Selasa, 16 Juni 2015

Gangguan Mental Pelaku Child Abuse

Gangguan Mental Pelaku Child Abuse

Nadia Egalita  ;  Mahasiswi Faculty of Art, Monash University Australia,
belajar tentang Media Studies and Social Behaviour
JAWA POS, 15 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SIAPA saja yang bakal dijadikan terdakwa pelaku tindak kekerasan dalam kasus kematian Angeline, 8, di Bali yang menggegerkan itu hingga kini masih diselidiki. Saat ini pihak yang telah dijadikan terdakwa bukan hanya pembantu pria yang mengaku telah memerkosa dan membunuh Angeline untuk menutupi kelakuan jahatnya, tetapi juga ibu angkat korban yang diduga memiliki kepribadian yang patologis.

Penetapan ibu angkat korban sebagai terdakwa baru bukan tanpa alasan. Dari jasad korban diketahui, jauh sebelum meninggal, ternyata di tubuh korban terdapat luka bekas sundutan rokok dan berbagai indikasi lain yang menguatkan dugaan bahwa semasa anak malang ini hidup pernah mengalami dan menjadi korban tindak child abuse atau minimal ditelantarkan.

Mental Disorder

Seperti dilaporkan Jawa Pos pada 12 dan 13 Juni 2015, berdasar hasil pemeriksaan kejiwaan terhadap ibu angkat korban yang dilakukan aparat kepolisian diketahui, yang bersangkutan memiliki kepribadian dan sifat yang keras, impulsif, dominan, agresif, dan bahkan ada indikasi cenderung psikopat. Paling tidak yang bersangkutan secara psikologis mengalami gangguan mental yang mengakibatkan dia tidak bisa mengontrol tindakannya secara pasti. Perilaku yang meledak-ledak, amarah yang acap kali tidak tertahankan, sering disebut-sebut sebagai ciri yang menandai orang yang mengalami mental disorder.

Dalam kajian psikologi memang dikatakan bahwa yang namanya dorongan amarah pada diri seseorang tidak selalu diikuti dengan tindakan agresif, seperti menyerang orang yang dinilai mengancam atau mempermalukan dirinya (Howells, 1996). Bahkan, sering dorongan amarah di kalangan sebagian orang yang mampu mengelolanya justru diekspresikan dalam bentuk reaksi yang bertolak belakang, seperti bersikap sangat baik kepada orang yang menimbulkan kemarahan mereka.

Tetapi, dalam kasus Angeline, yang terjadi diduga tidak seperti digambarkan di atas. Kalau benar berita selama ini bahwa di tubuh Angeline ditemukan bekas luka sundutan rokok, tubuh yang kurus karena kurang terurus, keseharian yang lebih banyak murung, menarik diri, dan kesaksian sejumlah pihak menyatakan bahwa tidak sekali-dua kali Angeline dibentak-bentak, dan diperlakukan kasar di rumah ibu angkatnya, maka sangat mungkin di lingkungan terdekat korban memang ada pihak-pihak tertentu yang mengalami gangguan kepribadian sehingga tega memperlakukan bocah yang lugu itu secara tidak wajar.

Secara teoretis, gangguan kepribadian sering ditandai dengan perilaku yang tidak conform atas aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Kriminalitas, kejahatan seksual, tindakan agresif menganiaya orang lain, tindak kekerasan terhadap anak, dan berbagai perilaku menyimpang lainnya adalah tindakan yang muncul akibat adannya gangguan kepribadian kronis yang diderita seseorang.

Menurut Gary L. Tischler (1996), yang dimaksud gangguan kepribadian adalah pola perilaku yang bersifat menetap, infleksibel, dan mal-adaptif yang terus-menerus dan melanggar hak orang lain, mencemarkan diri sendiri dan orang lain, bersifat destruktif terhadap hubungan-hubungan interpersonal dan sosial, atau merusak kemampuan subjek yang bersangkutan untuk memenuhi kewajiban harian guna meraih tujuan hidup.

Artinya, jika benar ibu angkat korban memiliki kepribadian yang agresif dan mengalami gangguan mental, bisa saja yang bersangkutan khilaf atau bahkan terencana dan melakukan berbagai bentuk tindakan child abuse yang menyakiti dan menyengsarakan kehidupan Angeline. Jika benar pengakuan pembantu pria yang membunuh Angeline karena diiming-imingi upah Rp 2 miliar oleh ibu angkat korban, sangat mungkin otak tewasnya Angeline adalah ibu angkatnya sendiri.

Banyak studi membuktikan, di kalangan orang tua yang secara psikologis tertekan, impulsif, dan cenderung tidak conform dengan tatanan yang berlaku, maka dalam kehidupan keseharian, mereka akan rawan tergelincir menjadi pelaku child abuse kepada anak-anaknya sendiri. Dengan mengatasnamakan untuk mendidik kedisiplinan anak, misalnya, bisa saja seorang ibu atau ayah melakukan tindakan yang kelewat batas kepada anaknya, tanpa menyadari bahwa yang mereka lakukan menyakiti hati anak-anaknya yang seharusnya mereka sayangi.

Intervensi yang Efektif

Mencegah terjadinya kasus child abuse dan menangani kepribadian orang tua yang mengalami mental disorder tentu bukan hal yang mudah. Para ahli psikologi dan psikiater yang berusaha mengembangkan perilaku yang conform pada tatanan sosial dan mendekonstruksi agar orang-orang yang mengalami mental disorder tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain sering terbentur upaya untuk menentukan intervensi apa yang paling efektif harus dilakukan agar tidak terjadi kasus seperti dialami Angeline.

Selain perlu melihat latar belakang sejarah kelam yang mungkin pernah dialami pelaku ketika anak-anak, apakah ia pernah menjadi korban child abuse atau tidak di masa kecilnya, kesulitan yang dihadapi untuk mendekonstruksi orang-orang yang mengalami gangguan mental adalah kesadaran dan kemauan keluarga besar pelaku untuk menyadari pada kekeliruan dan keanehan tindakan pelaku dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kasus Angeline, anggota keluarga lain dan orang-orang yang pernah mengenal keluarga korban tentu mengetahui dan pernah melihat bagaimana tipisnya batas kesabaran ibu angkat Angeline. Dalam keseharian, bagaimana subjek yang bersangkutan memperlakukan korban, dan lain sebenarnya sudah pasti diketahui. Tetapi, masalahnya adalah siapa yang kemudian berani mengambil langkah untuk mencegah agar tindakan yang bersangkutan tidak berkembang lebih jauh dan bagaimana memutus mata rantai tindak kekerasan yang dilakukan orang yang menderita mental disorder?

Tanpa adanya dukungan seluruh anggota masyarakat untuk ambil bagian dalam pencegahan dan penanganan orang-orang yang menderita gangguan mental, jangan harap kasus Angeline tidak kembali terulang di kemudian hari dengan korban-korban baru yang sama malangnya seperti Angeline.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar