Laporan Diskusi
Kompas-Murdoch University
Populist Politics in Southeast Asia:
Transforming or Impending Democracy?
Politik Populis
Terjepit Oligarki
KOMPAS,
09 Juni 2015
|
Kemunculan politik
populis merupakan reaksi dari tiga hal: secara sosial adalah efek pergeseran
globalisasi neoliberal, tumbuhnya kesenjangan sosial. Sebagai elemen kunci
adalah karena ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga politik yang
ada. Joko Widodo yang terpilih sebagai presiden ketujuh RI dalam Pemilu
Presiden 2014, seakan menjadi representasi politik populis, terkait gaya
kepemimpinannya yang dikenal dekat dengan rakyat melalui cara blusukan, baik
saat menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, maupun saat menjabat
Presiden RI.
Seiring dengan
tampilnya Joko Widodo di panggung nasional, muncul pertanyaan apakah politik
populis ala Jokowi dapat menandingi politik oligarki yang selama ini menjadi
ciri politik nasional? Apakah kekuatan politik populis di Indonesia mempunyai
syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menggugurkan politik oligarki?
Sosok Jokowi sudah
memunculkan keraguan sejak pertama mendaftarkan diri sebagai calon presiden
dalam Pemilu Presiden 2014. Dia datang dari Solo, kota kecil di Jawa Tengah,
dengan latar belakang pebisnis kelas menengah. Sebaliknya, hampir semua
Presiden RI terdahulu datang dari kalangan elite politik, termasuk keluarga
militer.
Dukungan politik untuk
Jokowi datang langsung dari rakyat, bukan berbasis partai politik, baik
secara ideologi maupun struktur. Dia diusung PDI Perjuangan karena kader
partai tersebut, tetapi tidak berada di dalam kepengurusan inti. Dia juga
memiliki pendukung signifikan dari basis massa nonpartai.
Jokowi juga membawa
agenda yang berusaha mentransformasikan kehidupan orang Indonesia kebanyakan
melalui pembangunan infrastruktur dan program-program sosial. Hal ini kerap
dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya yang tanpa ambisi kebijakan
khas dan hanya terfokus pada pemeliharaan institusi-institusi politik yang
sudah ada, serta sibuk menegosiasikan distribusi kekuatan dan kekayaan di
antara kelompok elite.
Popularitas Jokowi
menjulang karena ketika menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta
tampil sebagai sosok sederhana, berikut dialog-dialognya dengan warga biasa.
Juga, kerap berkunjung dadakan, atau diistilahkan blusukan ke komunitas atau
ke kampung-kampung, kegiatan yang atraktif bagi publik yang kecewa dengan
pemerintah sebelumnya yang bekerja inefisien.
Rintangan Jokowi
"Kelanggengan"
Jokowi di pentas politik nasional dengan demikian sangat bersandar pada
kemampuannya mewujudkan janji-janji kampanye yang dianggap pro rakyat banyak
melalui reformasi bidang kesehatan masyarakat, pelayanan pendidikan,
pembaruan perkotaan, dan pemberantasan korupsi. Atas sejumlah tantangan itu,
dia menghadapi beberapa rintangan.
Yang pertama,
tantangan bidang fiskal. Dana belanja publik yang tersedia untuk
infrastruktur dan program-program sosial sangat terbatas mengingat sebagian
besar, lebih dari 70 persen, pembelanjaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) adalah belanja rutin pegawai. Sementara, kemampuan negara
mengonsolidasikan dan memperluas basis pendapatan sangat terbatas.
Problem kedua,
bagaimana Jokowi berkompromi dengan kepentingan-kepentingan aparat negara,
termasuk para pejabat di lembaga yudikatif, yang hidup dengan budaya
birokrasi lama. Tampak kesan mereka enggan beradaptasi terhadap usaha-usaha
yang mengarah pada pembentukan pemerintahan transparan dan bertanggung jawab.
Tantangan ketiga
datang dari kepentingan pebisnis dan politisi yang mendukung sistem oligarki
yang berkelindan dengan pemerintahan. Fenomena ini akan menghalangi berbagai
upaya mendorong reformasi, termasuk di parlemen.
Oligarki dapat
diartikan sebagai bentuk struktur kekuasaan dengan pemegang kekuasaan efektif
berada pada segelintir orang. Dalam konteks Indonesia, oligarki dalam diskusi
ini mengacu pada aliansi politik-birokratis dan bisnis yang menggabungkan
kepentingan bagian teratas dari birokrasi negara, partai politik dan pebisnis
beserta keluarga mereka. Aliansi ini terbentuk sejak Orde Baru dan
terstruktur dan bertahan hingga saat ini.
Dilema Jokowi
Dilema Jokowi adalah
ketika dia mampu menggalang banyak dukungan saat pemilu, tetapi pada sisi
lain juga harus mengoperasikan mesin politik itu di tengah kepentingan-kepentingan
lama yang masih dominan, berikut basis kelembagaannya. Singkat kata, dia
hadir di pusat kekuasaan tanpa kekuatan mayoritas di parlemen dan basis
partai yang kuat.
Berbeda dari Thaksin
Sinawatra di Thailand, Jokowi tidak punya mesin dan sumber daya politik guna
secara efektif memobilisasi basis sosial potensial dari agenda politik
populis yang dia sodorkan. Satu kemungkinan dari situasi ini adalah alih-alih
menantang atau menandingi oligarki, Jokowi justru besar kemungkinan akan tersedot
ke dalam mesin politik oligarki.
Fakta pemberantasan
korupsi pada era Jokowi, di mana sempat terjadi ketegangan antara KPK dan
Polri, menunjukkan Jokowi harus berkompromi dengan oligarki politik yang
sudah lama eksis.
Pada akhirnya, demi
mencegah makin tersedotnya Jokowi ke jeratan oligarki, Jokowi perlu
memaksimalkan kerja sembari terus mengonsolidasi pemerintahan. Ini
konsekuensi dari pemimpin yang meski didukung massa, tetapi tidak memiliki
mesin dan sumber daya politik mencukupi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar