Aklamasi
Berbuah Oligarki
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti di PP Politik LIPI
|
KOMPAS, 09 Mei 2015
Model aklamasi dalam
suksesi kepemimpinan partai politik sedang melanda beberapa partai politik.
Suksesi kepemimpinan PAN, PDIP, PPP, Nasdem, dan PBB menunjukkan aklamasi
merupakan cara sah dalam menetapkan ketua umum.
Demokrat yang akan
menyelenggarakan kongres pada 11-13 Mei sudah bisa ditebak akan mengusung SBY
sebagai calon tunggal ketua umum partai.
Pencalonan ketua umum
dalam suksesi kepemimpinan sebenarnya krusial karena merupakan titik utama
dalam regenerasi partai. Kader senior secara bertahap akan menyerahkan
tongkat estafet kepemimpinannya agar eksistensi partai berjalan.
Operasionalisasi partai kemudian akan dinamis: menjaring aspirasi publik,
menggerakkan organisasi, dan mengartikulasikan kepentingan publik di ranah
legislasi.
Merusak dua marwah
Mekanisme aklamasi
dalam suksesi kepemimpinan partai politik merusak duamarwah partai: situasi
historis bahwa partai tumbuh karena rakyat dan bahwa partai berkembang
sebagai lembaga demokrasi (Sartori, 1956). Selain itu, mekanisme aklamasi
menguatkan secara teoretis bahwa pembangunan partai di Indonesia selaras
dengan perkembangan karisma figur. Dengan kata lain, sedemokratis apa pun
suatu partai mengklaim diri, tetap saja figur patron partai itu tunggal atau
terfaksikan dalam beberapa lingkar elite. Di ujungnya partai perlahan
kehilangan makna sebagai sebuah lembaga.
Munculnya mekanisme
aklamasi dalam suksesi juga dapat disebabkan adanya ketakpercayaan generasi
tua terhadap generasi muda dalam memimpin partai, perilaku sindrom pascakuasa
para elite sehingga masih ingin memegang posisi, berhentinya jalur kaderisasi
dalam tubuh partai, dan tingkat keter- gantungan tinggi kader terhadap
senioritas figur sebagai pemersatu dan pengayom sehingga tak ada pilihan
selain menjatuhkan pada figur itu memimpin.
Kerinduan figur anak
muda penggerak partai di era rezim sebelumnya sepertiDN Aidit (PKI), Ali
Sastroamidjojo (PSI), dan Burhanuddin Harahap (Masyumi) ternyata mampu
berpengaruh signifikan dalam tubuh partai masing-masing sehingga lebih
dinamis dan energik. Sekarang ini, dengan model aklamasi dalam suksesi,
sangat kecil kemungkinan melihat anak muda progresif memberikan warna dan
darah segar dalam tubuh partai. Jumlah kader muda di tiap partai politik di
Indonesia har ini sebenarnya banyak, tetapi kembali lagi pada ketertutupan
akses mencapai level eksekutif yang banyak diisi senior partai.
Kajian kepemimpinan
partai politik Indonesia memang menunjukkan pada perilaku penguatan figur
berdasarkan aklamasi. Personifikasi figur ketua umum dengan partai kemudian
berlanjut pada legitimasi trah keluarga sebagai simbol politik.Kajian Andres
Ufen (2006) menunjukkan suksesi kepemimpinan partai mengarah pada
Filipinaisasi: partai sebagai jalan terbentuknya dinasti. Premis itu bisa
terbaca dari munculnya ”anak-anak politik”, seperti Puan Maharani dan
Prananda Prabowo (PDIP), Ahmad Hanafi Rais (PAN), dan Edhie Baskoro Yudhoyono
(Demokrat), yang semuanya duduk sebagai fungsionaris partai.
Partai juga jadi
sarana berkembangnya klan politik dalam era demokrasi yang kemudian menghasilkan
politik dinasti. Kecenderungan semangat familisme dalam politik menunjukkan
tren bahwa partai politik bukan domain publik, tetapi lebih pada domain
privat. Klanisasi partai dengan mendewakan trah sebagai simbol suksesi malah
justru akan membuat partai politik makin eksklusif dan tak lagi pegang peran
sebagai lembaga publik. Klan juga menutup kemungkinan figur muda berpotensi
jadi fungsionaris partai karena terhadang simbol trah yang demikian sakral
itu. Aklamasi akan terus berlanjut dalam suksesi berikutnya dengan trah
sebagai syarat utama.
Selain halnya
trah,penjelasan relevan menganalisis mekanisme aklamasi dalam suksesi adalah
munculnya orang kuat. Karisma orang kuat dianggap penting menjadikan partai
politik tetap memiliki semangat dalam berkompetisi elektoral. Harus diakui
bahwa kecenderungan one man show
sebagai bentuk aklamasi kerap terjadi.Dengan kata lain, tanpa orang kuat
tersebut, partai itu bukanlah entitas penting.
Tomsa (2012) melihat
bahwa mekanisme aklamasi dipilih tak lain karena kekuatan orang kuat yang
mampu meredistribusi sumber daya ekonomi-politik secara seimbang dan rata ke
segenap kader partai. Itu kemudian berdampak pada semangat monoloyalitas
kepada figur predator agar tetap berdiri sebagai pemimpin partai politik.
Dalam berbagai kasus, suksesi jabatan eksekutif parpol di Indonesia selalu
dikaitkan dengan aktivitas penyandang dana. Besar-kecil dana akan berdampak
pada posisi yang diberikan dalam partai.
Kedua analisis
mengenai aklamasi dalam kepemimpinan partai pada akhirnya meneguhkan
gerontokrasi dalam kepemimpinan partai politik. Karena itu, yang terjadi
adalah regenerasi berhenti dan mekanisme organisasi jadi statis karena dengan
berkumpulnya para orang tua, posisi eksekutif partai menjadikan roda
organisasi lamban.Menjadi ironis bahwa partai politik sebagai salah satu
pilar demokrasi justru mengajarkan oligarki. Atas nama demokrasi, aklamasi
juga menunjukkan temuan bahwa institusionalisasi partai politik di Indonesia
sebenarnya lemah. Adanya pemusatan kekuasaan terhadapsenioritas figur
mengindikasikan bahwa suksesi berjalan lambat dan terlambat. Implikasinya,
partai berubah jadi sarang mafia politik yang senantiasa mereduksi anggaran
negara.
Wajarlah mekanisme
aklamasi perlu dihindari. Jangan hendaknya partai politik di Indonesia hanya
jadi lembaga arisan keluarga ataupun korporasi terselubung yang
mengatasnamakan demokrasi: menguntungkan elite, bukan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar