Transformasi
Kawasan Industri
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 14 Mei 2015
Kalau Anda sempat masuk Kawasan Industri Pulogadung, barangkali Anda
akan bertanya-tanya. Apa sih bedanya kawasan itu dengan area lainnya?
Sejatinya nyaris tidak ada.
Jalan-jalan banyak yang rusak dan menjadi penyebab kemacetan. Siapa pun
bebas keluar-masuk kawasan industri. Kalau daerah lain terkena pemadaman
listrik, di kawasan industri Pulogadung pun begitu pula. Kecuali Anda punya
genset, yang cukup mahal biaya operasionalnya. Ketersediaan air bersih?
Pasokannya sama saja dengan daerah-daerah lain di luar kawasan industri.
Penerangan jalan? Ada beberapa ruas jalan yang tampak temaram, bahkan gelap.
Fasilitas pengolahan limbahnya entah ada di mana. Banyaknya pedagang
kaki lima, juga warung-warung, membuat Pulogadung terkesan kumuh. Bahkan
jalan menuju tol tetap saja macet, semrawut, bahkan kawasan ini jalannya
mudah rusak, banjir pula. Maka ketika membaca berita tentang fasilitas di
kawasan industri Pulogadung akan ditingkatkan, saya senang. Memang ada
sebagian kita yang sudah bosan dengan kata” akan”.
Di negara kita, kata ”akan” biasanya merujuk pada sesuatu yang entah
kapan bakal terealisasi. Bahkan, mungkin tidak terealisasi sama sekali. Itu
hanya kata yang biasa diucapkan politisi selama masa kampanye. Tapi betulan,
jalan berlubanglubang dalamnya mulai tampak bagus lagi. Pada kabinet
pemerintahan yang lalu, ada seorang menteri yang terkenal dengan sebutan
menteri ”akan”.
Ke mana-mana dia selalu bicara akan membangun ini, akan menertibkan
itu, akan mempermudah perizinan, akan membantu pengusaha kecil, akan
meningkatkan akses, dan seterusnya. Semuanya janji. Anda tentu tahu bukan,
menteri yang saya maksud? Mudah-mudahan untuk kawasan industri Pulogadung
tidak begitu.
Supaya menjadi catatan, ini fasilitas yang akan ditingkatkan di kawasan
industri Pulogadung: gerbang elektronik untuk memastikan hanya investor dan
karyawan yang bisa masuk, pengelolaan limbah, perbaikan jalan berlubang,
penataan lahan hutan kota di dalam kawasan, penertiban pedagang kaki lima dan
parkir liar. Alhamdulillah. Sudah
lama kita tak melihat kawasan industri baru yang dibuat dengan master plan
yang baik, yang mencerminkan kegairahan berinvestasi dan ketertiban ekonomi.
Belajar dari China
Sekarang kita lihat potret yang lebih besar. Saya lama tak mendengar
rencana pemerintah membangun kawasan industri. Lalu, muncul berita sampai
tahun 2019, pemerintah berencana membangun 19 kawasan industri lebih dari 80%
berlokasi di kawasan Indonesia timur. Investasi totalnya bakal mencapai
Rp192,44 triliun.
Banyak urusan yang mesti dibereskan untuk membangun kawasan industri.
Misalnya harus ada koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah sesuatu yang menjadi masalah sangat serius pasca kita memberlakukan UU
Otonomi Daerah pada tahun 2000. Masalah klasik lainnya adalah soal
ketersediaan infrastruktur. Pasokan listrik harus terjamin ini juga menjadi
salah satu masalah serius di negara kita.
Belum lagi masalah ketersediaan air bersih dan pelabuhan- pelabuhan.
Jangan sampai barang sudah mulai diproduksi, tak jelas mau diekspor lewat
pelabuhan mana. Masalah berikutnya soal ketersediaan SDM. Jangan sampai
kawasan industri sudah dibangun dan investor mau masuk, tenaga kerjanya tidak
ada. Lalu, masalah yang sangat gawat adalah soal kepastian hukum dan
inkonsistensi kebijakan. Saya tak punya banyak komentar soal ini.
Anda pasti sudah tahu warisan yang diterima pemerintah ini. Apa pun,
rencana pemerintah membangun 14 kawasan industri sampai tahun 2019 adalah
berita yang bagus. Tapi jumlahnya masih kurang banyak, sebab bagi saya agak
mengherankan kalau pemerintah berencana menggenjot pertumbuhan ekonomi dan
menciptakan banyak lapangan kerja, tapi tidak memasukkan kawasan industri di
dalamnya.
Padahal, nyata-nyata kawasan industri memainkan peran strategis bagi
peningkatan kinerja perekonomian suatu negara. Contohnya ada di mana-mana.
Salah satunya di China. Pemerintah China mulai mengembangkan kawasan industri
dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sejak 1980-an. Areanya menyebar. Ada di
Shenzhen, Zhuhai, dan Shantou di Provinsi Guangdong, atau Xiamen di Provinsi
Fujian, termasuk Provinsi Hainan yang dijadikan KEK.
Sejak itu pengembangan kawasan industri, KEK, dan zona-zona
pengembangan kawasan ekonomi terpadu di China kian tak terbendung. Nyaris
semua provinsi di China memiliki kawasan industri. Bahkan, ada yang
menjadikan provinsinya sebagai kawasan ekonomi khusus, seperti di Hainan.
China betul-betul menjadikan kawasan industri, yang mereka integrasikan
dengan KEK dan zona-zona pengembangan ekonomi terpadu lainnya, termasuk
kluster-kluster industri, sebagai instrumen pendorong pertumbuhan ekonomi.
Bukan hanya itu, adanya kawasan-kawasan tersebut juga mendorong inovasi
teknologi, meningkatkan ekspor dan terutama penciptaan lapangan kerja. Dengan
adanya kawasan industry juga KEK dan zonazona ekonomi investasi asing
langsung ke China meningkat pesat. Semua itu, ditambah kemudahan perizinan,
ketersediaan infrastruktur, upah buruh yang kompetitif, dan kepastian hukum,
membuat investor betul-betul bak disambut dengan karpet merah.
Alhasil buahnya pun bertaburan. Produksi barang-barang meningkat pesat,
begitu pula dengan volume dan nilai ekspor China. Kondisi inilah yang membuat
perekonomian China tumbuh hingga di atas 9%, bahkan mencapai dua digit,
selama hampir 30 tahun. Penyerapan tenaga kerja terjadi di semua lini usaha.
Tiga Generasi
Di Indonesia, pengelola kawasan industri perlu melakukan transformasi,
sebab kini ia sudah memasuki generasi ke-3. Untuk Anda ketahui, kita sudah
membangun kawasan industri sejak tahun 1970, yang kita sebut dengan kawasan
industri generasi ke-1. Oleh karena baru mulai, pemerintah menyerahkan
pembangunan kawasan industri ke BUMN meski peran pemerintah masih dominan.
Lalu, karena dana terbatas, selama periode 1970-1990, hanya ada delapan
kawasan industri yang dibangun pemerintah, di antaranya kawasan industri
Pulogadung, Rungkut, Cilacap, Medan, Lampung, Makassar, Cilegon, dan Kawasan
Berikat Nusantara. Pada kawasan industri generasi ke-2 (1990-an sampai kini),
pemerintah melibatkan peran swasta.
Alhasil terjadilah pembangunan kawasan industri secara meluas. Ada
200-an kawasan industri yang ingin dibangun, meski yang terealisasi hanya
30%-an. Pada kawasan ini mulai dirancang bangunan multifungsi, seperti untuk
pabrik beragam industri, fasilitas litbang, ruang pamer, pergudangan, bahkan
mulai menerapkan isu-isu ramah lingkungan atau eco industrial estate.
Kini kita bakal mengembangkan kawasan industri yang lebih modern atau
disebut kawasan industri generasi ke-3. Ciri-cirinya, kawasan tersebut memiliki
dukungan infrastruktur yang lebih terpadu, lebih ramah lingkungan, berbasis
sumber daya lokal, inovatif, ada fasilitas litbang, dan dilengkapi dengan
perumahan, pendidikan dan bahkan pusat perbelanjaan.
Tapi sayangnya, orang daerah harus bolak-balik ke Jakarta mengutus
perizinan dari pemerintah pusat untuk memajukan kawasan industri
kebanggaannya. Akibatnya cuma yang ada di dekat Ibu Kota saja yang
berkembang. Bayangkan kalau daerah diberi izin mengurus listrik dan membangun
pembangkitnya sendiri, pasti sudah banyak daerah yang tidak gelap gulita
seperti yang kita rasakan sekarang.
Belum lagi soal lahan, dan perizinan terkait. Ampun ribet- nya.
Begitulah, transformasi terjadi di mana-mana. Bukan hanya perusahaan yang
bertransformasi, melainkan juga kawasan industrinya. Saya berharap
transformasi kawasan industri ikut memicu transformasi perekonomian kita.
Kata seniman Marilyn Manson, ”.... the
key to longevity - and immortality, in a sense - has to do with
transformation. ” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar