Senin, 22 Juni 2015

Mencari Sosok Pemberani

Mencari Sosok Pemberani

Marwan Mas ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
MEDIA INDONESIA, 20 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KITA patut merespek kinerja Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel KPK). Bukan hanya karena semuanya dari perempuan yang memiliki keahlian beragam, melainkan juga aktif menjemput masukan dari berbagai kalangan. Publik berharap pendaftar calon pimpinan (capim) KPK tetap banyak dari tokoh dan ahli hukum yang mumpuni secara teori dan teknis hukum. Setelah KPK dilanda berbagai gelombang praperadilan, ada kesan kepercayaan publik mulai menurun karena dianggap KPK tidak profesional dalam menetapkan seseorang tersangka.

Pansel juga sudah menerima 17 kriteria khusus bagi capim KPK jilid keempat yang disampaikan pimpinan KPK (9/6). Setidaknya Pansel perlu memilih prioritas terpenting untuk mendukung pelaksanaan wewenang KPK yang begitu besar. Selain memiliki kompetensi di bidang teori dan teknis hukum, mereka punya kredibilitas tinggi, profesional, serta mampu bekerja sama untuk menerapkan pengambilan keputusan kolektif-kolegial. Keempat kriteria itu harus ditunjang satu sikap, yaitu `harus berani' karena yang menjadi sasaran tembak KPK ialah aparat penegak hukum serta penyelenggara negara yang selalu susah ditembus.

Itulah kekuatan khusus pimpinan KPK dalam memberantas korupsi, baik pada tugas koordinasi, supervisi, pencegahan, apalagi pada upaya penindakan. Percuma pimpinan KPK punya teori dan pengetahuan praktis hukum, profesional, dan segala persyaratan lainnya tetapi nyalinya kerdil.

Jika pimpinan KPK tidak berani menghadapi risiko, boleh jadi tidak akan ada yang bisa dijadikan tersangka. Sasaran KPK dalam penindakan ialah sosok yang punya kekuasaan besar, punya jaringan, dan kekuatan politik dalam pemerintahan. Sikap `berani yang betul-betul berani' patut dimiliki pimpinan KPK jilid keempat, sambil memperbaiki kelemahan dan sikap yang mungkin ambisius.

Penegakan progresif

Kita tidak mungkin mengabaikan keberhasilan KPK jilid ketiga dan KPK sebelumnya. Mereka begitu gagah perkasa menjerat pejabat tinggi hukum dan pejabat negara ke terali besi karena terbukti korupsi.

Itulah sikap yang dibutuhkan dalam menghadapi perilaku korupsi yang semakin berani, sebab dalam pandangan `penegakan hukum progresif ' yang digagas Satjipto Rahardjo, kejahatan luar biasa seharusnya dilawan dengan penegakan secara luar biasa pula.

Kalau KPK jilid keempat tidak sama beraninya dengan KPK jilid ketiga, dipastikan tidak akan mendapat sambutan luas masyarakat. Secara pragmatis, yang dibutuhkan bagi pimpinan KPK ke depan bukan sekadar berintegritas, profesional, dan mampu bekerja sama dengan institusi penegak hukum lainnya, melainkan juga punya keberanian besar.

Kita tidak boleh terbuai oleh berbagai pandangan miring terhadap KPK jilid ketiga, hanya karena ada tiga penetapan tersangka yang dikabulkan gugatan praperadilannya. Tanpa bermaksud membesar-besarkan keberhasilan KPK jilid ketiga, tidak ada salahnya menjadikannya sebagai pelajaran berharga untuk lebih memperbaiki kinerja KPK ke depan.

Proses hukum terhadap AS dan BW, dan penyidik KPK tidak boleh membuat semangat memerangi korupsi menjadi kendur. Jangan sampai laporan dugaan tindak pidana itu bertujuan ganda. Selain diklaim ada fakta kasus yang diungkap, itu juga sebagai upaya sistematis untuk `membungkam' para aktivis dan pengamat antikorupsi untuk bersuara nyaring melawan para koruptor.

Jika seperti itu yang terjadi, korupsi dipastikan akan kian merajalela karena orang takut bersuara kritis, takut menginformasikan atau melaporkan dugaan terjadinya korupsi.

Peran penting masyarakat sama dengan KPK, kepolisian, dan kejaksaan dalam memerangi korupsi. Dalam pencegahan, peran masyarakat dijamin dalam Pasal 41 UU Nomor 31/1999, diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). Warga masyarakat dijamin untuk bersuara, mencari, memperoleh, dan memberikan informasi terjadinya korupsi.

Rakyat tidak boleh terjebak pada pembalikan peran penting KPK jilid ketiga sehingga semangat antikorupsi para aktivis LSM antikorupsi, mahasiswa antikorupsi, serta peran penting pers dan akademisi antikorupsi ikut tergerus. Jika semangat antikorupsi melemah sejalan dengan gelombang serangan praperadilan KPK, pada akhirnya yang diuntungkan para koruptor dan calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara. Kita tidak boleh gentar bersuara antikorupsi, tetapi kita juga berharap rakyat selalu berada di belakang perjuangan itu karena kita semua adalah korban dari keserakahan para koruptor.

Respons bagi Polri

Kegelisahan rakyat atas perkembangan pemberantasan korupsi yang mengalami kemandekan harus dijawab pansel dengan memilih sosok yang sesuai dengan kebutuh an pemberantasan korupsi ke depan. Pembegalan uang rakyat yang mungkin akan semakin besar dan meluas secara sistematis harus diantisipasi. Maka itu, kita layak merespons positif langkah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang belakangan ini mulai berani dan lebih serius membongkar dugaan korupsi besar. Tindakan itu harus kita dukung, harus bersinambung.

Salah satu yang patut diwaspadai Polri dan KPK ke depan ialah keberadaan uang negara sebesar Rp187 triliun dari keuntungan menyetop subsidi bahan bakar minyak (BBM). Menurut Presiden Jokowi, itu akan dipakai untuk membangun infrastruktur jalan, sarana pendidikan, dan fasilitas kesehatan (rumah sakit dan puskesmas). Semua komponen bangsa harus mengawasi penggunaan dana itu, jangan sampai menguap pada tahap implementasinya di lapangan. Yang harus diawasi ialah proses tender proyek agar tidak jatuh kepada perusahaan tertentu saja yang sengaja dimenangkan lantaran ada kekuasaan tertentu di belakangnya.

KPK jilid keempat dan Bareskrim Polri harus kerja sama dan berkoordinasi dengan baik dalam mengawasi penggunaan uang rakyat. Apalagi yang sering menelikung hukum dan membelokkan pemberantasan korupsi ialah mereka yang punya kekuasaan dan kepentingan terhadap suatu proyek besar yang menggunakan uang negara.

Mata rantai pemberantasan korupsi tidak boleh terputus, bahkan menjadi semacam pendidikan perilaku yang harus bersi nambung antara gagasan dan aksi konkret dalam memerangi korupsi. Karakter antikorupsi dan integritas ideal harus sejak awal dipersiapkan untuk mencegah uang negara dibegal para koruptor yang pura-pura membela kepentingan rakyat.

Sudah cukup lama rakyat muak pada koruptor yang menyengsarakan mereka. Uang negara harus dijaga secara ketat dari tangan-tangan jahil yang ada di berbagai level pemerintahan. Untuk mengembalikan wibawa pemberantasan korupsi yang sudah jadi penyakit mematikan, butuh konsistensi dan peran penting KPK, kepolisian, kejaksaan, dan puncaknya pada hakim yang mengadili dan menjatuhkan putusan.

Kita respek pada putusan MA terhadap Anas Urbaningrum yang melipatgandakan putusan Pengadilan Tinggi Tipikor dari 7 tahun menjadi 14 tahun penjara, tahun penjar denda Rp 5 miliar dan membayar uang pengganti Rp 57 miliar lebih. Bahkan hak politiknya dicabut sebagai salah satu upaya penjeraan dan membuat takut calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar