Senin, 22 Juni 2015

Dokter Palsu ataukah Dokter Asli tapi Palsu?

Dokter Palsu ataukah Dokter Asli tapi Palsu?

Wimpie Pangkahila ;   Profesor pada Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
MEDIA INDONESIA, 18 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SAMPAI saat ini masih ha ngat dibicarakan tentang dokter palsu alias gadungan yang berpraktik di toilet pertokoan. Kalau saja masyarakat sedikit saja menggunakan otak, mestinya tidak sampai tertipu dan menjadi korban penipu model begini. Mana ada dokter berpraktik di toilet?


Namun, ada juga dokter palsu yang berpraktik di tempat praktik seperti layaknya dokter asli, lengkap dengan `identitas konvensional' dokter pada umumnya. Menghadapi dok ter palsu begini jelas lebih sulit jika dibandingkan dengan yang berpraktik di toilet itu. Penipuan begini tidak akan berlangsung lama, karena akan banyak mata dokter asli atau pengurus IDI setempat dan juga Dinas Kesehatan yang kemudian mengetahuinya.

Paling sulit justru menghentikan praktik dokter asli, tetapi palsu alias dokter aspal. Apa pula dokter aspal?

Dokter aspal adalah dokter benar-benar asli yang punya izin praktik sah, tetapi melakukan praktik yang tidak berbasis bukti ilmiah, atau yang biasa disebut tidak melakukan evidence-based medicine (EBM).

Dokter asli yang tidak melakukan EBM sesungguhnya ialah dokter aspal, karena tindakan kedokteran yang tidak evidence-based dapat menimbulkan kemungkinan akibat sebagai berikut. Pertama, tindakannya tidak memberikan manfaat yang sesungguhnya bagi pasien, yang berarti merugikan pasien. Kedua, mungkin justru menimbulkan akibat buruk bagi pasien akibat tindakan yang tidak berbasis bukti ilmiah itu. Ketiga, merugikan pasien dari segi biaya. Dengan kalimat yang lebih kasar, tindakan kedokteran yang tidak evidence-based sama saja dengan penipuan.

Berikut ini beberapa contoh tindakan dokter yang tidak evidence-based. Pertama, menggunakan alat bantu diagnostik yang tidak didukung oleh data ilmiah dasar dan klinis. Kedua, melakukan tindakan kedokteran yang sebenarnya tidak diakui secara internasional karena tidak ada bukti ilmiah sama sekali. Ketiga, memberikan pengobatan yang tidak didukung oleh bukti ilmiah dan klinis. Keempat, melakukan praktik di beberapa kota dengan mengumpulkan pasien di sebuah hotel atau tempat lain.

Selain itu, ada pula dokter yang mengaku `spesialis' bidang tertentu, tetapi tidak jelas apakah telah melalui program pendidikan dokter spesialis yang berlaku secara internasional atau recidency, ataukah hanya melalui kursus atau pendidikan vokasi yang di beberapa negara disebut specialist vocational qualification.

Masyarakat dan dokter sekalipun, tampaknya perlu mengetahui bahwa tidak semua alat bantu diagnostik yang dijual secara luas memang benar berbasis bukti ilmiah. Sebagai contoh ialah alat pemeriksaan laboratorium portable yang dalam waktu singkat mampu mengeluarkan ratusan hasil darah, termasuk berbagai kadar hormon. Contoh lain, alat bantu diagnostik yang diiklankan dapat menentukan usia organ tubuh yang sebenarnya, dan alat yang dapat menentukan adanya keracunan logam.

Ada pula alat yang diiklankan mampu melakukan detoksifikasi, hanya dengan mencelupkan kaki di dalam air pada alat itu. Masih banyak lagi alat abal-abal seperti ini yang digunakan sebagian dokter sehingga kita boleh menyebut sebagai dokter aspal. Jangan heran kalau alat bantu abal-abal itu buatan luar negeri. Di Amerika sekalipun banyak diberitakan alat bantu abal-abal, tetapi akhirnya semakin sedikit digunakan karena masyarakatnya sebagian besar kritis. Alat abal-abal itu sebagian besar justru diekspor ke negara yang lebih bodoh, termasuk Indonesia.

Dengan menggunakan alat yang kelihatan canggih, padahal abal-abal, dokter sebenarnya telah mengubur profesionalitasnya. Dengan alat yang hanya tinggal diputar dan digunakan, siapa pun dapat melakukan itu. Celakanya, alat yang digunakan tidak berbasis data ilmiah.

Beberapa tindakan kedokteran yang dilakukan dokter aspal, ternyata tidak diakui secara internasional. Ada dokter yang katanya memberikan suntikan oksigen kepada pasiennya. Demikian juga beberapa suplemen yang diberikan, ternyata baru berdasarkan penelitian pada binatang.

Suplemen telah menjadi sebuah daya tarik bagi masyarakat karena didukung iklan yang berlebihan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Lebih parah lagi, ada dokter yang memberikan `herbal' dalam kapsul, padahal kalau membaca komposisi yang tertulis, tidak mungkin menimbulkan efek instan seperti yang terjadi. Artinya, dokter itu tidak mengerti kalau `herbal' itu dicampur bahan obat yang sebenarnya.

Kenyataan adanya dokter aspal sesungguhnya sangat menyedihkan. Dokter seharusnya menjadi seorang profesional, bukan hanya vokasional yang tidak cukup memiliki dasar ilmu pengetahuan terkini. Kalau ada dokter yang datang dari daerah lain dan melakukan tindakan kedokteran di suatu tempat, pasti dia tidak punya izin praktik di tempat itu. Itu tidak dibenarkan secara etika dan hukum.

Tindakan harus dilakukan

Lalu, bagaimana masyarakat menyikapi kenyataan buruk ini?  Pertama, jangan 
mudah percaya kepada iklan media massa, baik cetak maupun elektronik yang menyangkut dokter. Justru dokter yang profesional tidak mengiklankan diri. Kedua, jangan segan meminta pendapat dari dokter lain mengenai tindakan yang akan atau telah dilakukan seorang dokter. Ketiga, melaporkan kepada pihak berwenang kalau menduga ada sesuatu yang tidak benar pada diri seorang dokter dalam melakukan praktik kedokterannya.

Kepada pihak berwenang, Dinas Kesehatan dan penegak hukum, menertibkan dokter aspal tentu harus dilakukan untuk melindungi kepentingan masyarakat luas. Kalau dokter saja harus ditertibkan, apalagi dokter palsu dan orang awam yang berpraktik seolah dokter dengan mengiklankan berbagai ramuan dan cara pengobatan yang tidak jelas dasarnya. Sebagai catatan, bacalah iklan media dan saksikanlah tayangan TV yang tak bermutu dan penuh kebohongan yang menyampaikan pengobatan yang tidak jelas dasarnya. Sekian lama hal itu dibiarkan pemerintah.

Kalau kini pemerintah sedang menggalakkan tindakan terhadap pembeli dan penjual gelar palsu, kinilah saatnya pemerintah juga menertibkan iklan bohong di media massa cetak dan TV, ataukah dibiarkan saja agar semakin banyak korban yang jatuh?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar