Membangkitkan
N-250
Rahmad Budi Harto ; Alumnus Universitas Pertahanan;
Pemerhati Teknologi Militer
|
REPUBLIKA, 16 April 2015
Dalam sebuah acara bincang-bincang alumnus ITB di Patra
Kuningan, Jakarta Selatan, pertengahan 2011, Direktur Utama PT Dirgantara
Indonesia Budi Santosa menyinggung mengenai proyek pesawat N-250 yang
terhenti setelah krisis moneter 1998. Dia menyebut angka 300 juta dolar AS
yang dibutuhkan untuk membangun lini produksi N-250.
Melihat investasi besar yang dibutuhkan untuk membangkitkan
kembali N-250 dan melihat kondisi PTDI saat ini yang sedang berjuang
mempertahankan kelangsungan bisnisnya agar tetap untung, tidak salah kalau
menyebut proyek N-250 sudah mati dan dikubur dalam-dalam. Kita belum bicara
biaya sertifikasi dan uji terbang lanjutan untuk memastikan bahwa N-250
memang benar-benar mumpuni secara teknologi.
Namun, BJ Habibie yang membidani kelahiran N-250 rupanya tak
ingin pesawat yang oleh Presiden Soeharto digelari Gatotkaca itu hanya
berstatus purwarupa saja. Melalui PT Regio Aviasi Industri (RAI) yang
didirikan putranya, Ilham Akbar, N-250 hendak dibangkitkan kembali dari kubur
dengan menyandang nama baru R-80. Nama itu menyiratkan pesawat regional yang
mampu membawa 80 penumpang.
Skemanya, RAI akan mendesain ulang N-250 menjadi R-80 dan
kemudian produksinya dilakukan di fasilitas PTDI. Harapan menghidupkan
kembali N-250 menguat setelah Presiden Joko Widodo menyatakan dukungan
pemerintah terhadap proyek R-80 seusai diajak Habibie berkeliling pusat riset
dirgantara milik LIPI di Serpong, Tangerang Selatan, beberapa waktu lalu.
Dari penuturan Budi Santosa, bisa disimpulkan bahwa membuat
purwarupa dan memproduksi pesawat secara massal adalah dua hal berbeda.
Artinya, selama meriset, mengembangkan, dan membuat dua purwarupa N-250, PTDI
yang kala itu bernama IPTN memang belum menyiapkan fasilitas produksinya,
mulai dari perkakas permesinan, seperti mesin CNC, milling, sampai jig
perakitan.
Masalah bertambah mengingat PT RAI selama ini telah mencoba
mendesain ulang N-250 untuk memberi ruang bagi 30 kursi penumpang tambahan
melalui beberapa modifikasi, seperti menghilangkan fitur fly by wire yang
pernah dibanggakan oleh Habibie sebagai keunggulan utama pesawat itu. N-250
adalah pesawat turboprop (bermesin baling-baling) pertama yang memasang
perangkat elektronik sebagai pengganti sistem kendali hidrolik. Hilangnya fly
by wire akan membuat biaya produksi R-80 lebih murah dibandingkan N-250.
Desain ekornya juga diubah. Elevator atau kendali horizontal
digeser ke atas ke puncak sirip tegak (rudder) sehingga membuat profil
ekornya seperti huruf T. Desain ekor yang memang banyak ditemukan di pesawat
berkecepatan rendah ini akan membuat R-80 mirip dengan ATR-72 dan Dash-8,
pemain utama di pasar pesawat propeler komersial kelas 50-70 penumpang.
PT RAI bertaruh bahwa R-80 bisa menawarkan penerbangan yang
lebih efisien dibandingkan pesawat jet di rute jarak pendek. Namun,
modifikasi ulang jelas memberi implikasi bahwa R-80 merupakan pesawat yang
benar-benar berbeda dari sang Gatotkaca, membuat data uji terbang purwarupa
N-250 tak bisa lagi dijadikan acuan. Selain investasi mesin produksi, PT RAI
juga harus menyiapkan anggaran uji terbang dan sertifikasi sebelum bisa
menjual R-80.
Bila memang Pemerintah Indonesia ingin ikut campur mewujudkan
mimpi besar BJ Habibie membangun dan menjual pesawat terbang komersial
pertama yang dirancang bangun oleh putra-putri Indonesia, skema yang paling
memungkinkan adalah suntikan modal raksasa ke PTDI untuk membangun fasilitas
produksinya. Sejak konversi utang ke saham senilai Rp 3,8 triliun pada 2011,
setahun kemudian pemerintah menyuntikkan modal Rp 1,4 triliun ke PTDI yang
separuhnya digunakan untuk peningkatan kapasitas melalui pembelian mesin
produksi baru dan peranti lunak. Suntikan doping ini cukup manjur menyehatkan
PTDI meskipun untungnya masih tipis. Tahun ini, ada lagi tambahan modal Rp
400 miliar.
Peremajaan mesin-mesin produksi memang menjadi prioritas utama
mengingat sebagian besar mesin CNC dan milling di hangar-hangar PTDI Bandung
itu dibeli pada era 1980-an, digunakan untuk produksi CN-235 yang
dikembangkan bersama dengan CASA Spanyol (sekarang bernama Airbus Military).
Dengan perannya menjadi bagian dari rantai produksi pesawat global, memenuhi
pesanan komponen pesawat dari Airbus Group dan pembuatan pesawat CN-235,
pesawat C-212, serta produksi dan perakitan helikopter, bisa dikatakan PTDI
sudah mendekati kapasitas produksi puncaknya.
Kesan itu tertangkap dengan jelas ketika penulis mengunjungi
PTDI di Bandung pada akhir 2012. Giliran kerja di bagian pembuatan komponen
sudah dijalankan sampai malam hari walau tak bisa digenjot sampai tiga shift
guna menjaga jangan sampai mesin rusak. PTDI juga sudah mulai kembali
merekrut karyawan baru bidang produksi, terutama lulusan D3 permesinan dan
STM sebagai operator mesin, selain insinyur.
Kita berharap ini adalah turn around setelah pemangkasan
karyawan menjadi 4.500 dari semula 15 ribu orang yang begitu menggegerkan
lebih dari satu dekade lampau. Beban kerja semakin bertambah setelah Airbus
Military memindahkan fasilitas produksi pesawat angkut ringan C-212 ke
Bandung mulai 2012 yang memaksa PTDI membangun hanggar produksi baru guna
menampung jig-jig perakitannya.
Tanpa R-80, mau tak mau PTDI memang harus memperbesar kapasitas produksinya.
Karena itu, suntikan modal besar dari pemerintah ke PTDI yang bisa digunakan
BUMN strategis itu untuk membuat proyek masa depan, termasuk mungkin
membangkitkan kembali N-250 dari kuburnya, tak bisa dihindarkan.
Laku atau tidaknya penjualan R-80 nantinya, risiko yang akan
ditanggung PTDI tak akan terlalu besar mengingat mereka hanya akan membuat
pesawat dengan fasilitas yang juga bisa dimanfaatkan untuk membuat pesawat
lain, kecuali jig perakitannya.
Satu hal yang harus diingat, PTDI dibangun bukan sebagai
perusahaan pembuat komponen pesanan pabrikan pesawat besar, seperti Airbus
atau Boeing, bisnis yang menjadi andalan utama dan lifeline bagi PTDI saat
krisis lalu. Lagi pula, keuntungan terbesar dalam industri ini adalah membuat
dan menjual pesawat, bukan mengerjakan komponen pesanan orang lain.
PTDI adalah sebuah industri dirgantara yang memiliki kemampuan
dalam riset dan pengembangan pesawat, sebuah kapasitas yang hanya bisa diasah
melalui proyek pesawat baru yang memberi peluang pembelajaran bagi para
insinyurnya. Para pembuat N-250 sebagian besar sudah senior dan berkarya di
berbagai industri dirgantara global sehingga yang tersisa di Bandung adalah
700 insinyur muda yang butuh tantangan dan pengalaman dalam pengembangan
produksi pesawat. Sepertinya, R-80 akan cukup menantang bagi mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar