Jaminan
Pensiun
Timboel Siregar ; Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja
Seluruh Indonesia; Koordinator Advokasi BPJS Watch
|
KOMPAS, 15 Mei 2015
Disahkannya UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, yang merupakan amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional, melegitimasi kehadiran BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS
Kesehatan.
BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan
Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian, sementara BPJS
Kesehatan hanya mengelola Jaminan Kesehatan.
Kehadiran JP sebagai program wajib bagi semua pekerja diharapkan
menjadi instrumen perlindungan riil bagi pekerja ketika memasuki masa
pensiun, sesuai amanat Pasal 39 Ayat (2) UU Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) yang menyatakan, "Jaminan pensiun diselenggarakan untuk
mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau
berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat
total tetap".
JP yang diselenggarakan berdasarkan Manfaat Pasti ini (menerima upah
pensiun bulanan) tentunya akan mendukung daya beli pekerja dan keluarganya
pasca pensiun. Selama ini pensiun merupakan program sukarela sehingga baru
sekitar 200 perusahaan saja yang sudah mengikutsertakan pekerjanya pada
program pensiun. Namun, per 1 Juli 2015 JP sudah menjadi program wajib bagi
pekerja di Indonesia, sesuai amanat Pasal 64 UU BPJS.
Menunggu peraturan
pemerintah
Tentunya implementasi amanat Pasal 64 UU BPJS sangat bergantung pada
kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) JP. Tenggat 1 Juli 2015 tinggal satu
setengah bulan, tetapi hingga saat ini PP JP belum kunjung ditandatangani
Presiden Joko Widodo. Mengacu pada Pasal 70 UU BPJS, PP JP seharusnya sudah
hadir November 2013.
Mengapa hingga saat ini PP JP belum kunjung ada? Belum selesainya PP JP
tidak lepas dari perdebatan ketiga aktor hubungan industrial, yaitu
pemerintah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan serikat
pekerja/serikat buruh (SP/SB) mengenai iuran dan manfaat JP. Kalangan SP/SB
berargumen, untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat
pensiun nanti, maka iuran awal JP adalah 15 persen (pemberi kerja 10 persen
dan pekerja 5 persen), sementara Apindo mengusulkan 3 persen (pemberi kerja 2
persen dan pekerja 1 persen) karena iuran JP meningkatkan ongkos buruh (labor
cost). Sementara pemerintah mengusulkan 8 persen (pemberi kerja 5 persen dan
pekerja 3 persen).
Penulis berpendapat, iuran 8 persen sebagai iuran awal sebaiknya
diterima semua pihak. Angka 8 persen bukanlah penentuan sepihak dari
Kementerian Tenaga Kerja seperti dituduhkan Juliaman W Saragih dalam tulisan
opini yang berjudul "Perburuan Rente BPJS Naker" (Kompas,
6/5/2015). Angka 8 persen merupakan rekomendasi Dewan Jaminan Sosial Nasional
(DJSN) setelah dikaji.
Merujuk pada Pasal 7 Ayat (3a) UU SJSN, institusi DJSN diberi tugas
mengkaji dan meneliti penyelenggaraan JP, termasuk mengkaji manfaat dan iuran
JP. Penulis meyakini, rekomendasi DJSN itu juga telah disetujui dua orang
perwakilan Apindo dan dua orang perwakilan SP/SB yang duduk menjadi anggota
DJSN, sehingga keberatan Apindo dan SP/SB terhadap 8 persen seharusnya tidak
perlu terjadi. Iuran awal 8 persen sudah rasional dengan kondisi ekonomi saat
ini. Negara Trinidad-Tobago saja, yang tidak masuk G-20, besaran iuran JP-nya
sudah 8,4 persen (pemberi kerja 5,6 persen dan pekerja 2,8 persen).
Menurut kajian DJSN, Manfaat Pasti yang akan diterima pekerja pada saat
pensiun dengan masa iur 15 tahun dan iuran 8 persen adalah 22,5 persen dari
rata-rata upah, dan apabila masa iur 20 tahun, Manfaat Pasti yang akan
diterima adalah 34 persen dari rata-rata upah. Jika iuran JP dimulai dengan 3
persen, maka akan sangat sulit bagi pekerja yang memasuki masa pensiun untuk
hidup layak nantinya.
Kalangan SP/SB seharusnya tidak perlu khawatir dengan angka 8 persen
tersebut karena Pasal 39 Draf RPP Jaminan Pensiun (draf terakhir) menyatakan
bahwa besarnya iuran, baik iuran peserta maupun iuran pemberi kerja, ditinjau
secara periodik paling lama lima tahun berdasarkan antara lain demografi,
pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan usia harapan hidup. Ini artinya, iuran
akan ditingkatkan secara periodik dan peningkatan iuran ini akan menambah
manfaat pada saat pensiun nanti.
Manfaat Jaminan
Pensiun
Kehadiran JP bukan hanya bermanfaat bagi pekerja, melainkan juga
bermanfaat untuk pemerintah dan pemberi kerja. JP akan mampu memperbaiki
hubungan industrial di tempat kerja, produktivitas dan ketenangan berusaha, serta iklim
investasi di Indonesia. Dari sisi anggaran tahunan perusahaan, pemberi kerja
tidak perlu lagi khawatir mengeluarkan biaya yang besar untuk memenuhi Pasal
167 UU Ketenagakerjaan ketika pekerja pensiun karena pekerja sudah ditanggung
pensiunnya oleh BPJS Ketenagakerjaan. Ini artinya, JP bisa menurunkan-baik
kualitas maupun kuantitas-perselisihan hubungan industrial di tempat kerja.
Bagi pemerintah, kehadiran JP merupakan peluang bangsa ini untuk
mempunyai institusi dengan kemampuan mengakumulasi dana besar. Iuran JP dan
JHT yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan dapat digunakan untuk membantu
pembiayaan pembangunan negeri ini.
Jika Employees' Provident Fund (EPF) di Malaysia dan Central Provident
Fund (CPF) di Singapura mampu menopang
kemandirian pembangunan di negaranya, sudah seharusnya BPJS Ketenagakerjaan
juga dapat melakukan hal serupa sehingga Indonesia mampu mandiri dalam
membangun. Pendapatan bulanan yang diterima peserta JP ketika memasuki masa
pensiun berpotensi membantu pemerintah mengurangi angka kemiskinan bagi usia
lanjut dan tentunya membantu pemerintah mencapai MDG.
Dalam mengelola dana jaminan sosial, tentunya BPJS Ketenagakerjaan yang
berbadan hukum publik harus mematuhi prinsip-prinsip jaminan sosial, yaitu
kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas,
portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan
dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan
untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta (Pasal 4 UU BPJS). Hasil
pengembangan dana jaminan sosial tersebut harus dikembalikan kepada pekerja.
Program pembangunan rumah buruh, program Return to Work, dan pemberian beasiswa
bagi anak pekerja merupakan beberapa contoh pelaksanaan prinsip terakhir di
atas. Jadi, jika ada tuduhan terhadap BPJS Ketenagakerjaan melakukan
perburuan rente, hal tersebut tidak mendasar.
Memang kehadiran JP akan membingungkan pemberi kerja yang sudah
mengikutsertakan pekerjanya di Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) atau Dana
Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Tentunya pemberi kerja tidak mau membayar
dua kali untuk program yang sama. Pemerintah harus memberikan pengecualian
bagi pemberi kerja tersebut dalam PP JP, dengan catatan program di DPPK atau
DPLK sudah lebih baik dari sisi iuran maupun manfaat (harus Manfaat Pasti)
dibandingkan dengan JP yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan. Aturan
pengecualian ini juga memastikan perusahaan-perusahaan DPPK dan DPLK tidak
akan gulung tikar.
Jaminan Pensiun adalah hak semua pekerja, termasuk pekerja informal dan
pekerja migran. Memang pemerintah masih mempunyai pekerjaan rumah untuk
mengakomodasi pekerja informal dan pekerja migran dalam program JP ini.
Penulis mendesak pemerintah membuka peluang bagi pekerja informal untuk
menjadi peserta JP di PP JP.
Untuk pekerja migran, revisi UU No 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan
perlindungan TKI merupakan pintu masuk bagi pekerja migran untuk mendapatkan
JP. Semoga DPR dan pemerintah mau mensyaratkan JP bagi buruh migran dalam
revisi UU No 39 Tahun 2004, yang saat ini sedang dibahas di DPR.
Impian masa depan pekerja Indonesia tentang JP masih ada di tangan
Presiden Joko Widodo saat ini. Semoga Presiden Joko Widodo segera
menandatangani PP JP pada Mei ini dengan iuran awal 8 persen, sehingga
pemerintah mempunyai waktu cukup untuk menyosialisasikan PP JP tersebut
kepada semua pemberi kerja dan pekerja, dan tentunya Presiden tetap memperhatikan pekerja
informal dan pekerja migran untuk bisa menjadi peserta JP di BPJS
Ketenagakerjaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar