Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
|
MEDIA INDONESIA, 05 Juni 2015
PEMBERANTASAN korupsi di rezim pemerintahan
Joko Widodo seperti mengalami gejala impunitas. Bisa dibayangkan ketika
penegak hukum selevel Kepala Bareskrim Polri secara terbuka menyatakan untuk
menolak menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN)
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terlepas pernyataan tersebut disampaikan
secara sengaja atau tidak, tetapi itu bisa saja menimbulkan kekeliruan dalam
memahami urgensi penyampaian LHKPN dalam dimensi pemberantasan korupsi.
Praktik baik
Di dunia internasional, pelaporan harta
kekayaan bagi pejabat publik merupakan bagian dari instrument pencegahan
korupsi. Praktik tersebut sangat berguna untuk menelusuri sejauh mana
kewajaran dari perolehan harta kekayaan tersebut.
Dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC)
Pasal 8 ayat (5) menyebutkan, “Each
state party shall endeavour, where appropriate and in accordance with the
fundamental principles of its domestic law, to establish measures and systems
requiring public officials to make declarations to appropriate authorities
regarding, inter alia, their outside activities, employment, investments,
assets and substantial gifts or benefits from which a confl ict of interest
may result with respect to their functions as public officials.” Intinya
ialah bahwa setiap negara peserta wajib mengupayakan sebuah sistem yang
mengharuskan pejabat publik melaporkan aset, investasi, termasuk pemberian
tertentu (gratifikasi) yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Sebagai negara peserta konvensi tersebut, Indonesia wajib memberlakukan
kewajiban itu bagi seluruh pejabat publik.
Praktik baik ini tidak hanya menghindarkan
pejabat publik dari kemungkinan dipengaruhi untuk berbuat sesuatu yang berada
di luar kewenangan atau bertentangan dengan kewajibannya, tetapi juga bisa
digunakan untuk mendeteksi pencucian hasil kejahatan (money laundering) oleh pejabat publik.
Pelaporan LHKPN akan sangat mungkin digunakan
untuk mendeteksi peningkatan harta kekayaan pejabat publik secara tidak wajar
(illicit enrichment) sehingga
kemungkinan ditemukannya unsur pe nyamaran hasil kejahatan melalui LHKPN akan
sangat mungkin dilakukan.
Jika belajar dari kasus korupsi yang pernah
ada, sebagai contoh kasus bekas Kepala Korlantas Polri (DS), yakni dimensi
tindak pidana pencucian hasil kejahatan digunakan bersamaan dengan tindak
pidana korupsi. Jika ada pejabat publik yang menolak atau tidak melaporkan
LHKPN, bukan tidak mungkin ada sesuatu yang disembunyikan.
Kelemahan LHKPN
Ketidakpatuhan penyelenggara negara untuk
melaporkan LHKPN disebabkan oleh lemahnya regulasi yang mengaturnya. Ada
beberapa kelemahan yang teridentifikasi. Pertama, daya paksa pelaporan LHKPN.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme memang mewajibkan kepada setiap
penyelenggara negara untuk (i) bersedia diperiksa kekayaannya sebelum,
selama, dan setelah menjabat, (ii) melaporkan dan mengumumkan kekayaannya
sebelum dan setelah menjabat. Namun, kewajiban ini tidak diimbangi dengan
mekanisme pemberian sanksi yang tegas jika tidak dipatuhi.
Untuk itu perlu ada perubahan regulasi untuk
mengakomodasi adanya sanksi yang jelas dan tegas bagi penyelenggara negara
yang tidak mematuhi pelaporan LHKPN. Baik dari segi pidana, termasuk sanksi
secara administratif. Di beberapa lembaga, penge na an sanksi etik telah
dilakukan bagi yang tidak melaporkan LHKPN. Namun, itu masih sangat
tergantung kemauan dari setiap lembaga publik. Ke depan seharusnya ada
penyeragaman bahwa ketidakpatuhan ini dianggap sebagai sebuah pelanggaran.
Kedua, pelaporan LHKPN mengandung dua dimensi,
yaitu pemeriksaan dan pengumuman (publikasi). Dalam praktiknya, dimensi
pemeriksaan yang dilakukan KPK mengalami hambatan, terutama yang terkait
dengan tingkat kedalaman pemeriksaan. Tidak semua LHKPN dilakukan pemeriksaan
secara mendalam atau audit LHKPN, sebagian besar ma sih terbatas pada
pemeriksaan/verifikasi.
Jika pemeriksaan LHKPN bisa di audit secara
keseluruhan, bukan tidak mungkin hasilnya bisa menjadi bukti awal untuk
penelusuran lebih jauh jika ditemukan kepemilikan harta kekayaan yang tidak
wajar. Ujungnya bisa saja mengarah pada tindak pidana pencucian uang ataupun
tindak pidana lainnya.
Selama ini penegak hukum terlihat tidak
percaya diri untuk melakukan penelusuran aset ilegal yang dimiliki pejabat
publik. Biasanya kepemilikan aset ilegal ini hanya diungkap jika ada tindak
pidana lain yang disangkakan terhadap pejabat publik. Padahal, dari segi
hukum, penegakan hukum pencucian uang bisa berdiri sendiri tanpa harus
dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.
Maka untuk memaksimalkan fungsi LHKPN, ke
depan perlu ada penguatan sumber daya dan mekanisme khusus untuk melakukan penelusuran
atau audit secara menyeluruh terhadap pelaporan LHKPN pejabat publik.
Dalam konteks publikasi, KPK belum melakukan
publikasi terkait penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN sesuai
ketentuan. Sebagai bagian dari upaya untuk ‘memaksa’ penyelenggara negara
melaporkan LHKPN, publikasi ini akan menjadi bagian dari sanksi sosial di
tengah ketiadaan sanksi hukum yang jelas dan tegas.
Terakhir, kita semua berharap instrumen LHKPN
ini akan banyak bermanfaat untuk mendorong, baik dari segi pencegahan korupsi
maupun dalam rangka memperkuat penindakan terhadap pelaku tindak pidana,
terutama korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar