Islam Nusantara
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN SINDO, 21 Juni 2015
Saya punya kebiasaan
jalan kaki santai setiap pagi di kompleks perumahan tempat tinggal saya dan
kampung sekitarnya. Maka, pada hari pertama Ramadan 1436 H (18 Juni 2015)
ini, saya pun tetap melakukan kebiasaan saya itu.
Tetapi, berbeda dari
biasanya, pada pagi ini warung-warung makan dan pedagang kaki lima (PKL)
penjual gorengan semuanya tutup. PKL tukang sayur yang biasanya ada beberapa,
cuma tinggal satu. Begitu juga orang-orang yang biasa berolahraga pagi
bersama saya (ada yang jogging, bersepeda, ada yang mengajak anjingnya, ada
yang mengajak dua anjingnya, ada yang mengajak istrinya, bahkan ada yang
mengajak dua istrinya... jangan ketawa, ini serius, loh), tiba-tiba sebagian
besar menghilang.
Digantikan oleh
beberapa kelompok anak-anak yang sepertinya libur sekolah dan memilih untuk
tidak tidur lagi sesudah sahur, melainkan berjalan- jalan bersama temanteman.
Tampak ada perubahan drastis antara hari biasa dan hari Ramadan. Seperti di
Arab Saudi yang pernah saya dengar. Di Saudi selama bulan puasa orang
membalikkan hari. Siang jadi malam (orang tidur saja karena dipercaya tidur
pun berpahala selama Ramadan) dan malam jadi siang (kantor-kantor,
perdagangan, jual-beli dilaksanakan pada malam hari).
Tetapi, yang terjadi
di lingkungan rumah saya bukan Arabisasi. Warung makan dan PKL tutup karena captive market-nya hilang (tidak ada
yang beli), bukan karena larangan menutup tempat makan selama Ramadan. Bapak-bapak
pada umumnya melanjutkan tidur dulu sesudah sahur agar nanti fresh untuk ke
kantor.
Setelah lelah berjalan
kaki, seperti biasa saya duduk di depan TV sambil mengobrol dengan istri
saya. Kebetulan tayangan infotainment
pagi itu adalah tentang artis bernama LCB yang membuka butik baju muslimah.
Artis ini belum setahun berjilbab, setelah sebelumnya dia berpacaran dengan
pria non-Indonesia dan nonmuslim pula, tetapi dalam tayangan infotainment pagi itu ia mendemonstrasikan
cara memakai jilbab (atau sering disebut juga ”hijab”) cantik dengan
menggunakan sedikit saja jarum pentol.
Ini pekerjaan yang
menakjubkan karena pengalaman saya dengan anak saya, dia selalu mau pinjam
jarum pentol dari ibunya, setiap kali mau memasang jilbabnya (kalau pas
sedang menginap di rumah kami) dan selalu dijawab istri saya, ”Enggak ada”,
padahal ada (indahnya tidak berbagi... daripada kehabisan sendiri...).
Tetapi, jujur saja
pada 1980- an, makin maraknya perempuan berhijab ketika itu pernah saya
cemaskan sebagai ancaman Arabisasi. Usaha perlawanan dari pemerintah lumayan
keras misalnya dengan melarang siswi- siswi sekolah-sekolah negeri untuk
berhijab di sekolah-sekolah negeri. Kekhawatiran saya dan saya kira
pemerintah juga adalah terancamnya budaya Indonesia, termasuk merosotnya
harkat wanita Indonesia, yang turun menjadi seperti wanita-wanita di Arab
Saudi, yang tidak punya hak suara atau hak pilih, tidak boleh mengemudi
kendaraan,
dan harus memakai
gamish serbahitam dan bercadar walaupun di dalamnya dia memakai tank top atau
bahkan hanya berbikini (wanita Arab berdandan hanya untuk pamer kepada sesama
wanita atau suami). Memang sejak 30 tahunan yang lalu itu, sampai sekarang,
makin marak perempuan Indonesia berjilbab. Tetapi, jilbab di Indonesia masih
memungkinkan kita melihat kecantikan wanita Indonesia.
Wajah tidak ditutup
cadar dan full make up (termasuk
bulu mata palsu) masih dapat kita saksikan. Selain itu, hijab pun bisa
dimodel-modelkan, dengan teknik pemakaian ataupun pemilihan warna-warninya
agar sesuai dengan busana, tas, sepatu, dan aksesoris lainnya. Kalau belum
puas melihat di TV, bisa masuk ke butik busana muslim dan di sana semuanya
ada dan serbacantik.
Wanita-wanita
Indonesia pemakai hijab pun tidak sertamerta terdegradasi harkatnya. Anak
saya (yang suka pinjam jarum pentol itu) masih associate director di tempat kerjanya dan masih berenang dengan
baju renang khusus muslimah yang menutup aurat dari ujung ke ujung. Bahkan
sekarang Polwan, yang sudah diizinkan berjilbab, bisa mengatur lalu lintas
dengan full jilbab. Alhamdullilah, naluri budaya lokal masih kuat dan melawan
dengan cerdik tekanan Arabisasi dalam tradisi berbusana.
Beberapa hari yang
lalu, dalam rangka Munas NU di Masjid Istiqlal, Jakarta, Presiden Jokowi
melontarkan istilah ”Islam Nusantara”. Maksudnya adalah Islam di Indonesia
punya model sendiri yang tidak usah meniruniru Arab. Islam Nusantara adalah
Islam yang dipraktikkan di Indonesia yang bersifat toleran, moderat, damai,
inklusif, dan membaur dengan budaya lokal.
Istilah ini langsung
menimbulkan protes. Alasannya adalah di Alquran tidak ada kata Islam
Nusantara. Islam Nusantara juga tidak diperlukan karena Islam ya Islam, tidak
perlu dikasih embel-embel apa pun, karena Islam itu universal. Pertanyaannya
sekarang, adakah Islam universal itu? Walaupun agama datang dari langit, dari
Allah, tetapi ketika dipraktikkan oleh manusia di bumi, mau atau tidak mesti
berangkulan dengan budaya.
Karena itulah, di
Sumatera Barat ada Islam yang matriakhal, di Jawa ada Islam yang percaya pada
Nyai Loro Kidul, menara Masjid Kudus berbentuk seperti pura Hindu, pancuran
tempat umat berwudu berornamen kepala arca (dan tidak satu pun umat yang
kemudian memuja arca itu), dan lainnya. Tetapi, Islam Nusantara memang tidak
bisa dipaksakan di Afghanistan atau Pakistan atau Arab Saudi sendiri. Tetapi
juga tidak bisa Islamnya Arab dipaksakan di Indonesia.
Indonesia mengenal
Islam melalui jalur damai dengan gaya dakwah Wali Songo, padahal
universalisasi atau Arabisasi Islam selalu dengan kekerasan (sweeping, teror,
dan sebagainya). Karena itulah, Islam Nusantara (termasuk mengaji dengan
langgam Jawa) secara refleks menolak universalisasi Islam melalui caranya
artis LCB mempromosikan teknik berhijab-minimum jarum pentol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar