Mencari Sosok Pemberani
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45,
Makassar
|
MEDIA INDONESIA, 20 Juni 2015
KITA patut merespek
kinerja Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel
KPK). Bukan hanya karena semuanya dari perempuan yang memiliki keahlian
beragam, melainkan juga aktif menjemput masukan dari berbagai kalangan.
Publik berharap pendaftar calon pimpinan (capim) KPK tetap banyak dari tokoh
dan ahli hukum yang mumpuni secara teori dan teknis hukum. Setelah KPK
dilanda berbagai gelombang praperadilan, ada kesan kepercayaan publik mulai
menurun karena dianggap KPK tidak profesional dalam menetapkan seseorang
tersangka.
Pansel juga sudah
menerima 17 kriteria khusus bagi capim KPK jilid keempat yang disampaikan
pimpinan KPK (9/6). Setidaknya Pansel perlu memilih prioritas terpenting
untuk mendukung pelaksanaan wewenang KPK yang begitu besar. Selain memiliki
kompetensi di bidang teori dan teknis hukum, mereka punya kredibilitas
tinggi, profesional, serta mampu bekerja sama untuk menerapkan pengambilan
keputusan kolektif-kolegial. Keempat kriteria itu harus ditunjang satu sikap,
yaitu `harus berani' karena yang menjadi sasaran tembak KPK ialah aparat
penegak hukum serta penyelenggara negara yang selalu susah ditembus.
Itulah kekuatan khusus
pimpinan KPK dalam memberantas korupsi, baik pada tugas koordinasi,
supervisi, pencegahan, apalagi pada upaya penindakan. Percuma pimpinan KPK
punya teori dan pengetahuan praktis hukum, profesional, dan segala
persyaratan lainnya tetapi nyalinya kerdil.
Jika pimpinan KPK
tidak berani menghadapi risiko, boleh jadi tidak akan ada yang bisa dijadikan
tersangka. Sasaran KPK dalam penindakan ialah sosok yang punya kekuasaan
besar, punya jaringan, dan kekuatan politik dalam pemerintahan. Sikap `berani
yang betul-betul berani' patut dimiliki pimpinan KPK jilid keempat, sambil
memperbaiki kelemahan dan sikap yang mungkin ambisius.
Penegakan
progresif
Kita tidak mungkin
mengabaikan keberhasilan KPK jilid ketiga dan KPK sebelumnya. Mereka begitu
gagah perkasa menjerat pejabat tinggi hukum dan pejabat negara ke terali besi
karena terbukti korupsi.
Itulah sikap yang
dibutuhkan dalam menghadapi perilaku korupsi yang semakin berani, sebab dalam
pandangan `penegakan hukum progresif ' yang digagas Satjipto Rahardjo,
kejahatan luar biasa seharusnya dilawan dengan penegakan secara luar biasa
pula.
Kalau KPK jilid
keempat tidak sama beraninya dengan KPK jilid ketiga, dipastikan tidak akan
mendapat sambutan luas masyarakat. Secara pragmatis, yang dibutuhkan bagi
pimpinan KPK ke depan bukan sekadar berintegritas, profesional, dan mampu
bekerja sama dengan institusi penegak hukum lainnya, melainkan juga punya
keberanian besar.
Kita tidak boleh
terbuai oleh berbagai pandangan miring terhadap KPK jilid ketiga, hanya
karena ada tiga penetapan tersangka yang dikabulkan gugatan praperadilannya.
Tanpa bermaksud membesar-besarkan keberhasilan KPK jilid ketiga, tidak ada
salahnya menjadikannya sebagai pelajaran berharga untuk lebih memperbaiki
kinerja KPK ke depan.
Proses hukum terhadap
AS dan BW, dan penyidik KPK tidak boleh membuat semangat memerangi korupsi
menjadi kendur. Jangan sampai laporan dugaan tindak pidana itu bertujuan
ganda. Selain diklaim ada fakta kasus yang diungkap, itu juga sebagai upaya sistematis
untuk `membungkam' para aktivis dan pengamat antikorupsi untuk bersuara
nyaring melawan para koruptor.
Jika seperti itu yang
terjadi, korupsi dipastikan akan kian merajalela karena orang takut bersuara
kritis, takut menginformasikan atau melaporkan dugaan terjadinya korupsi.
Peran penting
masyarakat sama dengan KPK, kepolisian, dan kejaksaan dalam memerangi
korupsi. Dalam pencegahan, peran masyarakat dijamin dalam Pasal 41 UU Nomor
31/1999, diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Korupsi). Warga masyarakat dijamin untuk bersuara, mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi terjadinya korupsi.
Rakyat tidak boleh
terjebak pada pembalikan peran penting KPK jilid ketiga sehingga semangat
antikorupsi para aktivis LSM antikorupsi, mahasiswa antikorupsi, serta peran
penting pers dan akademisi antikorupsi ikut tergerus. Jika semangat
antikorupsi melemah sejalan dengan gelombang serangan praperadilan KPK, pada
akhirnya yang diuntungkan para koruptor dan calon koruptor yang antre di
berbagai institusi negara. Kita tidak boleh gentar bersuara antikorupsi,
tetapi kita juga berharap rakyat selalu berada di belakang perjuangan itu
karena kita semua adalah korban dari keserakahan para koruptor.
Respons
bagi Polri
Kegelisahan rakyat
atas perkembangan pemberantasan korupsi yang mengalami kemandekan harus
dijawab pansel dengan memilih sosok yang sesuai dengan kebutuh an
pemberantasan korupsi ke depan. Pembegalan uang rakyat yang mungkin akan
semakin besar dan meluas secara sistematis harus diantisipasi. Maka itu, kita
layak merespons positif langkah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang
belakangan ini mulai berani dan lebih serius membongkar dugaan korupsi besar.
Tindakan itu harus kita dukung, harus bersinambung.
Salah satu yang patut
diwaspadai Polri dan KPK ke depan ialah keberadaan uang negara sebesar Rp187
triliun dari keuntungan menyetop subsidi bahan bakar minyak (BBM). Menurut
Presiden Jokowi, itu akan dipakai untuk membangun infrastruktur jalan, sarana
pendidikan, dan fasilitas kesehatan (rumah sakit dan puskesmas). Semua
komponen bangsa harus mengawasi penggunaan dana itu, jangan sampai menguap
pada tahap implementasinya di lapangan. Yang harus diawasi ialah proses
tender proyek agar tidak jatuh kepada perusahaan tertentu saja yang sengaja
dimenangkan lantaran ada kekuasaan tertentu di belakangnya.
KPK jilid keempat dan
Bareskrim Polri harus kerja sama dan berkoordinasi dengan baik dalam
mengawasi penggunaan uang rakyat. Apalagi yang sering menelikung hukum dan
membelokkan pemberantasan korupsi ialah mereka yang punya kekuasaan dan
kepentingan terhadap suatu proyek besar yang menggunakan uang negara.
Mata rantai
pemberantasan korupsi tidak boleh terputus, bahkan menjadi semacam pendidikan
perilaku yang harus bersi nambung antara gagasan dan aksi konkret dalam
memerangi korupsi. Karakter antikorupsi dan integritas ideal harus sejak awal
dipersiapkan untuk mencegah uang negara dibegal para koruptor yang pura-pura
membela kepentingan rakyat.
Sudah cukup lama rakyat
muak pada koruptor yang menyengsarakan mereka. Uang negara harus dijaga
secara ketat dari tangan-tangan jahil yang ada di berbagai level
pemerintahan. Untuk mengembalikan wibawa pemberantasan korupsi yang sudah
jadi penyakit mematikan, butuh konsistensi dan peran penting KPK, kepolisian,
kejaksaan, dan puncaknya pada hakim yang mengadili dan menjatuhkan putusan.
Kita respek pada
putusan MA terhadap Anas Urbaningrum yang melipatgandakan putusan Pengadilan
Tinggi Tipikor dari 7 tahun menjadi 14 tahun penjara, tahun penjar denda Rp 5
miliar dan membayar uang pengganti Rp 57 miliar lebih. Bahkan hak politiknya
dicabut sebagai salah satu upaya penjeraan dan membuat takut calon koruptor
yang antre di berbagai institusi negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar