Rasa
Kemanusiaan Kita
Helmy Faishal Zaini ; Ketua Fraksi PKB DPR RI
|
KORAN SINDO, 05 Juni 2015
Beberapa pekan ini
wajah suram langit Asia Tenggara tidak bisa kita tutup-tutupi. Tragedi
kemanusiaan yang terjadi di Myanmar saat ini adalah penyebab utamanya.
Konflik internal yang berwujud diskriminasirasial tersebut sungguh sangat
memprihatinkan.
Persoalannya kemudian
bagaimana kita harus menempatkan diri dalam persoalan ini? Bagaimana sikap
kita dalam tragedi tsunami manusia ini? Apa pemerintah sudah memiliki
regulasi yang bisa dijadikan pijakan untuk mengambil langkah strategis dan
manusiawi dalam persoalan ini? Tiga pertanyaan di atas merupakan persoalan
utama yang segera membutuhkan jawaban untuk kemudian disikapi.
Namun, yang tidak
kalah penting sesungguhnya harus kita dudukkan dulu peta persoalan tragedi
kemanusiaan ini. Sesungguhnya, terkait tragedi Rohingya ini saya sependapat
dengan Syed Sirajul Islam (2007) yang membagi jenis terorisme menjadi dua
varian besar. Pertama, terorisme yang dilakukan sekelompok orang dengan skala
yang terbatas; dan Kedua, terorisme yang dilakukan oleh negara dengan skala
yang lebih besar.
Pada tataran ini apa
yang terjadi di Rohingya, meminjam klasifikasi yang ditawarkan Syed Sirajul
Islam, masuk dalam kategori kedua. Kategori kedua ini sesungguhnya lebih
sangat mengerikan sebab aktor utamanya adalah pemerintah atau penyelenggara
negara. Kesimpulan ontologis yang menempatkan pemerintah Myanmar sebagai
aktor terorisme kemanusiaan bukanlah hal yang berlebihan. Sebagaimana
kitatahu, sampai hari ini sikap pemerintah Myanmar seakan menutup mata dan
telinga dengan apa yang terjadi di negaranya.
Tembok Prinsip Nonintervensi
Tsunami manusia hari
ini sudah ada di hadapan mata, Indonesia adalah salah satu negara yang
menjadi tujuan para pengungsi yang telah berpuluh-puluh hari terombang-ambing
di tengah lautan. Selain Indonesia, sesungguhnya para pengungsi itu ada yang
menyasar ke Malaysia dan Thailand. Sesungguhnya tsunami manusia ini merupakan
problem yang sangat berat. Hal ini bisa dipahami mengingat dampaknya langsung
dirasakan oleh negaranegara yang terkait.
Terlebih sebagai
sesama anggota ASEAN, kita diikat untuk saling menghormati sesama anggota.
Prinsip menghormati sesama anggota tersebut kita kenal sebagai prinsip
nonintervensi. Dalam prinsip tersebut disebutkan bahwa negara-negara anggota
ASEAN dilarang ikut campur urusan domestik negara lainnya.
Akar historis ide
prinsip nonintervensi ini sesungguhnya didasarkan oleh dua pertimbangan
utama, yakni pertama menjadi mekanisme penting dalam menjaga kekuatan dominan
dalam konteks perang dingin antara Amerika serikat dan Uni Soviet. Kedua,
sebagai jaminan keamanan, kedaulatan dan juga kebebasan dalam berhubungan
dengan negara tetangga.
Prinsip
non-intervensi ini sesungguhnya telah banyak menuai kritik. Nurul Wahidah
(2013) dalam catatan penelitiannya menemukan bahwa prinsip nonintervensi ini
pada praktiknya diterapkan terlampau kaku sehingga prinsip tersebut menjelma
menjadi tembok penghambat proses penyelesaian konflik.
Adanya
penerapan prinsip nonintervensi yang kaku ditambah dengan kondisi domestik
negara anggota yang masih memiliki catatan yang buruk dalam penegakan HAM,
menyebabkan upaya ASEAN dalam penyelesaian masalah Rohingya ini menjadi
tersendat-sendat. Pada saat banyak negara lain yang menggunakan kacamata
legal-formal mengecam imigran Rohingya, sebab dikategorikan sebagai pendatang
gelap, kita masih menyaksikan betapa antusiasmerakyatIndonesiadalam menolong
pengungsi Rohingya.
Menurut
hemat saya, sesungguhnya apa yang sedang terjadi hari ini yang menimpa etnis
Rohingya adalah tragedi kemanusiaan. Oleh karena tragedi kemanusiaan, dia
juga harus disikapi dalam sudut pandang kemanusiaan. Artinya meskipun hari
ini kita belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai
penanganan pencari suaka, bukan berarti kita ”tercegah” untuk memberikan
bantuan dan pertolongan.
Kita
tahu, sebagaimana dikatakan Agung Notowiguno (2015) presiden South East Asia Humanitarian Commite (SEAHUM)
penanganan para pengungsi Rohingya masih bergantung pada UU. No 06 Tahun 2011
tentang Keimigrasian. Pada undang-undang ini, sesungguhnya rombongan
pengungsi Rohingya sama belaka posisinya dengan imigran gelap. Sungguh
keadaan yang patut disayangkan memang.
Namun
demikian, sebagaimana yang kita saksikan tidak membuatnya dijadikan alasan.
Pemerintah daerah menangani pengungsi Rohingya dengan pelayanan yang cukup
baik. Pengungsi tersebut diperlakukan laiknya manusia pada umumnya. Ini
anomali, atau bahkan patologi, sebab saat undang-undang memperlakukan
Rohingya masuk dalam kategori imigran gelap, pemerintah daerah dan juga
rakyat sipil memperlakukan mereka laiknya saudara.
Langkah ke Depan
Dengan
kenyataan yang sebagaimana kita hadapi hari ini, menurut hemat saya ada dua
langka strategis yang harus ditempuh pemerintah dalam menyikapi tragedi
pengungsi Rohingya ini. Pertama, langkah internal, yakni cara langkah men-support semaksimal mungkin bantuan
terhadap para pengungsi.
Bentuk
support yang dimaksud tidak hanya
sebatas finansial namun juga moril bahkan bila perlu mengambil langkah cepat
untuk membentuk semacam tim untuk menangani kasus pengungsi ini. Kedua,
langkah eksternal. Langkah ini ditempuh dengan cara mendorong kerja sama
dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) atau bahkan dengan Badan
Imigrasi PBB (UNCHR) untuk duduk bersama dan merumuskan langkah terbaik yang
bisa diambil bersama secara sinergis untuk menyelesaikan masalah ini.
Langkah
ini sangat penting diambil mengingat kompleksitas persoalan yang dihadapi.
Diharapkan dengan terlaksananya dua langkah tersebut, kasus pengungsi dari
Rohingya ini bisa tertanggulangi dengan baik. Lebih dari itu, kedua langkah
tersebut juga penting dalam rangka mengembangkan Masyarakat ASEAN 2015 yang
salah satu pilarnya adalah mewujudkan masyarakat yang damai dan juga
menghargai perbedaan sesama. Wallahualam
bisshowab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar