Pancasila
Telah Dilupakan?
M Dawam Rahardjo ; Rektor Universitas Proklamasi 1945
Yogyakarta
|
KOMPAS, 01 Juni 2015
Istilah
"Pancasila" memang masih sering disebut-sebut, baik oleh para
politisi maupun akademisi, sebagai dasar legitimasi atau kritik sosial.
Universitas Gadjah
Mada masih mempertahankan Pusat Studi Pancasila sebagai bagian dari Fakultas
Filsafat walaupun pusat studi di IKIP Malang-yang dulu pernah terkenal
itu-sekarang sudah tidak terdengar lagi suaranya. Namun, Pusat Studi Ekonomi
Pancasila yang didirikan dan dulu dipimpin Prof Mubyarto sudah dibubarkan dan
diganti dengan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan.
Dengan bubarnya Pusat
Studi Ekonomi Pancasila, Pancasila tidak lagi dikembangkan sebagai sumber
rekayasa sosial. Dahulu ini pernah dilakukan Ketua Bappenas Ginandjar
Kartasasmita dalam mengembangkan daerah tertinggal berdasarkan Inpres Desa
Tertinggal (IDT) yang dipimpin Prof Mubyarto sebagai penasihat Ketua
Bappenas.
Pancasila diputus dari realitas
Oleh karena itu,
sinyalemen "Pancasila telah dilupakan" memang ada indikasinya
walaupun tidak sepenuhnya benar. Di lain pihak selalu timbul pernyataan bahwa
Pancasila sebagai ideologi negara merupakan suatu pandangan yang sudah final,
bahkan akhir-akhir ini disebut sebagai pilar pertama politik kebangsaan
Indonesia.
Sementara itu, Yudi
Latif telah menerbitkan buku yang dinilai sebagai masterpiece mengenai Pancasila yang menjadi dasar dari sebuah
"negara paripurna". Dengan perkataan lain, dengan meminjam
pengertian Francis Fukuyama, Pancasila adalah suatu "the end of history", sebagai puncak perkembangan
pemikiran bangsa Indonesia yang sudah menjadi paradigma pemikiran, dalam arti
pemikiran yang telah mendapatkan persetujuan dari komunitas akademis yang
menjadi dasar legitimasi, kritik,
maupun rekayasa sosial.
Namun, karena dianggap
sebagai ideologi yang final, terkesan seolah-olah Pancasila tak bisa lagi
diutak-atik oleh pemikiran kritis. Boleh dibanggakan, tetapi tak boleh
dikritik. Maka, jadinya, "pintu ijtihad" seolah-olah telah tertutup
dalam pengembangan pemikiran. Dengan perkataan lain, Pancasila sudah jadi
"ideologi tertutup". Karena tabu dibicarakan dalam pemikiran
kritis yang melahirkan proses
dialektika, sementara itu masyarakat Indonesia dan dunia terus berkembang dan
berubah, maka Pancasila seolah-olah terputus dari realitas sehingga dirasakan
tidak relevan lagi untuk dibicarakan.
Dari situlah,
Pancasila seolah-olah telah dilupakan. Apalagi Pancasila tidak lagi
diteorisasikan jadi sumber rekayasa sosial. Alhasil timbul kesan seolah-olah
Pancasila tidak lagi hadir sebagai solusi terhadap permasalahan masyarakat karena Pancasila tak lagi
dikembangkan secara historis kontekstual. Dengan perkataan lain, ia telah
kehilangan relevansinya.
Oleh karena itu,
wacana mengenai gagasan Pancasila perlu dihidupkan lagi guna menghadirkannya
kembali di tengah-tengah masyarakat kiranya perlu dipertimbangkan. Belum
tentu gagasan ini bisa diterima mengingat bisa timbul kekhawatiran tertentu.
Ketika Mubyarto memperkenalkan gagasan teori dan sistem Ekonomi Pancasila,
banyak cendekiawan yang menanggapinya secara skeptis. Misalnya, Prof Sarbini
Sumawinata menganggap Ekonomi Pancasila sebagai angan-angan yang tidak
konkret jika ditanyakan bagaimana implementasinya dalam kebijakan publik.
Arief Budiman juga menilai bahwa gagasan teori Ekonomi Pancasila itu kabur
karena tidak didasarkan pada teori tentang manusia.
Kritik senada ditulis
Sjahrir dan Nono Anwar Makarim. Kesemuanya diasosiasikan sebagai
"orang-orang sosialis".
Bahkan Sri-Edi Swasono, yang didukung para teknokrat FEUI, lebih suka
menyebut Demokrasi Ekonomi sebagai sistem ekonomi Indonesia, yang
kemudian-atas perintah Presiden Soeharto-dijabarkan prinsip-prinsipnya oleh
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).
Karena itu pula, dalam
rangka konkretisasi gagasan, Prof Sarbini sebagai tokoh PSI dari kalangan
akademisi itu meluncurkan gagasan "Ekonomi Kerakyatan" sebagai pemikiran politik ekonomi untuk
memberantas kemiskinan dengan trilogi pembangunan perdesaannya, yaitu program pembangunan infrastruktur,
industrialisasi , dan monetisasi pedesaan, tetapi tanpa menyebut Pancasila
sebagai sumber legitimasi. Mubyarto sendiri,
dalam responsnya, mengembangkan Ekonomi Pancasila sebagai pembangunan
ekonomi rakyat, terutama di desa-desa tertinggal.
Di bidang politik,
pengalaman pahit dialami pula oleh konsep "Demokrasi Pancasila".
Para pemikir Barat pernah menyebutnya sebagaimana "Demokrasi
Rakyat" sebagai konsep unusual democracy atau demokrasi yang
tidak lazim karena yang lazim adalah demokrasi liberal. Demokrasi Pancasila
adalah istilah lain dari "Demokrasi Terpimpin", yaitu demokrasi
yang dipimpin oleh rezim otoriter atau pemerintahan "diktator
proletariat" dan di Indonesia oleh
"Pemimpin Besar Revolusi". Di situ pengertian "terpimpin"
dianggap bertentangan dengan esensi demokrasi itu sendiri. Padahal, yang
dimaksud dengan Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dipimpin oleh
nilai-nilai Pancasila.
Pancasila sebagai kritik sosial
Dari pengalaman
historis itu, menghidupkan kembali wacana tentang Pancasila mengandung
risiko. Di masa Reformasi, Pancasila sebagai suatu gagasan memang cenderung
dibekukan, dipeti-eskan, dimasukkan ke dalam museum pemikiran atau, meminjam istilah Ulil Abshar-Abdalla,
dijadikan sebagai "monumen" atau "tugu". Jika Pancasila
itu disebut sebagai suatu ideologi, maka sebuah ideologi itu, menurut
Weber-Rodinson, mengandung tiga komponen: spirit, mentalitas, dan lembaga.
Spirit bisa menggerakkan seseorang atau masyarakat. Mentalitas tecermin dalam
perilaku. Adapun lembaga terkandung dalam suatu sistem, misalnya sistem
politik dan sistem ekonomi. Pemikiran
kritis akan mempertanyakan realitas atau kehadiran dari tiga komponen
ideologi itu.
Karena itu, menghidupkan
kembali wacana mengenai Pancasila memerlukan pemahaman, yang dalam
epistemologi Wallersteinian adalah melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial
transdisiplin, terutama antropologi, sosiologi, ekonomi, politik, dan
sejarah. Dengan pendekatan itu, Pancasila
perlu diwacanakan sebagai kritik sosial. Dari kritik sosial terhadap kondisi
dan permasalahan Indonesia dan dunia, akan terbuka kemungkinan untuk
menjadikan Pancasila sebagai dasar rekayasa sosial.
Dengan teori
komunikasi aktif Juergen Habermas, umpamanya, Demokrasi Pancasila dapat
dipahami sebagai sistem demokrasi deliberatif sebagaimana telah dijelaskan
Frans Budi Hardiman dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Dengan
menggunakan teori geoekonominya Samir Amin, seorang ekonom Mesir terkemuka di
dunia, umpamanya, Ekonomi Pancasila dapat ditafsirkan sebagai gagasan ekonomi
perlawanan atau pembebasan terhadap sistem dunia kapitalis yang eksploitatif terhadap kawasan
pinggiran oleh pusat metropolitan dunia di Amerika Serikat dan Eropa. Dari
kritik sosial itu, bisa dipahami gagasan yang dilontarkan Presiden Joko
Widodo mengenai "membangun dari pinggiran" yang dapat dilaksanakan sebagai rekayasa
sosial.
Dari teori sistem dunia kapitalis bisa dilakukan
pemahaman yang lebih baik tentang "Kesejahteraan Sosial" sebagai
sistem ekonomi Indonesia. Sri-Edi Swasono pernah menjelaskan makna Pasal 33 dan 34 UUD 1945 sebagai "Doktrin
Kesejahteraan Indonesia" dengan menguraikan evolusi dan revolusi
pemikiran ekonomi sejak Adam Smith hingga krisis moneter 2008 sebagai gejala "the end of laissez faire".
Sementara itu, Subiakto Tjakrawerdaya, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah terakhir di masa Orde Baru, juga menjelaskan bahwa koperasi adalah
sistem ekonomi Indonesia yang bertujuan untuk mencapai "kesejahteraan
sosial" sebagai ciri utama sistem ekonomi Pancasila.
Banyak teori dan
penjelasan mengenai pengertian "kesejahteraan". Misalnya pemikiran
Machiavelli; aliran "Negara Kesejahteraan" yang dipelopori Otto von
Bismark, Kanselir Prusia pada akhir abad ke-19; aliran sistem pasar sosial
Jerman sesudah Perang Dunia II, atau menurut Mahbub ul-Haq yang dikembangkan
di UNDP, dan terakhir menurut Amartya K Sen yang mengusulkan indikator
kesejahteraan itu.
Namun,
hingga sejauh ini belum ada yang menjelaskan konsep kesejahteraan dalam
kaitannya dengan sistem koperasi sebagaimana disebut dalam Pasal 33 UUD 1945
dan sila kelima Pancasila, yaitu "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia". Padahal, menurut Mubyarto, koperasi merupakan sendi
ketiga sistem Ekonomi Pancasila. Karena itu, ada kebutuhan konkret yang
mendesak untuk mewacanakan kembali Pancasila dalam pemikiran kritis dan transdisiplin. Dari wacana itu bisa lahir
teori, misalnya, mengenai "Sistem Dunia Pancasila" yang merupakan
suatu model masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar