Upaya
Mengurangi Konsumsi Beras
Posman Sibuea ; Guru
Besar Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan; Pendiri dan
Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
|
MEDIA INDONESIA, 09 Mei 2015
HARGA beras yang tetap bertahan tinggi di
tengah panen raya kali ini menjadi anomali ketah anan pangan. Perum Bulog
tidak mampu membeli beras petani dengan harga di atas HPP yang sudah
ditentukan. Dari perspektif produksi beras nasional sebenarnya saat ini dalam
kondisi aman. Produksi padi nasional 2014 mencapai 71 juta ton gabah kering
giling. Jika jumlah itu dikonversi ke beras sudah mencapai 45 juta ton.
Kebutuhan beras nasional versi Kementerian
Pertanian dengan asumsi jumlah penduduk 250 juta orang, konsumsi per kapita
per tahun 139 kilogram (kg) per kapita per tahun hanya sekitar mencapai 35
juta ton.Jika data produksi padi 2014 bisa dipercaya, Indonesia sesungguhnya
sudah surplus beras sekitar minimal 10 juta ton. Lantas, pertanyaannya
mengapa harga kebutuhan pokok ini semakin mahal?
Indonesia berpotensi masuk ruang krisis pangan
yang lebih berat jika penyediaan pangan pokok dan pola konsumsinya hanya
mengandalkan beras dan bergantung pada negara lain, pula karena tiap negara
akan mendahulukan kepentingan negaranya. Produksi pangan harus bisa dilakukan
secara mandiri agar Indonesia yang dikenal sebagai bangsa agraris bisa
berdaulat atas pangan. Sistem usaha tani harus disesuaikan dengan potensi
sumber daya lokal.
Tidak berpihak pada
petani
Harga beras dan gabah yang kian mahal ternyata
tak berpihak pada petani. Sebagian petani ternyata sudah menjual gabah
sebelum panen terakhir berlangsung akhir April lalu. Saat ini beras sudah ada
di tangan pedagang--bahkan dikendalikan segelintir pemain bermodal besar
pengusaha gilingan padi--yang siap meraup untung besar.
Lonjakan harga yang sangat signifikan itu
ditengarai karena ulah pedagang besar yang bisa mengendalikan secara lihai
sistem distribusi dan harga. Mereka memanfaatkan secara s baik kegaduhan
politik KPK vs Polri yang y ternyata belum berakhir meski sudah Kapolri baru
ditetapkan. Energi pemerintah habis terkuras untuk persoalan itu sehingga
lalai menata politik kedaulatan pangan.
Harga beras yang tetap tinggi di tengah
kelimpahan panen diduga hanya rekayasa para pemburu rente bermodal gede.
Tujuannya agar pemerintah menutup kelangkaan dengan membuka keran impor
beras. Permainan ala mafioso itu makin sempurna.Kenaikan harga di tingkat
grosir secara otomatis diikuti pedagang eceran. Sambil melakukan penimbunan,
efek domino kenaikan harga menjadi kekuatan mereka untuk bermain lebih
leluasa di ruang ketersediaan dan distribusi beras.
Stabilitas harga beras secara berkesinambungan
harus terus dilakukan pemerintah dengan melakukan perbaikan dan pengawasan
distribusi. Operasi beras secara langsung kepada konsumen merupakan pilihan
terbaik. Selain itu, pemerintah sudah sepatutnya memperbaiki sistem produksi
beras nasional sejak dari hulu. Merujuk pada hasil pemeriksaan BPK pada
2010-2012, target produksi beras nasional tidak efektif dan anggaran boros
karena lemahnya pengawasan. ketidakefektifan penggunaan anggaran juga terjadi
pada program perluasan lahan pertanian.
Pengelolaan politik pangan nasional seakan
berjalan dengan sendirinya tanpa kehadiran kinerja dari pemerintah. Negara
mengalami autopilot karena pemerintah telah gagal membangun ketahanan pangan
yang mandiri dan berdaulat. Pencapaian peningkatan produksi beras nasional
yang kerap `dinyanyikan' pemerintah pusat sebagai kinerjanya di tengah harga
pangan global yang makin mahal, lebih pada gerakan masyarakat petani lokal
yang berjalan dengan sendirinya tanpa dikelola secara baik oleh otoritas
pemerintah.
Sebagian besar masyarakat merasakan
ketidakkehadiran pemerintah ketika harga berbagai kebutuhan pokok terkatrol
oleh permainan mafioso. Pemerintah terus membiarkan pola konsumsi pangan
masyarakat tetap mengkristal pada beras sehingga menjadi ruang inkubasi para
mafia beras untuk mendulang rupiah. Meskipun sudah digulirkan sejak enam
tahun silam Perpres No 22 Tahun 2009 tentang percepatan penganekaragaman
konsumsi pangan, upaya mencari solusi terhadap tingginya konsumsi beras
sangat lamban dan kurang menyentuh akar permasalahan.
Belum serius
Menyangkut upaya pengurangan konsumsi beras
sekitar 1,5% per tahun, tertuang dalam Perpres No 22 Tahun 2009, pemerintah
dalam memformat model pengembangan pangan pokok lokal (MP3L) untuk
menyubstitusi beras nyaris jalan di tempat untuk tidak mengatakan gagal.
Pemerintah belum serius mengembangkan tanaman umbi-umbian yang relatif lebih
tahan terhadap dampak perubahan iklim ketimbang tanaman padi. Dengan semakin
mahalnya harga beras, pemerintah seharusnya tidak perlu panik dengan membuka
keran impor beras yang efek jangka panjangnya sangat merugikan petani lokal.
Yang patut dilakukan ialah mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsi
pangan nonberas berbasis sumber daya lokal.
Untuk memerangi praktik mafia beras, upaya
yang bisa dilakukan ialah mempercepat diversifikasi konsumsi pangan seraya
mengurangi volume penyaluran raskin setiap ta hun.Pengurangan konsumsi beras
(termasuk raskin) secara bertahap harus didukung dengan program MP3L secara
berkelanjutan. Program ini merupakan langkah strategis untuk dilakukan
pemerintah sebagai mesin percepatan diversifikasi pangan.
Paling tidak tiga cara berikut patut
dipertimbangkan dilakukan untuk pengembangan produk pangan pokok lokal yang
mendukung penguatan kedaulatan pangan. Ya itu, 1) Masyarakat didorong untuk
meningkatkan proporsi konsumsi pangan sumber karbohidrat lokal nonberas, 2)
Menumbuhkan kelem bagaan UKM industri pangan nonberas berbasis sumber daya
lokal, 3) Pengembangan teknologi tepat guna untuk pengolahan pangan pokok
lokal yang mudah diakses masyarakat.
Ketiga langkah itu menjadi mesin pendorong
penganekaragaman konsumsi pangan yang patut terus dihidupkan supaya program
yang sudah jalan seperti one day no
rice terkawal secara baik di tengah masyarakat. Kampanye program seperti
ini harus lebih konkret lagi di lapangan dengan mengajak dan menyapa publik
bahwa makan pagi, siang, atau malam tak selalu harus dengan nasi, mi, atau
roti dari terigu. Gerakan ini harus dirancang lebih persuasif sehingga ma
syarakat mau diajak terlibat untuk mengurangi konsumsi beras dan terigu.
Penguasaan teknologi dan inovasi pengolahan
pangan lokal nonberas seperti umbiumbian, sagu, dan pisang sebagai bagian
dari program MP3L harus terus dikumandangkan tidak hanya pada saat merayakan
Hari Pangan Sedunia atau Hari Kemerdekaan. Berbagai produk MP3L harus terus
digulirkan sehingga bisa bersanding dengan produk pangan berbasis beras dan
terigu.
Diversifikasi konsumsi pangan akan berhasil
jika pemerintah mampu mengatrol kasta pangan lokal. Produknya harus diperkaya
dengan protein, lemak, mineral, dan vitamin yang tepat. Dengan promosi yang
gencar lewat iklan dan kampanye di media massa, produk ini akan kian dikenal
masyarakat perkotaan. Selain itu, pemerintah diharapkan membuat regulasi agar
perusahaan penerbangan komersial seperti Garuda Indonesia dan yang lainnya
menyajikan makanan kepada penumpangnya dari produk olahan berbasis ubi-ubian,
jagung, sagu, dan pisang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar