Cara
Jokowi Melihat ASEAN
Tantowi Yahya ; Wakil Ketua Komisi I DPR RI
|
KORAN SINDO, 04 Juni 2015
Satu semester umur
pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini, ada kekhawatiran politik
luar negeri (polugri) Indonesia tidak lagi melihat ASEAN sebagai prioritas.
Padahal, sebagian besar komunitas negara-negara Asia Tenggara justru
mengharapkan peran ASEAN makin kuat di masa depan. Indonesia sebagai negara
terbesar di kawasan ini dan kerap dianggap sebagai Big Brother diharapkan
bisa terus menjadi bagian aktif dari ASEAN sehingga daya tawar lembaga ini
makin diakui di kawasan regional dan internasional.
Dengan kata lain,
tanpa Indonesia, ASEAN bukanlah ASEAN lagi.
Begitu kira-kira
kegelisahan yang penulis tangkap dari komunitas diplomatik Asia Tenggara.
Memang sejauh ini belum terlihat jelas arah polugri Presiden Jokowi,
khususnya terkait ASEAN. Mungkin karena pemerintahan baru berjalan satu
semester sehingga belum ada hasil yang kelihatan. Meski begitu, bila hanya
beralibi pada waktu yang masih pendek, penulis kira itu terlalu
menyederhanakan masalah.
Pandangan Jokowi
tentang pentingnya ASEAN masih samar-samar. Benar dalam sejumlah kesempatan
ia memberikan pernyataan normatif bahwa penguatan hubungan dengan semua
negara harus dilakukan. Tapi, negara tetangga kita menunggu tidak hanya
pernyataan semata, tapi juga langkah nyata yang bisa dirasakan komunitas
ASEAN.
Membaca Visi Polugri Jokowi
Dari sekian banyak
pernyataan Jokowi tentang polugri, satu benang merah yang menarik bahwa ia
hanya mementingkan kerja sama dengan negara lain yang sifatnya menguntungkan.
”Politik kita bebas aktif, berteman
dengan semua negara, namun yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
rakyat. Jangan banyak teman, tetapi kita dirugikan.” Jokowi juga tidak
secara lugas menjawab apakah akan melanjutkan strategi diplomasi million friends zero enemy yang
dijalankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004- 2014).
Menurut Jokowi, yang
dilihat dalam mencari kawan adalah kepentingan Indonesia. ”Banyak teman ya harus banyak untung.
Kalau rugi, buat apa. Kalau enggak menguntungkan, ya enggak mau. Ketemu ya
ketemu, tetapi dikit-dikit saja”. Itulah logika diplomasi yang diyakini
Jokowi dalam melihat ASEAN dan politik luar negeri kita secara umum. Semuanya
didasarkan pada jika kita untung semata. Padahal, benarkah diplomasi hanya
berdasar itu?
Indikasi diplomasi
Presiden Jokowi yang menjauh dari ASEAN makin diperkuat dengan pernyataan
Puan Maharani, menteri koordinator pembangunan manusia dan kebudayaan
sekaligus tokoh berpengaruh PDIP, bahwa kedekatan Indonesia-China di era
Jokowi saat ini mengingatkan kembali kuatnya hubungan masa lalu. Sebagaimana
kita tahu, pada era Presiden Soekarno hubungan Indonesia-China sangat erat,
ditandai dengan pembentukan Poros Jakarta-Peking.
Tinjauan
teoritis politik luar negeri suatu negara, KJ Holsti mendefinisikan politik
(kebijakan) luar negeri sebagai suatu tindakan yang dirancang oleh pemerintah
untuk memecahkan masalah atau mempromosikan suatu perubahan dalam lingkungan
yaitu dalam kebijakan sikap atau tindakan dari negara lain.
Dari
definisi di atas terlihat bahwa polugri merupakan langkah strategis bagi
suatu bangsa untuk bisa berperan dan memengaruhi lingkungan (negara lain).
Tidak ada unsur keuntungan ekonomi semata yang dikejar dari polugri. Bila
hanya itu cara pandang kita, negara derajatnya akan sama dengan perusahaan.
Terkait
isu ASEAN, di mana Indonesia dianggap tidak lagi memprioritaskannya, preseden
ini jelas sangat mengejutkan. Sejak zaman Pak Harto hingga SBY, ASEAN secara
konsisten menjadi prioritas Indonesia dalam diplomasi. Hal ini tidak hanya
karena Asia Tenggara saat ini menjadi salah satu titik pertumbuhan ekonomi
dunia. Lebih dari itu, sejarah ASEAN juga banyak diwarnai oleh peran
Indonesia.
Tetapi,
bila benar kekhawatiran para diplomat akan kurangnya perhatian Jokowi, dalam
kajian teori foreign policy
perubahan tersebut bisa saja terjadi karena meminjam istilah Baris Kesgin foreign policy suatu negara tidak
hanya dipengaruhi oleh lingkungan dan tantangan. Lebih dari itu, faktor
individual atau profil pengambil kebijakan jauh lebih menentukan. Dalam hal
ini latar belakang ideologi dan penguasaan polugri oleh para pemimpin akan
menjadi pembeda kebijakan luar negeri yang diambil.
Sedikit
kilas balik ke belakang, era Presiden SBY merupakan salah satu capaian
penting diplomasi Indonesia di ASEAN. Hal itu dapat dilihat dari ”kampanye”
demokrasi Indonesia terhadap junta militer Myanmar yang akhirnya menghasilkan
demokrasi di negara tersebut. Lalu, resolusi konflik Thailand-Kamboja dan
pertumbuhan ekonomi tinggi di sebagian besar negara ASEAN.
Atas
peran Indonesia, presiden Filipina menyebut Indonesia sebagai ”sahabat
sejati” rakyat Filipina. Sementara Presiden Myanmar U Thien Sein mengakui
peran Indonesia dalam demokratisasi dan stabilitas kawasan.
Di
luar kerja sama formal antar 10 negara ASEAN di berbagai bidang, kedekatan
hubungan kawasan ini dapat dilihat dari ada ”ritual” friendship visit bagi para kepala negara atau
pemerintahan yang baru terpilih. Biasanya sebelum mereka berkomunikasi dengan
negara di kawasan lain, kunjungan pertama kali biasanya dilakukan ke negara
terdekat di kawasan ASEAN.
Itu
juga yang dilakukan Presiden SBY dalam dua kali masa pemerintahannya.
Alasan
dari ritual diplomasi di atas sederhana bahwa bila salah satu dari negara
Asia Tenggara mengalami masalah, tetangganyalah yang pertama kali
membantunya. Namun, ritual diplomasi itu tampaknya diputus Presiden Jokowi,
Setelah dilantik bukannya melakukan state
visit ke negara tetangga di ASEAN, Presiden memilih mengunjungi China.
Berpaling ke Naga?
Tercatat
pada November 2014 Jokowi menghadiri APEC
Economic Leaders Meeting di Beijing, ASEAN Summit di Myanmar, dan G-20
Leaders Summit di Brisbane, Australia. Ketiganya merupakan kunjungan kerja,
sementara friendship visit ke
Malaysia, Thailand, Filipina, atau Singapura tidak dilakukan.
Mungkin
Presiden Jokowi ingin mengesankan bahwa pemerintahannya ”langsung kerja”,
sebagaimana status ”kunjungan kerja” dan nama ”Kabinet Kerja” yang
dipimpinnya. Tetapi, dalam ”tata krama” diplomasi, ada ihwal tersirat yang
juga harus dihargai, termasuk ritual
friendship visit yang sudah berjalan lama.
Setelah
terkesan ”meninggalkan” ASEAN, pada saat yang sama Jokowi justru sangat dekat
dengan China. Kontan saja perubahan arah diplomasi ini memancing spekulasi
agenda politik Presiden Jokowi terhadap China. Pada Peringatan 60 Tahun
Konferensi Asia-Afrika (KAA) lalu, sejumlah media mainstream menulis bahwa RRC menyapu bersih proyek infrastruktur
di Indonesia. Itu setidaknya bisa menggambarkan ke mana arah diplomasi Jokowi
setelah tak lagi melihat ASEAN sebagai ”sahabat dekat”. Ironisnya, Badan
Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) kecewa dengan kampanye ”arus deras”
investasi China di enam bulan pertama pemerintahan Jokowi-JK karena dari 10
MoU investasi, ternyata hanya satu yang terealisasi.
Menyoal
pemahaman Presiden Jokowi terhadap nilai historis dan geopolitik ASEAN, kita
bisa tarik mundur ke belakang, saat ia tengah maju dalam pemilihan presiden.
Jokowi saat itu mengatakan bahwa sebaiknya Indonesia tidak terlibat dalam
ketegangan antarnegara ASEAN terkait konflik Laut China Selatan. ”Itu urusan negara lain dan negara lain.
Tapi, kalau kita berperan, juga lebih baik. Tapi, kalau kita tidak punya
solusi yang benar, proses diplomasi yang kita lakukan tidak bermanfaat, untuk
apa kita lakukan?”
Dari
pernyataan tersebut, terlihat bagaimana cara pandang Presiden Jokowi terhadap
ASEAN. Padahal, isu Laut China Selatan jelas terkait kepentingan Indonesia
karena di sana merupakan kawasan kaya sumber alam yang rentan memancing
instabilitas masa depan.
Walau
demikian, saya meyakini Presiden Jokowi sejatinya memiliki keinginan untuk
semakin menguatkan kerja sama antarnegara ASEAN. Mungkin jalan menuju ke sana
saja yang tidak mudah atau belum tersosialisasikan ke publik, khususnya
komunitas diplomatik di kawasan ini. Sebagai ”saudara tua” di ASEAN,
Indonesia sangat ditunggu perannya di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar