Derita
Rohingya, Panggilan Kemanusiaan
Anna Luthfie ; Ketua DPP Partai Perindo dan Pegiat
Kemanusiaan
|
KORAN SINDO, 05 Juni 2015
Bisa dibayangkan bagaimana
jika kita hidup berbulan-bulan di atas perahu kayu yang retak dan atau tidak
muat untuk menampung puluhan, bahkan ratusan orang sekaligus. Tanpa
persediaan makanan, bahkan yang lebih memprihatinkan dan menyayat hati adalah
perjalanan mereka tanpa tujuan jelas.
Belum lagi mereka terombang-ambing
oleh kerasnya ombak dan gelombang lautan lepas yang amat keras. Perasaan
khawatir dan putus asa berhari-hari merasuki dan menyelimuti hati mereka
masing-masing. Itulah bagian yang dirasakan oleh para warga Rohingya, imigran
dari daratan Myanmar yang mencoba mencari peruntungan setelah ”terusir” dari
tanah leluhur yang puluhan tahun mereka tinggali.
Keputusan Pemerintah
Indonesia menampung sementara pengungsi Rohingya adalah langkah yang tepat
dan menyejukkan. Pertimbangan kemanusiaan menjadi alasan utama sekaligus
menjadi panggilan kebangsaan dan kenegaraan. Dalam hal ini termasuk menjadi
alasan dan cita-cita republik ini didirikan. Apalagi salah satu dasar negara
ini terbentuk dan dilahirkan adalah adanya rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
Tidak ada pilihan yang lebih manusiawi selain menerima mereka sebagai
kelompok yang membutuhkan uluran tangan dan empati.
Selain Indonesia,
Malaysia juga sepakat tidak akan mengusir kapal-kapal pengungsi dan menampung
mereka yang masuk wilayah teritorial Malaysia. Kedua negara sepakat memberi
tempat penampungan sementara, yang pada gilirannya puluhan pondok pesantren
juga terpanggil untuk ikut menampung pengungsi Rohingya. Kedua negara juga
menyepakati proses pemukiman kembali dan pemulangan akan dilakukan dalam
waktu satu tahun oleh masyarakat internasional.
Namun, tidak semua
negara yang berdekatan dan menjadi tujuan pengungsi Rohingya ini menerima
dengan lapang dada sebagai tragedi kemanusiaan. Thailand bersikap berbeda
dengan Indonesia dan Malaysia. Mereka tidak bersedia memberikan penampungan
sementara kepada pengungsi Rohingya dengan alasan mereka sudah mengurus
puluhan ribu pengungsi atau imigran gelap yang masuk lewat perbatasan dengan
Myanmar.
Terlepas dari
keputusan menampung ini diambil dengan dasar kemanusiaan, Indonesia mestinya
juga berjuang membujuk Myanmar agar mengubah kebijakannya dalam masalah kaum
Rohingya. Komunitas ASEAN menjadi salah satu alternatif untuk menawarkan
solusi atas persoalan pengungsi Rohingnya. Myanmar harus bertanggung jawab
atas pengungsi Rohingnya, meskipun terjadi perdebatan dan polemik terkait
status kewarganegaraan yang disandang oleh kaum Rohingya tersebut.
Pemerintah Myanmar
berpandangan mereka bukan warga negaranya, namun fakta menyebutkan para
imigran dan pengungsi ini bertahun-tahun tinggal di wilayah Myanmar dan
mereka berangkat mengungsi dari daratan Myanmar atas tragedi politik yang
meminggirkan mereka. Sikap Myanmar yang bersikeras terhadap kaum Rohingya
mestinya menjadi catatan bagi dunia internasional bahwa sebuah negara harus
bertanggung jawab atas persoalan yang terjadi di negerinya.
Pengungsi Rohingnya
adalah potret gagalnya negara di Myanmar menciptakan kohesi sosial di
wilayahnya. Selama ini yang beredar menyebutkan terusirnya Rohingnya dari
wilayah Myanmar tidak lepas dari konflik agama antara Buddha dan Islam.
Namun, kacamata yang semestinya dipandang secara holistis yakni kasus ini
sarat masalah kemanusiaan (baca: tragedi kemanusiaan).
Tragedi Minoritas
Tragedi
kemanusiaan yang melanda kaum Rohingya adalah sekaligus potret tragedi
minoritas. Rohingya tidak sekadar minoritas agama, namun juga etnis. Lebih
parah lagi, minoritas ini juga tidak mendapatkan sumbangan politik dari para
elite politik di Myanmar, termasuk dari tokoh sekelas Aung San Suu Kyi.
Tokoh
oposisi prodemokrasi dan penerima Nobel Perdamaian ini cenderung diam tak
bersuara untuk meneriakkan ketidakadilan, sesuatu yang dia perjuangkan selama
ini, termasuk diganjar sebagai peraih Nobel Perdamaian. Sang tokoh telah
menjelma sebagai politisi yang berhitung untung rugi, kalkulasi politik atas
kejadian ini. Suu Kyi tengah mempersiapkan diri maju sebagai calon presiden.
Tentu,
membela kaum Rohingya akan ”melawan” arus utama di negaranya yang cenderung
diam atas tragedi Rohingya. Diam dalam politik tentu saja tanpa sikap,
menjaga jarak, dan membangun persepsi bahwa Rohingya bukanlah urusan mereka.
Suu Kyi membutuhkan suara mayoritas untuk mendukungnya di pemilihan presiden.
Lengkap sudah tragedi minoritas Rohingya, mulai dari agama, etnis, dan
politik.
Kritikan
dan desakan para elite Indonesia terhadap diamnya Suu Kyi menjadi wajar
ketika sang tokoh oposisi Myanmar tersebut seakan bertolak belakang dengan
sosoknya selama ini yang berani, tegas, dan berjuang atas nama hak asasi
manusia dan keadilan. Suu Kyi tak ubahnya para politisi lain yang cenderung
lebih mengutamakan kepentingan politiknya, sehingga cukup wajar kalau publik
dunia kecewa atas sikap Suu Kyi yang memble
tersebut.
Perlindungan
Namun,
kini yang lebih diutamakan adalah menyelamatkan para pengungsi Rohingya
dengan dua jalan sekaligus. Jalan pertama adalah memberikan perlindungan
kepada mereka dengan menampung mereka dalam satu tempat yang disediakan
khusus. Indonesia pernah melakukan hal ini dalam kasus Tionghoa di Singkawang
dan Tangerang.
Mereka
kemudian diakui sebagai warga negara Indonesia setelah pemberlakuan Undang-
Undang Kewarganegaraan Tahun 2006. Pengalaman ini tentu menjadi modal sosial
bagi Indonesia untuk bisa lebih terbuka secara kemanusiaan untuk memberikan
bantuan kepada warga Rohingya. Jalan kedua adalah diplomasi internasional.
Rohingya bukanlah problem Indonesia yang menjadi tempat penampungan. Rohingya
adalah problem regional dan internasional.
Pemerintah
Myanmar harus diajak berdiskusi secara persuasif untuk mengubah haluan
kebijakannya tentang Rohingya. Sanksi internasional bisa saja diambil jika
Myanmar tetap kukuh pada kebijakan politiknya terkait Rohingya. Peran ASEAN
secara kolektif penting untuk membangun komunikasi dalam menyelesaikan
tragedi Rohingya ini.
Langkah
Presiden Joko Widodo mengajak Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya Komisi
Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) untuk membahas solusi terkait Rohingya
adalah langkah strategis untuk membuka wajah dunia akan tragedi kemanusiaan
ini. Kasus Rohingya memberi kesempatan sekaligus menguji peran Indonesia yang
secara aktif diamanati oleh konstitusi untuk berperan aktif dalam menciptakan
perdamaian dan kedamaian dunia yang lebih baik. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar