Kerisauan
Ekonomi Melambat
Rusnadi Padjung ; Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi KPDT
|
KOMPAS, 15 Mei 2015
Perlambatan ekonomi yang diindikasikan oleh pertumbuhan hanya 4,7
persen pada kuartal pertama 2015 memunculkan berbagai komentar miring.
Pemerintah, terutama tim ekonomi kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla,
dianggap gagal. Dengan sigap sejumlah
politisi, kalangan DPR, dan bahkan beberapa pengamat memanfaatkan
kejadian ini untuk mengembuskan isu bahkan mendesak dilakukan perombakan
kabinet, terutama kabinet kelompok ekonomi.
Sayang, beberapa kalangan yang mewakili pemerintah dalam menanggapi
kejadian ini memberikan alasan konvensional, bukan penjelasan yang bersifat
lebih hakiki tentang arah pembangunan kabinet kerja. Misalnya bahwa ini
adalah akibat dari fenomena ekonomi global sehingga negara-negara lain pun
melambat ekonominya, termasuk sejumlah negara maju.
Disebutkan juga bahwa kuartal pertama ini masih dalam periode transisi,
restrukturisasi sejumlah kementerian, dan serapan APBN-P masih rendah,
sebagai faktor yang memengaruhi perlambatan ekonomi tersebut.
Faktor tersebut memang bisa saja menjadi penyebab perlambatan ekonomi
meskipun tidak ada data yang tersedia seberapa besar kontribusinya, tetapi
ada penjelasan yang lebih hakiki yang seyogianya juga dikemukakan, yaitu
memang itulah pilihan arah pembangunan ekonomi pemerintahan baru saat ini.
Memilih pertumbuhan yang berkualitas.
Pertumbuhan
berkualitas
Selama ini pertumbuhan ekonomi
tinggi yang dicapai Indonesia dikritisi karena dinilai tidak berkualitas;
disparitas semakin tinggi, baik secara spasial antarwilayah maupun
antarkelompok masyarakat. Di balik
prestasi pertumbuhan ekonomi tinggi selama ini, rasio indeks gini di
Indonesia juga meningkat secara konsisten dalam 10 tahun terakhir, dari 0,33
menjadi 0,41.
Di awal pemerintahan baru,
jumlah daerah tertinggal di Indonesia masih 122 kabupaten yang terkonsentrasi
di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara. Di kabupaten tertinggal tersebut,
rata-rata Indeks Pembangunan Manusia hanya 66,01, jauh di bawah rata-rata
nasional yang telah mencapai 73,81. Tingkat kemiskinan di daerah tertinggal
masih 18,36 persen ketika rata-rata nasional telah dapat ditekan hingga 10,96
persen.
Sekitar setengah pembentukan produk domestik bruto (PDB) Indonesia selama
ini dikontribusi oleh konsumsi rumah
tangga. Padahal, konsumsi rumah tangga disumbang lebih banyak oleh orang kaya
atau kelas ekonomi menengah ke atas.
Sejalan dengan itu, setengah dari penduduk, yaitu mereka yang bermukim
di kota (53 persen), menyumbang tiga perempat (74 persen) PDB.
Angka-angka itu sudah cukup memberikan gambaran bahwa pertumbuhan
ekonomi hanya dinikmati orang kaya. Secara lebih spesifik, sekitar 20 persen masyarakat berpenghasilan
tinggi menerima 8 persen dari manfaat pembangunan, sedangkan 40 persen
masyarakat dengan penghasilan rendah hanya menerima 2 persen dari manfaat
pembangunan.
Masalah pertumbuhan ekonomi yang tidak merata itulah yang ingin
diselesaikan pemerintahan baru. Harga
yang harus dibayar untuk pemerataan dan keadilan itu adalah pertumbuhan
ekonomi yang melambat.
Sembilan agenda prioritas (nawacita) yang telah diterjemahkan dalam
RPJMN 2015-2019 menunjukkan haluan pembangunan pemerintah baru yang berorientasi pada
pertumbuhan yang berkualitas. Tiga di antaranya adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya
saing di pasar internasional, dan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Implementasi
nawacita
Rencana implementasi nawacita itu mewujud nyata dalam RAPBN 2015. Subsidi BBM ditiadakan dan dialihkan ke
program yang mendukung langsung aktivitas ekonomi rakyat. Misalnya, anggaran
Kementerian Pertanian meningkat dua kali lipat dari Rp 15,8 triliun menjadi Rp 32,7 triliun,
selain yang dititip di sejumlah
kementerian Rp 20 triliun untuk mendukung ketahanan pangan, dan yang di
Kementerian Kelautan dan Perikanan meningkat dari Rp 6,7 triliun menjadi Rp
10,5 triliun.
Dalam rangka menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi, pemerintah
akan memberikan penyertaan modal negara (PMN) di BUMN Rp 74 triliun. Selain
itu, anggaran infrastruktur menjadi Rp
280 triliun yang sebagian besar dialokasikan melalui Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian
Perhubungan, Kementerian ESDM, dan Kementerian Perindustrian.
Wujud keberpihakan pada pembangunan dari pinggiran adalah alokasi dana
desa Rp 20 triliun. Selain itu, rencana pengembangan 26 kawasan strategis
nasional (KSN) perbatasan, 7 kawasan ekonomi khusus (KEK) baru luar Jawa,
serta 14 kawasan industri baru segera dimulai tahun ini.
Terlepas dari pertumbuhan ekonomi kuartal I yang hanya 4,71
persen-lebih rendah dari periode yang sama tahun 2014 sebesar 5,14
persen-angka itu sesungguhnya merupakan buah dari arah pembangunan ekonomi
yang telah dipilih. Meski pertumbuhan
ekonomi sedikit di bawah target 5 persen, perlambatan itu merupakan
konsekuensi dari pilihan pembangunan yang tidak semata-mata berorientasi pada
pertumbuhan, tetapi juga mengedepankan pemerataan.
Jika diteliti lebih jauh, perubahan komponen pembentuk PDB dan
pertumbuhan pada kuartal pertama 2015 sesungguhnya telah merefleksikan haluan
ekonomi yang telah dipilih.
Menurut rilis Badan Pusat Statistik (BPS), salah satu faktor yang
menyebabkan perlambatan tersebut dari sisi produksi adalah menurunnya pasokan
barang impor, baik untuk barang modal, bahan baku/penolong, maupun barang
konsumsi. BPS mencatat impor pada kuartal I-2015 turun 2,2 persen (YoY), dan
turun 9,98 persen (QtQ).
Industri kita selama ini memang didominasi oleh industri yang
bergantung pada bahan baku dan terutama bahan penolong dari luar. Pertumbuhan
yang diperoleh dari industri seperti ini jelas merupakan pertumbuhan yang
tidak berkualitas. Kita juga tidak mau pertumbuhan yang didorong oleh
konsumsi barang dan jasa impor.
Penyebab perlambatan
Dua penyebab lain perlambatan ekonomi dari sisi produksi adalah (i)
produksi pangan menurun akibat mundurnya periode tanam, dan (ii) kinerja
konstruksi terkait dengan terlambatnya realisasi belanja infrastruktur. Yang
pertama terkait musim, dan yang kedua terkait dengan restrukturisasi
kementerian.
Dari sisi pengeluaran, salah satu penyebabnya adalah karena semua
komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga melambat. Seperti disebutkan
sebelumnya, pertumbuhan tinggi selama ini didorong oleh konsumsi rumah tangga
yang didominasi golongan menengah ke atas.
Dengan demikian, perlambatan itu sangat mungkin disebabkan oleh
konsumsi golongan menengah ke atas yang menurun. Dengan penggelontoran dana
melalui sejumlah program, dilakukan Kementerian Pertanian, misalnya, sangat
tidak mungkin penurunan konsumsi terjadi pada golongan masyarakat bawah dan
di desa.
Dengan demikian, tidak ada yang perlu dirisaukan dengan adanya
perlambatan ekonomi. Pembangunan telah berjalan on the track, sesuai dengan
haluan yang telah dipilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar