Kebudayaan,
Masihkah "Dianggap" di Negeri Ini?
Pudentia MPSS ; Dosen FIB-UI; Ketua Asosiasi Tradisi Lisan
|
KOMPAS, 01 Juni 2015
Saat ini Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan tengah menyeleksi para calon pejabat tinggi madya
dengan sistem lelang jabatan. Namun, membaca salah satu syarat yang
ditetapkan untuk lelang jabatan tersebut, sungguh sedih begitu tahu bahwa
dari enam jabatan eselon I yang dilelang di kementerian ini hanya untuk
jabatan Direktur Jenderal Kebudayaan yang persyaratannya cukup lulusan S-1
tanpa kualifikasi khusus.
Inikah potret
sesungguhnya kepedulian pemerintah pada bidang kebudayaan? Jika persyaratan
itu dibuat lebih karena untuk mengusung profesionalitas dan kompetensi,
misalnya, mengapa untuk jabatan-jabatan lain yang setara di lingkungan
Kemdikbud tidak sekalian diberlakukan sama? Boleh jadi pada akhirnya yang
terjaring nanti tetap lulusan S-3, tetapi niat awalnya memperlihatkan
kementerian ini begitu merendahkan bidang kebudayaan.
Jabatan eselon 1A
untuk Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Staf Ahli Bidang
Inovasi dan Daya Saing, Staf Ahli Bidang Pembangunan Karakter mensyaratkan
kualifikasi pendidikan doktor (S-3). Bahkan, posisi untuk Staf Ahli Bidang
Hubungan Pusat dan Daerah yang masuk kategori kelompok eselon 1B juga
mensyaratkan kualifikasi lulusan S-3. Hanya khusus untuk jabatan Staf Ahli
bidang Regulasi dan Pendidikan dan Kebudayaan kualifikasi pendidikan yang
diminta adalah lulusan S-2. Itu pun ada tambahan persyaratan yakni harus dari
bidang hukum. Lalu, mengapa untuk jabatan Dirjen Kebudayaan yang masuk
kategori eselon 1A cukup lulusan strata satu?
Selain syarat ini
masih ada persyaratan lain yang diminta yang berkaitan dengan pengalaman di
bidang terkait, yakni kemampuan melakukan kajian di bidangnya; kemampuan
berbahasa Inggris tulis dan lisan; serta memiliki jejaring. Bahkan untuk
jabatan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa masih ditambah lagi
dengan persyaratan memiliki pengalaman dalam pengelolaan
pendidikan/pembinaan/pengembangan kebahasaan.
Uniknya, justru untuk
jabatan Dirjen Kebudayaan, persyaratan yang diminta amat minimal dibandingkan
jabatan tinggi madya lain yang dilelang, misalnya tidak ada persyaratan
kemampuan melakukan kajian di bidangnya dalam lelang jabatan Dirjen Kebudayaan.
Ini dapat menimbulkan tanda tanya: mungkinkah ada nama tertentu yang sudah
diproyeksikan duduk di sana, yang akan terganjal jika persyaratan ditentukan
sama?
Melukai dan merendahkan
Ketetapan di atas
memperlihatkan betapa bidang kebudayaan dianggap dapat dikerjakan oleh siapa
saja, tanpa kualifikasi khusus, bahkan S-1 dari program studi yang
terakreditasi B pun boleh mencalonkan diri. Meski mungkin tak ada yang
mencalonkan diri dengan kualifikasi ini, penetapan ini sungguh melukai para
pemikir, ahli, pelaku, dan semua yang berkaitan dengan bidang kebudayaan.
Apalagi dengan pencantuman minimal akreditasi B.
Apa yang sebenarnya
terjadi dengan kebudayaan atau apa sebenarnya yang dipikirkan Kemdikbud
tentang ranah ini sehingga persyaratan untuk menjadi pejabat tertingginya pun
paling minimal dan bahkan terkesan merendahkan? Sebegitu sepelekah bidang ini
sehingga siapa saja dianggap mampu mengelolanya?
Bagaimana seseorang
yang tak disyaratkan memiliki kemampuan melakukan kajian di bidangnya
(sementara kelima jabatan lain menetapkan persyaratan ini) dapat menangani
atau mengelola/memimpin para direktur dan stafnya dalam bidang seni, warisan
budaya bendawi (termasuk cagar budaya dan lainnya), warisan budaya tak
bendawi, diplomasi budaya, tradisi, internalisasi budaya, sejarah, arkeologi,
religi, adat, komunitas, dan lain-lain terkait. Bahkan, saat ini pembinaan
dan pengembangan SDM kebudayaan pun dimasukkan di dalam direktorat yang
menangani semua hal tersebut, sementara pengembangan (termasuk di dalamnya
penyiapan dan peningkatan) SDM guru dan tenaga kependidikan naik menjadi satu
direktorat jenderal?
Tulisan ini tidak
bermaksud menguraikan secara rinci hal-hal yang lebih jauh mengenai
kebudayaan dan ranah luas cakupan serta urgensinya dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Tulisan juga tidak juga dimaksudkan untuk menjelaskan betapa
signifikannya saat ini peran dan fungsi kebudayaan dalam membangun peradaban
dunia dan membawa "Indonesia" memiliki marwah dan keunggulan
kompetitif di taraf internasional sekaligus memperluas lapangan kerja khusus
untuk peningkatan kesejahteraan.
Tulisan ini hanya
untuk mempertanyakan: apakah kebudayaan diterima dengan sepenuh hati di
Kemdikbud atau terpaksa diterima karena sudah dicantumkan namanya dalam
kementerian ini? Apakah juga kebudayaan adalah sesuatu yang dapat dikerjakan
siapa saja? Jika demikian tentu tidak perlu ada perguruan
tinggi/institusi/lembaga seni dan budaya seperti fakultas sastra, fakultas
ilmu budaya, institut seni Indonesia, dan sejenisnya. Di banyak sekolah juga
masih banyak guru seni atau hal lain terkait kebudayaan bukan berasal dari
perguruan tinggi/lembaga yang relevan. Bukankah pendidikan adalah justru
bagian dari kebudayaan, yang semestinya kedua ranah ini mendapat perlakuan
sama dan seimbang.
Hanya
ada satu Dirjen Kebudayaan di Kemdikbud, sedangkan di kementerian terdahulu
kebudayaan diurusi dua dirjen. Penting segera menciptakan sistem pengelolaan
kebudayaan yang terencana, terintegrasi, dan terkoordinasi. Juga menguatkan
peran segenap pemangku kebudayaan untuk dapat berperan dalam menyiapkan
generasi muda yang mampu menjadikan sumber daya kebudayaan untuk pembentukan
keindonesiaan yang bermartabat dan mampu mengembangkan sumber daya kebudayaan
secara berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar