Pecandu,
Korban Narkotika,
dan
Kebijakan Hukum Pidana
Sulastiana ; Doktor
Bidang Kriminologi; Peneliti Khusus
Bidang Kejahatan Narkotika dan Strategi Penanganan Masalah Narkotika
|
MEDIA INDONESIA, 09 Mei 2015
DALAM perjalanan pesejarah, candu dan korban
penyalahgu naan narkotika sebenarnya telah mendapatkan perhatian yang besar
di seluruh dunia, walaupun melalui strategi yang berbeda di setiap fase
perkembangannya sesuai dengan dinamika sosial yang terjadi terkait dengan
permasalahan narkotika di wilayah dan negara masingmasing. Kebijakan global
penanggulangan kejahatan narkotika pertama kalinya dituangkan dalam The United Nation's Single Convention on
Narcotic Drugs 1961.
Konvensi itu pada dasarnya dimaksudkan untuk
mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan
narkotika yang terpisah-pisah di berbagai bentuk perjanjian
internasional.Selain itu, untuk menyempurnakan caracara pengawasan peredaran
narkotika, membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan, dan menjamin adanya kerja sama internasional
dalam pengawasan peredaran narkotika. Namun, secara substansial juga
menempatkan orientasi medis yaitu pengobatan. Orientasi tersebut kemudian
dinyatakan secara jelas pada amendemen single
convention yang dituangkan dalam Protokol 1972, sebagai hasil konvensi di
Wina pada 1971, yang menekankan perlunya perawatan dan rehabilitasi bagi
pecandu narkotika.
Perawatan dan rehabilitasi dimaksud termasuk juga
pendidikan dan reintegrasi sosial merupakan pengganti hukuman terhadap
pecandu narkotika.
Fase yang tidak kalah penting ialah momentum
Sidang Majelis Umum PBB 1988 yang berkontribusi melahirkan Deklarasi Politik
Penanganan Masalah Narkotika Dunia, yang salah satunya berisi tentang
pentingnya pemerintah untuk memfasilitasi perawatan, pendidikan, after care, dan reintegrasi sosial
sebagai pengganti hukuman dalam rangka mendorong penyalah guna narkotika
kembali normal berada di lingkungan sosialnya.
Deklarasi yang pada Sidang Khusus PBB Tahun
1990 direfleksikan melalui pencanangan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade Against Drug
Abuse dan membentuk The United
Nations Drug Control Programme (UNDCP), yang dalam kongres pertamanya
menyusun tugas terkait pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, akan
dilaksanakan program pembinaan dengan memilah antara pelaku pemakai/pengguna
narkotika (drug users) dan pelaku
bukan pengguna (drug-dealers)
melalui pendekatan medis, psikologis, psikiatris, maupun pendekatan hukum
dalam rangka pencegahan. Substansi tersebut juga yang kemudian mewarnai
Sidang Commission on Narcotics Drugs
(CND) di Wina pada 2009 melalui pengembangan kerja sama yang telah diinisiasi
pada Single Convention 1961.
Kebijakan nasional
Di Indonesia pengawasan terhadap
penyalahgunaan dan peredaran narkotika, diawali dengan Brisbane Ordinance yang mengatur larangan pemakaian candu.
Warisan pemerintah pendudukan Jepang tersebut senada dengan Verdoovende
Middelen Ordonantie Stbl 1927 No 278 jo 536 atau yang dikenal dengan
Ordonansi Obat Bius 1927 pada zaman penjajahan Hindia Belanda. Sayangnya,
kedua ketentuan tersebut tidak dapat memberi solusi yang positif bagi
penanganan narkotika di Indonesia pada saat itu.
Secara faktual akhirnya pemerintah
mengeluarkan UU No 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang di antaranya mengatur
tentang kriminalisasi terhadap pengguna narkotika, rehabilitasi, depenalisasi
dan dekriminalisasi, serta peredaran gelap narkotika. Namun, fakta di
lapangan, pengaturan kriminalisasi yang mengedepankan premium remedium lebih
banyak diaplikasikan jika dibandingkan dengan rehabilitasi, depenalisasi,
maupun dekriminalisasi bagi pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika sekalipun.
Sebagai solusi
Masyarakat semakin melek hukum sehingga
pembangunan di bidang hukum pun tidak dapat diabaikan. Hal itu juga dilakukan
untuk menyelaraskan dengan Deklarasi Politik Penanganan Masalah Narkotika
Dunia yang digaungkan pada 1988, dengan melakukan perubahan UU No 9 Tahun
1976 menjadi UU No 22 tentang Narkotika dan UU No 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika. UU No 22 Tahun 1997 secara lebih terang mengamanatkan
pengobatan dan rehabilitasi pada Bab VII Pasal 44-51.Demikian juga UU No 5
Tahun 1997 pada Bab VIII Pasal 36-41.
Namun, implementasinya masih mengedepankan
hukuman penjara kepada pecandu dan penyalah guna. Selain itu, UU tersebut
hanya mencantumkan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus terhadap
jenis tindak pidana tertentu dan pada setiap objek narkotika tertentu. Akan
tetapi, tidak diatur mengenai ancaman pidana minimum umum dan maksimum umum
sehingga menimbulkan disparitas penjatuhan pidana (disparity of sentencing), dalam hal lamanya masa pidana (strafmaat) dan jenis pidananya (strafsoort) tanpa dasar pembenar yang
jelas terhadap perkaraperkara pidana narkotika di pengadilan.
Dengan penanganan yang konvensional dan
cenderung tidak berpihak kepada hakhak warga negara tersebut, tentu masalah
utama terkait narkotika yaitu supply and demand tidak dapat dibendung lagi.
Masalah ini semakin parah akibat faktor
pendorong lain yang sulit dihindari seperti ketentuan terkait yurisdiksi yang
berbeda, kemudahan akses keluar-masuk antarnegara, teknologi komunikasi yang
makin canggih, dan semakin banyaknya modus, mengakibatkan ancaman atau akibat
yang ditimbulkannya sangat dahsyat (insidious),
bersifat no limit dan dapat
menembus ke berbagai segi.
Itu sebabnya perubahan terhadap UU No 35 Tahun
2009 sebagai jawaban agar pecandu dan penyalah guna narkotika mendapatkan
pelayanan rehabilitiasi. Pasal 54, 55, 103, dan 127 UU ini secara jelas
mengatur tentang pengobatan dan rehabilitasi.
Dalam rangka penerapan pasal dimaksud, tujuh
kementerian dan lembaga terkait telah menyusun peraturan bersama pada Maret
2014 yang digunakan sebagai mekanisme hukum untuk mengatasi kebuntuan dalam
implementasi UU Narkotika, khususnya di lingkungan peradilan pidana, yaitu
Polri, jaksa, dan hakim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar