Merawat Moral Republik
David Krisna Alka ; Pemerhati Kebudayaan Politik;
Research Associate The Indonesian Institute, dan Populis Institute
|
MEDIA INDONESIA, 20 Juni 2015
TOKOH bangsa Ahmad
Syafii Maarif, atau akrab disapa berbagai kala ngan dengan panggilan Buya
Syafii Maarif, telah berusia 80 tahun.Sungguh usia yang sangat matang dengan
berbagai pengalaman. Buya Syafii Maarif lahir di Sumpur Kudus, Sijunjung,
Sumatra Barat, 31 Mei 1935. Baru-baru ini, dalam rangka memperingati 80 tahun
Buya Syafii Maarif, Maarif Institute sebagai lembaga penggerak gagasan dan
pemikiran Buya di beberapa kota di Indonesia mengadakan talkshow kebangsaan
dengan tema Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan. Ya, Buya
Syafii Maarif terbukti gigih menjaga keragaman bangsa dan merawat moral
republik.
Selain itu, dalam
pandangan saya, Buya Syafii Maarif itu bak `puisi'. Puisi yang `membersihkan'
masyarakat agar tak lagi menjadi mangsa retorika politik yang meninabobokan.
Puisi yang menasihati supaya manusia Indonesia jangan sampai tunamoral dan
tunaadab.
Puisi yang
mengingatkan kita agar berani memulai untuk bersikap jujur pada diri sendiri.
Mengakui borok-borok yang menempel pada diri sendiri, dan jangan pernah
menjual kebohongan di mana-mana. Puisi yang menggetarkan hati untuk
mempercepat proses pencerdasan otak dan pencerahan hati bagi Tanah Air yang
tercinta ini. Puisi yang mengingatkan supaya Pancasila jangan sampai
`diyatim-piatukan'.
Ketika politik singit,
puisi yang meluruskannya. Tatkala pelaku politik tak berperasaan dan tak
punya hati, puisi yang bertanggung jawab mengisi para pelaku politik dengan
kemuliaan jiwa dan hati.
Berbagai pemikiran
Buya Syafii Maarif dalam tulisannya memiliki kedalaman isi dan hati. Seperti
kedalaman puisi yang mencairkan bekunya hati dan menghidupi kepekaan saraf
yang telah mati, yakni saraf negeri ini. Buya Syafii Maarif pasti menyukai
bait puisi almarhum Rendra berikut ini.
`Dengan puisi ini aku
bersaksi bahwa rakyat Indonesia belum merdeka. Rakyat yang tanpa hak hukum
bukanlah rakyat merdeka. Hak hukum yang tidak dilindungi oleh lembaga
pengadilan yang benar-benar bersih, adil, mandiri, dan terkawal adalah hukum
yang ditulis di atas air!'
Tak
lupa yang kecil
Puisi tak pernah
melewati detail pernak-pernik besar atau kecil pengalaman kehidupan. Buya
pernah berkata, pernak-pernik kecil dalam sejarah kita sebagai bangsa kerap
dilupakan. Seolah-olah hal itu tidaklah penting dibicarakan dan diingat meski
sesungguhnya gerak pikir dan kesadaran kita dalam berbangsa sering ditentukan
peristiwa-peristiwa kecil yang terlewatkan.
Buya membuktikan hal
itu. Ia melontarkan gagasan dan menulis kisah orang-orang kecil dan rakyat
biasa yang bertegur sapa dan bercengkerama bersamanya. Misalnya, dalam
tulisan Di Bengkel Itu Ada Ayat Allah (Kompas, 12/1/2013) dan Sopir Taksi
Marsudi Bertutur (Republika, 27/3/2013).
Pastinya, banyak
tulisan dan komentar Buya yang memiliki keluasan jiwa terhadap hal-hal kecil
yang sering kita remehkan.“Jangan Remehkan Titik Koma.“ Itu ialah kalimat
Buya yang menjadi judul kolom Agung Achmad di majalah Tempo (7 Juni 2010).
Dalam pengamatan Agung, diksi yang diucapkan atau dituliskan Buya sering
mengagetkan orang. Misalnya, kalimat Buya yang mengatakan membangun peradaban
itu dimulai dari titik dan koma.
Berkhidmat
kebinekaan
Maarif Institute for
Culture and Humanity ialah sebuah lembaga bagi gerakan gagasan Buya yang
digerakkan intelektual-intelektual muda, salah satu programnya ialah Maarif
Award. Itu merupakan sebuah program yang mengapresiasi dan mengakui perjuangan
anak-anak bangsa yang berdedikasi tinggi membangun peradaban yang dimulai
dari titik dan koma itu. Program itu juga untuk mengapresiasi anak-anak
bangsa yang berjuang merawat keindonesiaan dan memperjuangkan kemanusiaan
melalui kerja-kerja inisiatif kepemimpinan di tingkat lokal berbasis
nilai-nilai keagamaan yang universal.
Akhirnya, Romo Franz
Magnis-Suseno pernah berkata, “Buya adalah sahabat saya. Saya selalu terkesan
oleh keterbukaannya, oleh kombinasi yang bagus antara keislaman dan keagamaannya
yang yakin dengan sikap pluralisme. Saya kira itu merupakan modal penting
bagi bangsa Indonesia untuk melihat bahwa perbedaan beragama bisa
mempersatukan dan tidak sama sekali berubah menjadi alasan kita. Saya
menganggap beliau adalah orang yang sangat brilian“.
Ya, begitulah Buya. Ia
menjaga dan merawat moral republik ini supaya tidak oleng dan terdampar di
pantai nan karam. Buya merupakan `puisi' dalam keberbagaian yang meneguhkan
kedamaian dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar