Menolak Dana Aspirasi DPR
Laode Ida ; Wakil
Ketua DPD 2004-2014
|
KOMPAS, 18 Juni 2015
Para wakil rakyat di
Senayan kembali berinisiatif untuk memperoleh jatah resmi dari APBN dengan
mengusulkan anggaran "dana aspirasi". Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung,
yakni berkisar Rp 15 miliar-Rp 20 miliar/anggota, dengan total anggaran yang
diminta Rp 11,2 triliun. Pihak anggota DPR pengusul dana aspirasi (DA) itu
pun mencari-cari alasan pembenaran, yakni terkait dengan sumpah mereka untuk
memperjuangkan aspirasi rakyat yang ada di daerah pemilihan (dapil), sehingga
terkesan sebagai suatu kewajiban untuk direalisasikan dalam APBN 2016.
Sebagian fraksi di DPR
memang masih bersikap menolak usulan itu. Namun, jika pimpinan DPR memaksakan,
bisa saja terwujud, termasuk bisa dilewati melalui mekanisme voting dalam
sidang paripurna. Maklum, DPR memiliki otoritas kuat untuk menentukan alokasi
anggaran negara dalam APBN, apalagi terkait dengan kepentingan pihaknya.
Jika kondisi itu
terjadi, pada akhirnya para anggota yang fraksinya menolak akan turut juga
menikmati keuntungan politis dari DA itu. Apalagi jika pemerintah tidak
mempermasalahkan alias setuju saja, maka usulan itu tak akan memperoleh
hambatan yang berarti. Kalaupun ada kelompok-kelompok masyarakat yang
menolak, niscaya tak akan berpengaruh karena mereka semua berada di luar
panggung penentuan anggaran.
Kendati demikian,
perlu dicatat, wacana DA itu sebenarnya pernah muncul pada 2010 (periode awal
parlemen 2009-2014). Tetapi, kandas atau tak bisa diwujudkan karena di
samping pimpinan DPR tidak bersikap ngotot, pihak pemerintah juga
mengabaikannya karena memang ditentang keras banyak pihak di masyarakat. Para
anggota DPR dianggap tidak pada posisi untuk memperoleh DA, di mana seharusnya
hal ini pula menjadi pertimbangan utama sehingga sewajarnyalah menolak atau
tak memproses lebih lanjut usulan DA itu. Mengapa?
Pertama, otoritas
anggota DPR dalam mengarahkan DA belum memiliki dasar hukum terkait mekanisme
perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan
negara kita sekarang mengacu kepada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, di
mana tak ada satu klausul pun yang memberi kewenangan kepada anggota parlemen
untuk mengarahkan penggunaan anggaran negara dalam wujud DA.
Pihak eksekutiflah
yang memiliki kewenangan merencanakan program beserta anggarannya yang
diajukan atau dibiayai APBN (atau APBD di daerah otonom) dengan pendekatan
berbasis kinerja. Jika para anggota DPR menggunakan sumpah dan janji sebagai
dasar memaksakan DA, maka sebenarnya hanya mencari-cari peluang saja.
Kedua, DA akan
memastikan konflik kepentingan tak bisa dielakkan. Anggota DPR sendiri
bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap implementasi program eksekutif
berikut anggarannya, sementara DA akan mengakomodasi usulan dari dapil
terkait dukungan politik dari kelompok-kelompok masyarakat pendukung. Yang
pasti adalah akan tiadanya sikap obyektif dalam pengawasan terhadap
penggunaan DA yang diporsikan untuk dikendalikan anggota DPR itu sendiri.
Artinya, jika DA diwujudkan, maka sama halnya dengan meniadakan fungsi
kontrol dari anggota parlemen terhadap perencanaan dan eksekusi anggaran
negara.
Lebih jauh dari itu,
usulan program untuk menggunakan DA akan sangat sulit membedakan antara
"kebutuhan" dan "keinginan". Keinginan subyektif kelompok
masyarakat bahkan individu pendukung anggota DPR boleh jadi akan selalu
diakomodasi, padahal itu bukan merupakan kebutuhan obyektif masyarakat banyak
di dapil, sehingga sebenarnya tak pantas dibiayai APBN. Namun, jika itu tak
dibiayai, padahal masyarakat setempat tahu ada DA, maka akan berimplikasi
kepada menurunnya dukungan politik bagi anggota DPR bersangkutan. Ini juga
berarti, jika DA diwujudkan, maka sama halnya dengan membiarkan anggaran
negara digunakan untuk kepentingan subyektif politis bagi anggota DPR
terkait.
Ketiga, jika Ketua DPR
Setya Novanto memberi alasan bahwa DA itu untuk kepentingan masyarakat desa,
maka sebenarnya sudah salah kaprah dan barangkali melupakan substansi produk
sendiri. Soalnya dengan diimplementasikan UU No 6/2014 tentang Desa, maka
program-program pembangunan di desa sudah dapat diakomodasi dengan
menggunakan dana alokasi desa (DAD) yang jumlahnya miliaran rupiah per
desa/tahun anggaran.
Selain itu, tentu
saja, masyarakat desa masih akan memperoleh sentuhan program lainnya dari
APBD dan APBN melalui proses perencanaan dari bawah, seperti sudah disinggung
di atas. Jadi, secara bertahap,
sepanjang UU desa masih berlaku, masyarakat desa akan kebanjiran kucuran
program berikut anggarannya baik melalui mekanisme DAD, APBD, dan APBN itu.
Lalu, akan diarahkan ke desa mana lagi DA dari anggota DPR itu?
Keempat, dari segi
etika pengambil kebijakan, jika pun dianggap perlu, maka sangat tidak etis
dan tidak pantas. Karena, secara prinsip, penyelenggara negara tak boleh
membuat kebijakan untuk menguntungkan diri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar