Permalukan
RRT secara Internasional
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 03 Juni 2015
Beberapa pekan
mendatang, Pengadilan Internasional Hukum Laut (ITLOS) akan menentukan
legalitas 10 garis putus-putus berbentuk huruf U yang menjadi klaim Tiongkok
(termasuk Taiwan) di Laut Tiongkok Selatan. Keputusan ITLOS akan menjawab
pertanyaan Filipina apakah garis-garis yang mencakup 90 persen Laut Tiongkok
Selatan itu sah sesuai Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Menjelang keputusan
ini, dalam acara tahunan Shangri-La
Dialogue 2015 di Singapura yang diselenggarakan International Institute for Strategic Studies (IISS), pekan lalu,
Tiongkok pun dikecam banyak negara karena pembangunan ”pulau-pulau palsu”
yang juga bertentangan dengan UNCLOS. Yang menjadi pertanyaan menarik, apakah
Tiongkok akan menjadi semakin agresif apabila keputusan ITLOS tidak sesuai
harapannya, karena selama ini Tiongkok menentang intervensi arbitrase atas
klaim kedaulatan dengan argumentasi ”warisan sejarah”.
Kalau ITLOS menyatakan
ke-10 garis putus-putus tersebut ilegal, klaim kedaulatan Tiongkok di wilayah
Laut Tiongkok Selatan dan wilayah sumber kekayaan lautnya hanya terbatas
beberapa kilometer dari wilayah daratannya. Dampaknya, klaim kedaulatan warisan
sejarah tersebut akan menciut dan wilayah berbentuk huruf U itu hanya akan
memiliki kawasan dengan diameter sekitar 50 kilometer.
Celakanya, klaim
kedaulatan warisan sejarah yang gencar disuarakan Tiongkok tidak cukup bukti
menunjang klaim tersebut. Bukan hanya itu, klaim kedaulatan sama oleh
Malaysia, Vietnam, Brunei, dan Filipina juga sulit mencari pembenaran sejarah
wilayah klaim masing-masing di Laut Tiongkok Selatan.
Koresponden BBC, Bill
Hayton, penulis buku The South China
Sea: the struggle for power in Asia, dalam argumentasinya pada artikel di
laman Asia Sentinel terbitan 25 Mei lalu berjudul ”Fact, Fiction and the South China Sea” menyebutkan, berbagai
artikel, makalah, kertas kebijakan, dan sebagainya umumnya ditulis oleh para
ahli hukum internasional atau ilmu politik ketimbang sejarawan maritim
tentang wilayah tersebut.
Umumnya,
tulisan-tulisan tersebut berasal dari sumber-sumber mengacu pada publikasi
awal abad ke-20, tidak memiliki hubungan kuat pada sumber-sumber primer,
tidak memiliki informasi kontekstual sejarah, dan umumnya ditulis para ahli
yang memiliki hubungan yang erat dengan Tiongkok.
Mengkhawatirkan?
Mungkin. Keputusan ITLOS atas 10 garis putus-putus mungkin menganggap tidak
ada yang harus diputuskan karena kekurangan bukti. Tiongkok yang tidak mau
berpartisipasi dalam pengadilan arbitrase tersebut sudah mengajukan ”kertas
posisi” sebagai argumentasi terselubung dan kontra-aksi atas apa yang
dilakukan oleh Filipina.
Keputusan ITLOS, apa
pun bentuknya, akan memengaruhi beberapa faktor. Pertama, Tiongkok kehilangan
muka, karena perilakunya dianggap tidak sesuai norma dan nilai hukum
internasional. Perilaku agresif dan asertif Tiongkok tidak sesuai martabat
negara besar yang bertanggung jawab atas persoalan dunia, menyebabkan negara
ini tidak layak untuk dipercaya.
Kedua, ASEAN sebagai
mediator imparsial (honest broker)
setidaknya perlu bertemu menetapkan strategi bersama, baik ke dalam ASEAN
maupun berhadapan dengan negara-negara non-ASEAN. Perlu perubahan struktural
dan strategis atas tata perilaku (code
of conduct) di Laut Tiongkok Selatan, atas keputusan ITLOS baik itu
menolak 10 garis putus-putus yang dianggap bertentangan dengan UNCLOS,
menanggap bukan kasus arbitrase hukum laut, maupun keputusan lainnya.
Ketiga, perlu rumusan
ulang rancangan inisiatif yang muncul pada Shangri-La Dialogue 2015, mulai
usulan Taiwan Inisiatif Perdamaian Laut Tiongkok Selatan, Inisiatif Keamanan
Maritim Asia Tenggara oleh AS, usulan patroli perdamaian Menhan RI Ryamizard
Ryacudu, hingga usulan Shangri-La Dialogue Initiative memonitor Asia Tenggara
usulan Jepang.
Semua
faktor ini perlu pemikiran cermat menghindari situasi ”mempermalukan Tiongkok
secara internasional” yang memperburuk keadaan berakibat terancamnya
stabilitas dan perdamaian kawasan. Tiongkok pernah menghadapi situasi
”dipermalukan” dan tidak ingin ini terjadi kembali di abad ke-21. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar