan pemberantasan korupsi.
Jika diibaratkan rayap, praktik korupsi di negeri ini telah menggerogoti
tiang-tiang penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meski telah
merajalela, semangat pegiat antikorupsi harus tetap terjaga.
Harus diingat bahwa
pemberantasan korupsi pasti membutuhkan keterlibatan banyak pihak. Komitmen
pemberantasan korupsi tidak cukup jika hanya mengandalkan aparat penegak
hukum. Apalagi beberapa hasil survei menunjukkan bahwa integritas lembaga penegak
hukum dianggap bermasalah. Seiring dengan berkurangnya kepercayaan publik
terhadap integritas aparat penegak hukum, pemerintah seharusnya mengajak
organisasi kemasyarakatan (ormas). Itu berarti Muhammadiyah, NU, dan pilar civil society lainnya penting terlibat
dalam gerakan pemberantasan korupsi.
Jika diselisik ke
belakang, tepatnya pada Oktober 2003, Muhammadiyah dan NU sejatinya pernah
bekerja sama dalam pemberantasan korupsi. Ikrar kerja sama itu diberi nama
Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK).
Pada saat itu
disepakati langkah-langkah yang dilakukan dalam pemberantasan korupsi,
termasuk menghukum anggota ormas yang terlibat korupsi. Sangat disayangkan,
ikrar itu baru sebatas gerakan moral. Belum ada langkah konkret berupa
gerakan aksi untuk memberantas korupsi.
Bersama beberapa partnership, Muhammadiyah juga telah
menerbitkan buku panduan pemberantasan korupsi berjudul Fikih Anti Korupsi:
Perspektif Ulama Muhammadiyah (2006). Karya ini merupakan referensi berharga
untuk memberantas korupsi. Dalam buku ini dirumuskan strategi mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang baik (good
governance). Salah satu caranya adalah membangun integritas publik (public integrity).
Persoalan integritas
ini penting karena menjadi syarat terwujudnya good governance, yang di antaranya ditandai adanya transparansi
dan akuntabilitas.
Sebagai pilar civil society yang telah berusia lebih
dari satu abad, Muhammadiyah pasti memiliki pengalaman dalam membangun budaya
berintegritas. Misalnya, Muhammadiyah rajin memberikan laporan yang
transparan dan akuntabel dalam mengelola anggaran. Laporan itu diberikan,
terutama pada pemberi bantuan baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan cara
ini, kepercayaan terhadap Muhammadiyah terus terjaga.
Muhammadiyah juga
melakukan rangkaian kegiatan advokasi penggunaan APBN/ APBD. Rangkaian
kegiatan ini menunjukkan Muhammadiyah telah melakukan dakwah anggaran dengan
cara mengawal APBN/D dari bencana korupsi, kolusi, dan manipulasi. Kegiatan
ini penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar ”melek” APBN/D.
Targetnya, agar tidak terjadi politik penganggaran untuk kepentingan pribadi
pejabat publik.
Harus disadari bahwa
tantangan yang dihadapi pegiat antikorupsi kian berat. Keselamatan diri dan
keluarga pegiat antikorupsi juga terancam. Semua itu jelas membutuhkan
perhatian. Pada konteks inilah Muhammadiyah harus menunjukkan kepeloporannya.
Tetapi harus diakui bahwa kegiatan dalam rangka pemberantasan korupsi belum
sepenuhnya menjadi perhatian Muhammadiyah.
Kegiatan utama
Muhammadiyah masih seputar dakwah keislaman dan rutinitas mengelola amal
usaha. Terutama amal usaha bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan
pelayanan sosial. Hingga kini belum ada divisi khusus dalam struktur
organisasi yang fokus menangani pemberantasan korupsi.
Semoga dalam muktamar
ke-47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015, Muhammadiyah membicarakan secara serius
ideologi pemberantasan korupsi di negeri tercinta. Bukan hanya pada tingkat
wacana, ideologi pemberantasan korupsi ala Muhammadiyah harus benarbenar
dapat diwujudkan dalam gerakan aksi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar