Dana Aspirasi
Joko Riyanto ; Alumnus
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
KORAN TEMPO, 17 Juni 2015
Di tengah kondisi
perekonomian nasional yang sedang terguncang dan beban hidup rakyat yang
semakin berat, anggota DPR justru meminta kenaikan Dana Program Pengembangan
Daerah Pemilihan (P2DP) atau disebut sebagai dana aspirasi yang besarnya Rp
20 miliar per tahun untuk setiap anggota DPR. Alasannya, untuk menyerap
aspirasi rakyat di daerah pemilihan (dapil), pemerataan pembangunan, dan ada
dasar hukumnya.
Usul dana aspirasi
menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan internal DPR
sendiri. Anggota Fraksi PDIP, Budiman Sudjatmiko, menganggap dana aspirasi
melecehkan nurani dan akal sehat anggota DPR dan rakyat. KPK, sejumlah LSM,
dan aktivis antikorupsi menentang keras pengucuran dana aspirasi, karena
membuka peluang praktek korupsi. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai
bahwa usul dana aspirasi bisa menimbulkan masalah. Penggunaan dana ini
dikhawatirkan akan tumpang-tindih dengan penggunaan anggaran untuk program
yang sudah disepakati pemerintah dengan DPR dalam APBN.
Ketua DPR Setya
Novanto dan politikus Senayan berdalih dana aspirasi sesuai dengan amanat
Pasal 80 huruf j UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU
MD3) yang menyatakan bahwa hak dan kewajiban anggota DPR adalah mengusulkan
dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Jika ditelisik
secara cermat, dalam penjelasan UU MD3 sama sekali tidak diuraikan bagaimana implementasi
ketentuan itu, dan tidak disinggung mengenai adanya dana aspirasi serta hak
DPR untuk mengeksekusi anggaran. Dengan demikian, dalih DPR tersebut sesat
tafsir terhadap fungsi anggaran yang diatur dalam Pasal 20A Ayat (1) UUD
1945.
Usul dana aspirasi
tidak memiliki kekuatan hukum dan berpotensi melanggar UU Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU
Nomor 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jika anggota DPR berkeras kepala
dengan dana aspirasi, ini bisa dinilai sebagai modus suap untuk menjaga citra
serta kepentingan dalam mempertahankan kekuasaan. Anggota DPR dipastikan
fokus kerja pada konstituen pemilihnya, sedangkan yang bukan pemilihnya dan
kepentingan masyarakat luas diabaikan.
Dana aspirasi DPR
merupakan bentuk pemborosan anggaran. Sebab, dana dalam APBN/APBD sebenarnya
sudah bisa mencukupi kebutuhan semua konstituen di daerah mana pun, sehingga
tidak perlu ada dana aspirasi lagi. Politikus Senayan menggunakan politik
ikan lele. Makin keruh, makin baik. Semakin miskin penduduk dan negeri ini,
para elite Senayan semakin berpesta pora. Bukannya semakin prihatin, elite
Senayan malah mengabaikan mata dan nurani dari penderitaan rakyat yang setiap
hari berjuang mempertahankan hidup yang semakin sulit saja.
Karena itu, usul dana
aspirasi harus ditolak dan dibatalkan! Jika tidak, kebijakan anggaran ini
akan menjadi pintu masuk bagi kerunyaman sistem politik dan anggaran di
republik tercinta ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar