Strategi
Bumi Hangus Menpora-PSSI
Suryopratomo ; Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA INDONESIA, 08 Mei 2015
HANYA di Indonesia, negeri yang masyarakatnya
sangat gandrung akan sepak bola, tetapi tidak banyak memiliki lapangan sepak
bola. Hanya di Indonesia, lebih heboh membicarakan kepengurusan organisasinya
daripada prestasi sepak bolanya.
Kehebohan terakhir ialah perseteruan antara
Menpora dan pengurus PSSI. Boleh dikatakan perseteruan yang terjadi mengarah
ke praktik `bumi hangus'. Menpora yang merasa kesal kepada pengurus PSSI
memutuskan untuk membekukan organisasi olahraga tertua di Indonesia itu.
Pengurus PSSI, yang merasa terus menjadi sasaran Menpora, memutuskan
menghentikan kompetisi Liga Sepak Bola Indonesia (ISL) untuk musim 2015.
Perseteruan yang ditunjukkan tidak hanya
mencederai prinsip sportivitas dalam olahraga, tetapi juga merusak masa depan
sepak bola nasional.Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) sudah
mengultimatum untuk menghukum sepak bola Indonesia.
Apabila sampai 29 Mei mendatang tidak bisa
menyelesaikan perseteruan yang terjadi, Indonesia akan dikucilkan dari
persepakbolaan dunia.
Sejauh ini ada dua pandangan yang
berseberangan. Di satu pihak ada yang berpandangan, tidak apa-apa Indonesia
dihukum dari persepakbolaan internasional karena bisa dijadikan momentum bagi
perbaikan.
Di sisi lain ada yang berpandangan,
persepakbolaan Indonesia akan semakin menjadi parah apabila dikucilkan oleh
FIFA.
Saya berpandangan, strategi bumi hangus hanya
akan merusak sepak bola Indonesia. Kita lihat saja bagaimana sekarang ini
klub-klub ISL dihadapkan kepada ketidakpastian. Padahal sudah mulai masuk
orang seperti eksekutif Northstar Eenergy, Glenn Sugita, untuk mau menangani
Persib Bandung.
Kita membutuhkan eksekutif-eksekutif andal untuk
mau menangani klub sepak bola agar klub-klub dikelola lebih profesional.
Masa depan pemain pun otomatis menjadi tidak
jelas. Dengan berhentinya kompetisi, para pemain kehilangan panggung untuk
bermain. Ketika para pemain tidak bisa bertanding, bukan hanya kemampuan yang
tidak terasah, periuk nasi mereka pun terancam.
Unjuk rasa yang dilakukan the Jakmania, Selasa (5/5), di depan Istana Merdeka menunjukkan
bahwa masyarakat pun terganggu dengan perseteruan yang tidak berujung. Pecinta
sepak bola kehilangan tontonan yang bisa menghilangkan kepenatan. Seperti
pernah dikatakan penyanyi seriosa Luciano Pavarotti, “Musik seperti halnya olahraga, harus bisa dinikmati oleh semua
orang.“
Jalan revolusi
Pengalaman sejarah menunjukkan, jalan revolusi
bukanlah solusi terbaik. Bahkan pengalaman Revolusi Prancis mengajarkan bahwa
revolusi akhirnya memakan anaknya sendiri. Apalagi ketika tidak ada orang
kuat yang memimpin revolusi.
Oleh karena itu, ketika saya diminta untuk
menjadi Ketua Tim Ad Hoc Sinergi, bersama 11 anggota tim lainnya, saya
mencoba melakukan identifikasi masalah. Apa saja faktor-faktor yang
menyebabkan persepakbolaan Indonesia masuk ke sesuatu yang disebut sebagai end-process. Dari sanalah baru dicoba
diidentifikasi apa saja hal-hal yang bisa dipakai untuk u-turn agar
persepakbolaan Indonesia tidak terjerembap ke jurang kehancuran.
Tiga hal yang kemudian menjadi perhatian untuk
di lakukan perbaikan, yaitu organisasi dan transparansi, kompetisi dan
pembinaan, serta tim nasional dan prestasi. Tim Ad Hoc Sinergi mencoba
merumuskan organisasi seperti apa yang perlu dibangun PSSI ke depan agar bisa
menggulirkan kompetisi yang berkualitas dan akhirnya melahirkan tim nasional
yang bisa dibanggakan.
Untuk memiliki kompetisi yang berkualitas
setidaknya ada 12 faktor yang harus diperhatikan, mulai organisasi, standar
teknik, jumlah penonton, governance,
pemasaran, skala bisnis, pelaksanaan pertandingan, dukungan media massa,
kualitas stadion, pengelolan klub, hingga urusan logistik.
Sementara itu untuk membangun tim nasional
yang bisa dibanggakan ada enam faktor yang harus menjadi perhatian, mulai
definisi kemenangan, kompetisi mana yang harus dimenangi, dukungan sponsor
kepada tim nasional, lapangan untuk latihan tim nasional, jumlah penonton,
hingga penerapan sains olahraga.
Dengan gambaran seperti itu, pembinaan sepak
bola nasional tidak hanya berkutat pada masalah kepengurusan. Banyak aspek
yang harus diperhatikan dan itu membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak.
Sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat menjadi kunci
keberhasilan pembinaan sepak bola.
Tidak instan
Hal lain yang harus menjadi kesadaran kita
bersama, tidak ada yang instan dalam pembinaan sepak bola. Kita jangan
terjebak ke dalam utopia bahwa prestasi sepak bola akan langsung gemilang
ketika mengganti kepengurusan PSSI.
Jerman yang kini menjadi juara dunia
membutuhkan jalan panjang untuk meraih prestasi gemilang. Mereka bekerja
keras selama sembilan tahun setelah hancur karena Perang Dunia II untuk
menjadi juara dunia 1954. Setelah itu, Jerman membutuhkan periode 20 tahun
untuk bisa mengangkat Piala Dunia. Baru pada 1974 Jerman menjadi juara dunia
kembali saat menjadi tuan rumah. Kemudian mereka kembali menjadi yang terbaik
pada 1990 (anomali periode 20 tahunan) dan terakhir pada 2014 di Brasil.
Jepang mulai benar-benar serius membangun sepak bolanya pada 1990. Baru
delapan tahun kemudian mereka bisa tampil di ajang Piala Dunia 1998. Sekarang
mereka mencanangkan untuk mengangkat Piala Dunia pada 2050.
Apabila kita ingin meraih prestasi tinggi, Tim
Ad Hoc Sinergi mengusulkan lima tahun ke depan sebagai era `survival'.
Setelah organisasi bisa dibenahi menjadi lebih kredibel dan transparan, lima
tahun kedua kita memasuki era take off.
Setelah itu barulah kita memasuki era winning
dengan puncaknya tim nasional Indonesia bisa lolos semifinal Piala Dunia
2046, saat kita merayakan 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Semua itu hanya bisa tercapai apabila kita mau
bahu-membahu memajukan sepak bola nasional. Tidak mungkin kita akan meraih
prestasi tinggi apabila menerapkan strategi bumi hangus seperti sekarang ini.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar