Menghindari
Jebakan Poros Maritim
Shofwan Al Banna Choiruzzad ; Sekretaris Eksekutif ASEAN Study Center
FISIP UI; Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI
|
KORAN SINDO, 29 April 2015
Ungkapan klise ”di
antara dua benua dan dua samudera” yang menunjukkan nilai strategis Indonesia
tidak pernah serelevan hari ini dan beberapa dekade mendatang.
Jika paruh pertama
abad ke-20 didefinisikan oleh Eropa (Perang Dunia I dan II) dan paruh akhir
abad ke-20 ditentukan oleh Atlantik (Perang Dingin), para pengamat meyakini
bahwa abad ke-21 akan ditentukan oleh dua samudera besar yang mengapit
Indonesia: Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
Lanskap maritimlah
yang akan menentukan wajah masa depan. Dus, tekad Presiden Joko Widodo untuk
berhenti ”memunggungi lautan” patut didukung. Meski demikian, gagasan ”poros
maritim” (”global maritime fulcrum”)
tidak boleh diterapkan dengan tergesa-gesa dan melupakan pertimbangan
strategis.
Upaya mencapai ”quick wins” ala Jokowi tidak boleh
menutup mata para pengambil kebijakan dari perencanaan jangka panjang yang
komprehensif. Jika tidak berhati-hati, Indonesia bisa menjadi korban dari
persaingan kekuatan-kekuatan besar dunia yang samasama melihat Samudera Pasifik
dan Samudera Hindia sebagai arena perebutan pengaruh.
Poros Maritim dan Jalur Sutera Maritim
Gagasan Poros Maritim
yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada masa kampanye kini telah
menjadi salah satu warna yang paling kuat dalam kebijakan luar negeri
Indonesia. Gayung pun bersambut. China adalah salah satu kekuatan utama dunia
yang menyambut gembira gagasan poros maritim ini.
Dalam lawatan Presiden
Jokowi ke negara itu bulan lalu, China menawarkan dana bantuan hingga USD40
miliar dari ”Maritime Silk Fund” untuk merealisasikan visi ”Poros Maritim
Dunia.” China meletakkan ”poros maritim” Indonesia sebagai sesuatu yang
sejalan dengan gagasan Beijing untuk membangun kembali Jalur Sutera Maritim.
Yang menarik, gagasan
ini pertama kali disampaikan oleh Presiden Xi Jinping dalam kunjungannya ke
Indonesia pada Oktober 2013. Meski secara resmi disebut sebagai ”The 21st Century Maritime Silk Route
Economic Belt” (”Sabuk Ekonomi Jalur Sutera Maritim Abad Ke-21”), banyak
pengamat meyakini bahwa kebijakan China ini bukan semata soal ekonomi.
Meski tidak ada yang
dapat memastikan niat Beijing yang sebenarnya, sebagian pengamat di Amerika
Serikat dan India mengkhawatirkan bahwa proyek ini hanya kelanjutan dari
strategi ”Stringof-Pearls” yang
merupakan langkah Beijing untuk membangun pelabuhan-pelabuhan besar dan
fasilitas maritim lain di sekitar Samudera Hindia, mulai dari Gwadar (yang
dapat digunakan untuk mengawasi lalu lintas laut di Selat Hormuz) dan Pasni
di Pakistan, Hambantota di Sri Lanka, Chittagong di Bangladesh, hingga ke
Burma.
Langkah ini tidak
hanya memberikan keuntungan ekonomi, namun juga memberikan nilai strategis
bagi China karena pelabuhan-pelabuhan ini dapat berfungsi ganda sebagai
fasilitas sipil maupun militer. Sebenarnya, kalaupun kecurigaan tersebut
benar, hal tersebut dapat dimaklumi mengingat nilai strategis dua samudera
besar tersebut.
China tentu tidak
ingin mengulangi sejarah buruk dengan membiarkan jalur strategis itu
dikendalikan orang lain. Dominasi China mulai merosot saat Portugis
menaklukkan Malaka pada 1511 (Kaplan, 2010). Seperti dituturkan oleh Kaplan,
kawasan yang akan dihubungkan oleh Jalur Sutera Maritim tersebut jalur utama
pengangkutan minyak dan titik-titik penting dalam perdagangan dunia, mulai
dari Bab El Mandeb, Hormuz, hingga Malaka.
Empat puluh persen
minyak mentah dunia yang diangkut melalui laut harus melalui Selat Hormuz,
sementara separuh armada perdagangan dunia melalui Selat Malaka. China,
India, Jepang, Korea, dan tentu saja Amerika Serikat memiliki kepentingan
besar di kawasan ini. Ini pulalah yang membuat India dan Amerika Serikat
cenderung mencurigai maksud China di balik gagasan ”Jalur Sutera Maritim”
itu.
Data kunjungan
Angkatan Laut China sejak 1985-2013 membuat kekhawatiran itu semakin
beralasan (Baxter, 2015). Pada periode tersebut, Angkatan Laut China
melakukan 127 misi kunjungan ke pelabuhan-pelabuhan asing, terutama di
kawasan yang akan dihubungkan oleh Jalur Sutera Maritim dengan jumlah
pengiriman kapal mencapai 237.
Kunjungan kapal
seberat 7.000 ton tentu sebuah tindakan simbolik yang menunjukkan kapasitas
militer Beijing sekaligus fungsi ganda dari pelabuhan yang dikunjungi. India
sangat bergantung pada kawasan Samudera Hindia. Seiring dengan pertumbuhan
ekonominya yang pesat, kebutuhan energinya akan melonjak. Mayoritas suplai
energi tersebut akan datang dari Teluk Persia melalui Laut Arab.
Sementara itu, Amerika
Serikat sedang berupaya keras untuk meningkatkan kehadirannya di kawasan ini
seperti ditunjukkan dengan beberapa inisiatifnya misalnya Trans Pacific Partnership (TPP) yang
tidak memasukkan China.
Menjaga Visi Nasional
Tentu saja, mendekat
pada China bukan sesuatu yang salah, apalagi jika diwujudkan dalam bentuk
kerja sama yang konkret dan menguntungkan Indonesia. Meski demikian, penting
untuk mengingat adagium hubungan internasional bahwa ”tidak ada makan siang
yang gratis.”
Indonesia harus
betul-betul cermat menghitung manfaat dan harga dari ”makan siang” itu, yang
kebanyakan berupa pembiayaan infrastruktur maritim. Setidaknya ada tiga hal
yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa dukungan China ini tidak menjadi
perangkap bagi kepentingan nasional Indonesia pada masa yang akan datang.
Yang pertama, Indonesia harus memasukkan pertimbangan strategis dalam
pembangunan infrastruktur maritim.
Tidak boleh hanya
menggunakan kacamata ekonomi. Jangan tergesa-gesa menyepakati pembangunan
pelabuhan tertentu hanya karena ia menguntungkan secara ekonomi sebelum kita
memasukkan pertimbangan dampak strategisnya. Kedua, Indonesia harus
menghindari ketergantungan dengan kekuatan besar dunia yang mana pun, baik
itu Amerika Serikat maupun China.
Langkah mendukung
pendirian Asian Infrastructure Investment
Bank yang diinisiasi Beijing misalnya harus dilihat dalam kerangka
”memperbanyak alternatif,” bukan meninggalkan Jepang dan Amerika Serikat.
Ketiga,penting untuk mengimbangi kerja sama Jalur Sutera Maritim ini dengan
membangun arsitektur regional yang bersifat multilateral.
Salah satu karakter
menarik dari diplomasi China kontemporer adalah penekanannya yang kuat pada
diplomasi bilateral, yang memberikan keuntungan pada Beijing sebagai negara
yang lebih kuat. Untuk menjaga supaya hubungan Indonesia-China tidak menjadi
hubungan yang sangat timpang dan membatasi kebebasan Indonesia, penting untuk
mendukung multilateralisme di kawasan.
Poros maritim global
harus menjadi pengungkit bagi kepentingan nasional Indonesia, bukan
jungkat-jungkit yang digunakan oleh kekuatan-kekuatan besar dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar