Jumat, 01 Mei 2015

Perjalanan Diplomasi Kita

Perjalanan Diplomasi Kita

Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy
KORAN SINDO, 29 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seorang pegawai yang sekaligus anggota serikat pekerja Perusahaan Listrik Negara mengeluhkepada saya dalamsebuah kesempatan lokakarya, tentang rendahnya penghargaan dan penghormatan masyarakat terhadap peran pekerja dalam menyalurkan listrik ke rumah tangga.

Masyarakat tidak tahu bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh para pegawai tersebut tidak hanya teknis, tetapi juga bernilai pengabdian tinggi karena sesungguhnya tenaga yang mereka curahkan lebih besar dari penghargaan yang diterima, baik dari sisi ekonomi maupun sosial.

Misalnya pada saat terjadi mati listrik, sebenarnya ada banyak hal yang telah diupayakan untuk dilakukan di tengah segala keterbatasan fasilitas pendukung di perusahaan, antara lain suku cadang yang sudah tidak diproduksi, manual generator yang berbahasa Mandarin, kualitas bahan bakar yang di bawah syarat.

Pengalaman para pekerja itu merangsang kita untuk mengkaji kembali dan membandingkan konsep diplomasi “A Thousand Friend, Zero Enemy” yang menjadi garis kebijakan politik luar negeri pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan kebijakan politik luar negeri Presiden Joko Widodo.

Beberapa orang yang merasa letih dan jenuh dengan kejadian dan insiden-insiden hubungan luar negeri belakangan ini tiba-tiba merindukan suasana yang tenang, nyaman, dan senang dengan pendekatan yang dilakukan oleh pemerintahan SBY. Mungkin kurang tegas, tetapi tidak menimbulkan keresahan yang bertubi-tubi. Namun, pandangan lain mengatakan bahwa bentuk diplomasi seperti saat inilah yang dibutuhkan Indonesia.

Alasannya agar Indonesia dapat menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang berdaulat dan kuat. Pandangan ini tampaknya lebih dominan karena disuarakan mulai dari lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Saya belum membaca satu pun pendapat yang berbeda dari para pejabat negara atau tokoh politik yang melawan arus kebijakan dominan saat ini.

Memang, selama 10 tahun pemerintahan SBY, belum pernah ada ketegangan antarnegara yang sumber utama keluhannya adalah pilihan politik kepala negara Indonesia. Hal inilah yang justru kini sedang dihadapi Indonesia terkait keputusan Presiden Joko Widodo untuk tidak memberikan grasi ataupun pengampunan terhadap para terpidana narkoba.

Masalah yang selama ini paling sering dihadapi adalah dengan negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura, dan Australia. Mulai urusan tenaga kerja Indonesia, masalah asap, illegal fishing, pengungsi, hingga pengaturan wilayah batas udara. Meskipun menyulut emosi, hal-hal tersebut dianggap relatif wajar karena secara geografis kita berdekatan dengan negara-negara tersebut, sehingga interaksi yang cukup intens berpotensi menimbulkan gesekan yang mengganggu.

Bila dibandingkan dengan protes keras sejumlah negara terkait keputusan Presiden Joko Widodo untuk tidak sedikit pun menggunakan wewenang pemberian grasi atau pengampunan pada para terpidana mati, efek emosinya menyulut bahkan penduduk di negara-negara yang jauh.

Warga negara Filipina, Prancis, Australia, bahkan pemimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa pun mengirimkan pesan keprihatinan, kecaman, bahkan ancaman. Aksi protes diplomatik pun sudah dilayangkan, seperti penolakan duta besar Indonesia untuk Brasil dan kini rencana penarikan duta besar Prancis dari Indonesia. Kenyataan tersebut cukup mengagetkan banyak pihak, baik diplomat, analis, akademisi, aktivis; tidak hanya yang bermukim di Indonesia, tetapi juga yang di luar negeri.

Hubungan Indonesia dengan negara-negara tersebut dan juga dengan PBB selama ini selalu diwarnai suasana bersahabat. Tidak terbetik firasat hubungan yang memburuk. Namun tiba-tiba dalam enam bulan terakhir, kita dihadapkan dengan status relasi diplomatik terburuk dengan mereka semua.

PBB bahkan memberikan nilai terendah (E) karena pemerintah abai akan peringatan sebelumnya untuk segera melakukan moratorium hukuman mati bagi terpidana narkoba sebagai wujud komitmennya pada Kovenan Internasional tentang Perlindungan Hak Sipil dan Politik.

Kita masih ingat bahkan dengan tetangga kita Malaysia dan Singapura, yang relatif sering “ramai” tidak pernah terjadi sikap saling ancam yang berujung pada penarikan duta besar. Frekuensi pertengkaran kita dengan mereka relatif lebih sering dibandingkan antara Indonesia dan Prancis atau Brasil, sesering munculnya musim kemarau yang menyulut kebakaran di Pulau Sumatera, tetapi mengapa justru Prancis dan Brasil rela untuk mengambil opsi terburuk dalam relasi diplomatik?

Kita juga masih ingat bahwa ketika terjadi ketegangan dengan Australia menyusul berita penyadapan pada presiden dan ibu negara, kondisi hubungan bilateral Indonesia-Australia sempat memburuk. Sempat terjadi pemanggilan duta besar, namun dalam waktu relatif singkat komunikasi diplomatik kembali terhubung yang kemudian melahirkan nota kesepahaman seputar kerja sama pertukaran informasi.

Tak sedikit pun kerja sama di bidang lain terancam putus. Hubungan Indonesia dengan PBB juga dapat dikatakan produktif. Indonesia terbilang aktif dalam hampir segala kegiatan PBB, namun dikenal juga kritis. Kita rutin mengirimkan tentara perdamaian ke berbagai negara, aktif di ILO, WHO, dan lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya, termasuk dalam mendorong gerakan antiperubahan iklim.

Namun, Indonesia tetap kritis untuk mendorong reformasi PBB sejak 2000. Contohnya adalah pidato Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda pada 27 September 2008 yang menyerukan reformasi hak veto lima negara agar PBB lebih demokratis.

Ia menyatakan bahwa lima negara pemegang hak veto (Prancis, Inggris, Rusia, Amerika Serikat, dan China) telah menyalahgunakan hak veto yang dapat membahayakan eksistensi Dewan Keamanan PBB yang awalnya justru ditujukan untuk menjaga perdamaian dunia.

Dalam Sidang Majelis Umum PBB itu, Menteri Wirajuda mengatakan bahwa demokratisasi Dewan Keamanan PBB juga berarti distribusi hak keanggotaan yang lebih adil—tidak hanya dalam hal perwakilan geografis yang saat ini pun terbilang belum adil, tetapi juga dalam hal jumlah penduduk (constituencies).

Melalui Menteri Wirajuda, Indonesia pernah menyatakan wakil-wakil peradaban besar di dunia harus secara proporsional terwakili keanggotaannya dalam Dewan Keamanan PBB. Artinya bahwa komunitas 1,1 miliar umat muslim perlu terwakili juga di sana supaya lembaga itu lebih demokratis.

Saya tidak ingin menyimpulkan lebih lanjut tentang kondisi politik luar negeri Indonesia saat ini. Namun, kita perlu mengingat hal-hal baik apa saja yang pernah kita kontribusikan pada dunia.

Seperti pekerja PLN yang saya sebutkan di awal, pencapaian kita saat ini sebenarnya dilakukan melalui kerja dan pengorbanan dalam waktu dan jumlah yang besar, yang mungkin tidak diketahui atau disadari oleh banyak orang. Mudah-mudahan modal tersebut tidak kita sia-siakan demi menjaga kepentingan bangsa dalam jangka yang lebih panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar