Pembatalan
Putusan Arbitrase Sering Mengada-Ada
Frans H Winarta ; Arbitrer ICC, SIAC, BANI, dan KLRC;
Dosen Arbitrase Perdagangan Fakultas Hukum UPH
|
KORAN SINDO, 29 April 2015
Saat ini perkembangan
bisnis dan perdagangan antarnegara tidak dapat dibatasi oleh siapa pun. Para
pelaku bisnis bebas untuk menjalankan transaksi bisnis secara nasional dan
internasional.
Transaksi bisnis yang
tidak terbatas tersebut menimbulkan persaingan usaha baik antarpelaku bisnis
domestik maupun antara pelaku bisnis domestik dan pelaku bisnis asing.
Aktivitas transaksi bisnis yang terjadi ini sangat rentan menimbulkan
sengketa bisnis di mana masing-masing pelaku bisnis memiliki kepentingan yang
dilindungi berdasarkan bisnis yang mereka jalankan.
Di sini arbitrase
perdagangan menjadi salah satu mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat
digunakan pelaku bisnis karena sifatnya yang rahasia (non-publication), win-win
solution, serta putusan yang final dan mengikat para pihak. Namun, di
lain sisi, Indonesia telah lama dianggap sebagai unfriendly state against commercial arbitration atau negara yang
tidak ramah terhadap arbitrase perdagangan.
Ini karena terus
terjadi pengabaian yurisdiksi arbitrase atas sengketa-sengketa bisnis yang
mempunyai klausul arbitrase dalam sebuah perjanjian kerja sama antara pihak
yang bersengketa (arbitration clause)
dan alasan yang mengada-ada.
Pengabaian yurisdiksi
arbitrase ini mengakibatkan ketidakpastian hukum di Indonesia yang mana hal
tersebut akhirnya dapat menyulitkan iklim investasi di Indonesia. Apalagi
pada era di mana banyak pelaku bisnis yang memasukkan klausul arbitrase dalam
perjanjian kerja sama dalam menjalankan bisnisnya.
Pembatalan Putusan Arbitrase
Dalam proses arbitrase
banyak ihwal yang dilakukan para pihak dalam suatu perkara arbitrase untuk
menghambat terjadi proses arbitrase yang sedang berjalan.
Pertama, pihak yang
tidak kenal dengan proses arbitrase akan mengajukan keberatan atas yurisdiksi
(jurisdictional challenge) yang
dimiliki oleh majelis arbitrase (tribunal)
dengan membawa perkara ke pengadilan negeri dan mereka akan mengajukan
gugatan baru di pengadilan negeri, untuk mencari pembenaran bahwa pengadilan
negerilah yang mempunyai yurisdiksi atas perkara tersebut, dan bukan majelis
arbitrase (tribunal) yang
sebenarnya telah dipilih oleh para pihak dalam klausul arbitrase (party autonomy).
Setelah gagal pada
tahap yurisdiksi, upaya untuk menghambat berjalan proses arbitrase tidak
berhenti di sini. Dalam proses pemeriksaan, para pihak yang tidak paham akan
proses arbitrase akan mencari kesalahan arbitrer yang sedang menjalankan
tugasnya untuk dijadikan dasar pengajuan hak ingkar (challenge). Ini bertujuan menghambat dan membatalkan proses arbitrase.
Setelah yurisdiksi dan
hak ingkar gagal, pihak lawan akan menunggu putusan dari majelis. Apabila
putusan dari majelis merugikan, mereka akan mengajukan permohonan pembatalan
putusan dengan dasar yang mengada-ada antara lain bahwa majelis arbitrase (tribunal) tidak mempunyai wewenang
memeriksa perkara tersebut dan arbitrer telah bertindak tidak adil sehingga
putusannya merugikan hak mereka.
Padahal, permohonan
pembatalan putusan arbitrase (award)
dibatasi oleh UU Arbitrase dalam tiga hal yang telah diatur secara limitatif
di dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Terkait dengan permohonan pembatalan putusan
arbitrase, Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase (UU
Arbitrase) telah mengatur secara limitatif perihal permohonan pembatalan putusan
arbitrase yang diajukan para pihak dalam sebuah sengketa bisnis.
Di dalam pasal
tersebut dinyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat
mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung
unsur-unsur yaitu:
Surat atau dokumen
yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu
atau dinyatakan palsu; Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang
bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; Putusan diambil
dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.
Tiga unsur yang
terdapat dalam Pasal 70 UU Arbitrase inilah yang seharusnya secara tegas
dijadikan alasan oleh para pihak yang bersengketa untuk mengajukan permohonan
pembatalan putusan arbitrase. Namun, akhir-akhir ini yang terjadi, banyak
permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh pihak yang tidak
paham atau antiarbitrase perdagangan dengan menggunakan alasan di luar Pasal
70 UU Arbitrase.
Misalnya alasan
benturan kepentingan (conflict of
interests) arbitrer atau alasan putusan arbitrase melawan ketertiban umum
(public policy) yang dengan jelas
tidak terdapat dalam alasan pembatalan putusan arbitrase dalam Pasal 70 UU
Arbitrase.
Terkait dengan hal
tersebut, putusan-putusan pengadilan yang dijatuhkan untuk membatalkan
putusan arbitrase namun tidak sesuai dengan alasan pembatalan putusan
arbitrase dalam Pasal 70 UU Arbitrase dapat mengakibatkan ketidakpastian
hukum bagi para pihak yang bersengketa.
Padahal, berdasarkan party autonomy para pihak sudah
sepakat menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase (Pasal 1 ayat (3) UU
Arbitrase). Alasan melawan ketertiban umum (public policy) seharusnya merupakan alasan yang digunakan untuk
menghambat atau menunda exequatur (perintah untuk melaksanakan putusan
arbitrase oleh pengadilan).
Sedangkan alasan
benturan kepentingan (conflict of
interests) arbitrer dengan para pihak seharusnya diselesaikan dengan
mengganti arbitrer yang bersangkutan (recuse)
sehingga tidak tepat jika dijadikan dasar alasan pembatalan (derail) putusan arbitrase karena tidak
sesuai dengan syarat dan ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase.
Pun seringkali, alasan
pembatalan putusan dalam Pasal 70 UU Arbitrase dijadikan dasar bagi pihak
yang kurang paham mekanisme arbitrase untuk membatalkan putusan arbitrase
internasional. Padahal, untuk putusan arbitrase internasional, yaitu putusan
yang dijatuhkan di wilayah negara lain, berlaku hukum arbitrase negara yang
bersangkutan (lex arbitri) sehingga
tidak dapat dibatalkan menurut hukum Indonesia (UU Arbitrase).
Apalagi sifat dari
putusan arbitrase adalah final dan mengikat. Dengan begitu, seharusnya
putusan arbitrase tersebut merupakan satu-satunya putusan yang menyelesaikan
sengketa para pihak karena sudah dipilih para pihak (party autonomy) melalui klausul arbitrase.
Forum Pilihan Pelaku Bisnis
Adalah kecenderungan
di seluruh dunia saat ini bahwa arbitrase telah menjadi pilihan favorit para
pelaku bisnis yang bersengketa. Hal ini disebabkan para pelaku bisnis ingin
menyelesaikan sengketa bisnis mereka secara cepat dan tuntas dalam waktu
singkat.
Banyaknya insiden
pembatalan putusan arbitrase di Indonesia telah menimbulkan ketidakpastian
hukum yang menambah keraguan para pelaku bisnis, khususnya investor asing,
untuk menjalankan bisnisnya di Indonesia. Untuk itu, harus ada jaminan
penegakan hukum di Indonesia sehingga para pelaku bisnis tidak berpaling ke
negaranegara tujuan investasi lain yang lebih menawarkan kepastian hukum.
Pelaku bisnis
cenderung akan ragu menanamkan modalnya di suatu negara apabila risiko
investasi tinggi. Yang pertama ditanya investor adalah pangsa pasar, daya
beli, bahan baku, dan tenaga kerja.
Tetapi rule of law, penegakan hukum, dan
kepastian hukum akan menentukan apakah minat mereka berinvestasi akan
diwujudkan. Rendahnya persentase perwujudan investasi di Indonesia menandakan
lemahnya penegakan hukum.
Yang paling penting,
jangan sampai Indonesia tetap dikategorikan sebagai unfriendly state against commercial arbitration, karena tentunya
hal tersebut akan merugikan perekonomian di Indonesia ke depan, khususnya
iklim investasi akan terganggu. Minat investasi yang besar dari investor
asing tidak diimbangi dengan pelaksanaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar