Gengsi
Gelar Ijazah Palsu
Laode Ida ; Sosiolog; Pengajar di Jurusan Sosiologi
UNJ;
Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
|
KORAN SINDO, 04 Juni 2015
Setidaknya dua
kementerian di negeri ini baru saja terguncang dengan temuan ijazah palsu.
Menteri Ristek dan Dikti M Nasir memperoleh laporan dari masyarakat tentang
dugaan ada 18 kampus di Jabodetabek dan NTT yang terlibat pembuatan ijazah
palsu. Natsir kemudian berkoordinasi dengan Menpan Yuddy Chrisnandi untuk
menindaklanjuti temuannya itu.
Kasus ijazah palsu itu
pun kemudian dilaporkan ke kepolisian. Sementara Yuddy Chrisnandi menerbitkan
surat edaran (SE) yang ditujukan ke seluruh pimpinan lembaga/instansi
pemerintah agar meningkatkan derajat ketelitian agar penggunaan ijazah palsu
dapat tercegah. Itu juga sekaligus merupakan bagian dari keseriusan
pemerintah supaya tidak mainmain dengan ijazah palsu.
Reaksi cepat
pemerintah itu memang patut diapresiasi. Namun, apakah isu ijazah palsu itu
sesuatu yang mengejutkan? Sebenarnya, setidaknya bagi saya dan banyak pihak
yang memeliki perhatian serius terhadap penyelenggaraan pendidikan di negeri
ini, kasus ijazah palsu temuan menristek dan dikti itu ”sama sekali tidak
mengejutkan”. Bahkan sangat janggal jika indikasi seperti itu baru sekarang
diketahui atau mau diributkan oleh pejabat di bidang pendidikan dan
Kemeneterian PAN dan Reformasi Birokrasi.
Aneh juga kalau yang
terdeteksi hanya di dua daerah (Jabodetabek dan NTT) itu. Faktanya, itu sudah
merebak di seluruh Tanah Air. Fenomenanya, meski tidak sama persis dengan
proses-proses lahirnya ijazah palsu, sebenarnya sudah terjadi juga di banyak
perguruan tinggi negeri (PTN). Indikasi nyata yang bisa dicermati adalah
dengan keberadaan berbagai kemudahan dalam memperoleh ijazah melalui berbagai
proses belajar mengajar yang instan.
Tengok saja misalnya
pembukaan program pascasarjana (S-2 dan S-3) oleh PTN. Memang semua itu
resmi. Namun, proses-prosesnya lebih bersifat formalitas saja atau sama
sekali tak ada tuntutan untuk terpenuhinya standar kualitas tertentu. Atau,
memang barangkali sudah dirancang untuk tidak terstandar (unstandardized education). Karya
skripsi, tesis, dan atau disertasi pun, bukan rahasia lagi, dibuatkan oleh
pihak ketiga. Peserta didiknya hanya tahu konsultasi dengan pihak dosen
pembimbing dan setelah itu tanda tangan.
Pihak perguruan tinggi
dan para tenaga pengajar pun, kalau mau jujur, sudah tahu proses-proses
formalitas kuliah seperti itu, dianggap suatu yang wajar-wajar saja. Apalagi,
para pesertanya adalah pihak yang berduit, para pejabat dari berbagai
instansi yang sedang berburu gelar demi gengsi.
Singkatnya,
penyelenggara pendidikan baik oleh swasta (masyarakat) maupun pihak pemerintah
telah memanfaatkan atau terlibat dalam bisnis Gengsi Gelar Ijazah Palsu
ijazah” untuk melegalkan gelar atau capaian jenjang pendidikan secara formal
kepada merekamereka yang mengejarnya.
Praktik
bisnis pendidikan seperti itu pada dasarnya merupakan buah atau respons dari
banyaknya warga bangsa yang haus gelar untuk sebuah status sosial dan atau
posisi formal. Pengukuhan pemberian gelar itu diupacarakan dengan istilah
”wisuda” (graduation ceremony) yang
dihadiri oleh keluarga dengan perasaan bangga. Pihak penyelenggara pendidikan
pun memperoleh pemasukan uang dari acara penganugerahan gelar sarjana itu.
Setelah itu gelar itu pun dengan mapan dilekatkan menyertai nama penerimanya.
Jangan coba-coba kalau menulis nama yang bersangkutan tanpa menyertakan gelar
yang disandangnya karena itu bisa membuatnya marah besar atau tersinggung.
Baik
penyelenggara pemberian gelar maupun pesertanya jelas sangat tidak peduli
tentang proses instan dan atau penguasaan materi sebagai substansi dari
ijazah yang diperoleh. Maklum, masyarakat atau orang-orang yang ditemui
pemegang ijazah seperti itu tak akan pernah berani (dan memang tak punya
otoritas) untuk menguji kemampuan atau penguasaan materinya.
Pemerintah
pun, jangankan menerapkan standar baku tentang penguasaan materi untuk bisa
layak memperoleh gelar di bidang tertentu, proses-proses penyelenggaraannya
saja dibiarkan begitu bebas. Pejabat yang berwenang pun tak mempersoalkannya
karena sudah saling memahami melalui hubungan-hubungan khusus baik melalui
administrasi resmi maupun informal.
Penyelenggara
pendidikan pemberian gelar bahkan bisa berbagi hasil bisnis dengan oknum yang
berwenang sehingga selamanya akan aman-aman saja.
Kenyataan
kondisional seperti itulah yang menjadikan suburnya praktik pemberian gelar
di negeri ini. Tak heran kalau tiba-tiba saja sejumlah orang bergelar
sarjana, magister, ataupun doktor. Padahal, untuk memperoleh gelar
kesarjanaan (apalagi setingkat doktor, PhD) sebenarnya diperlukan standar
karya ilmiah tertentu, yang setidaknya diharapkan bisa bermanfaat untuk
pengembangan ilmu dan atau bermanfaat bagi masyarakat di bidang tertentu.
Sejenis
dengan itu adalah guru besar. Begitu banyak pula hari-hari ini yang bergelar
profesor. Sementara karya ilmiahnya masih dipertanyakan. Apalagi kalau
ditanyakan ”sudah berapa karya ilmiah yang diterbit di jurnal internasional
yang terkait dengan bidang keahlian Sang Penyandang gelar guru besar itu”?
Sungguh sulit menemukan nama mereka terpampang dalam jurnal komunitas
akademis internasional. Makanya, tidak heran banyak ditemukan guru besar yang
hanya ”jago kandang”.
Secara
pribadi saya banyak menemukan fakta orang-orang seperti itu dan lembaga
pendidikan penyelenggaranya yang berstatus semacam ”francais”.
Sekali
lagi, itu bukan barang baru atau bukan rahasia lagi. Tapi, tetap saja
dibiarkan, bahkan sebagian difasilitasi oleh pemerintah daerah sebagai sarana
agar para pejabat, pegawai, dan atau sebagian masyarakatnya peroleh gelar
yang diharapkan. Bagi para pegawai, selain memiliki status sosial-lokal yang
bergengsi, juga untuk memudahkan untuk penjenjangan kariernya.
Para
pembaca yang budiman tak perlu kaget juga kalau banyak pejabat yang berburu
gelar melalui cara-cara instan dan merusak nilai-nilai pendidikan seperti
itu. Bagi mereka ini, tidak tanggung-tanggung, yang dikejar adalah gelar
akademis yang tertinggi yakni doktor.
Pihak
perguruan tinggi pun memberi kemudahan dan menganggap itu sebagai bisnis
empuk yang berkeuntungan ganda. Pertama, berupa biaya langsung
penyelenggaraan pendidikan yang biasanya jauh lebih mahal ketimbang program
reguler. Program-program seperti itu niscaya tak bisa dijangkau oleh rakyat
biasa, apalagi dari keluarga tergolong miskin. Kedua, para dosennya
berpeluang untuk memperoleh proyekproyek tertentu yang bisa digarap oleh
kelompok akademisi yang pada tingkat tertentu bisa dikatakan sudah melacurkan
nilai-nilai akademis, atau setidaknya sudah jadi ”akademisi tukang”.
Ya
..., tak lain karena orientasi untuk dapat uang, mereka pun akan kerja
”proyek akademis” itu sesuai pesanan.
Maka
itu, tak heran jika banyak PTN membuka program doktor dengan kategori ”kelas
eksekutif” yang tak lain pesertanya adalah para pejabat atau pengusaha
berduit. Semua ini jadi fakta telanjang yang sebenarnya ”sudah memuakkan dan
memalukan”, tetapi tetap saja dibiarkan. Sudah pasti akan sulit diberantas
karena yang jadi stakeholders-nya
pun dari kalangan pejabat.
Apa
yang mau dikatakan di sini bahwa para pembuat ijazah palsu, baik itu resmi
dikeluarkan oleh perguruan tinggi swasta maupun barangkali dicetak di pinggir
jalan dengan label suatu lembaga pendidikan tertentu, merupakan bagian dari
upaya memenuhi kehausan sebagian warga bangsa yang haus titel atau formalitas
gelar berbekal ”selembar kertas”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar