Jumat, 17 April 2015

Presiden, Petugas Partai atau Konstitusi?

Presiden, Petugas Partai atau Konstitusi?

Andi Irmanputra Sidin  ;  Ahli Hukum Konstitusi/Tata Negara
MEDIA INDONESIA, 16 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KETUA Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam pidato pembukaan Kongres IV PDIP di Bali menyinggung banyak hal. Yang paling berkesan, pidato itu memiliki perspektif konstitusi dan konstitusionalisme yang mewah. Dalam pidato tersebut ada beberapa pernyataan yang sangat menarik untuk perlu saya kutip kembali secara lebih lengkap.

“Saudara-saudara sekalian, kepeloporan Indonesia di atas, hanya terjadi karena semangat juang. Mereka berjuang dengan penuh keyakinan, tanpa terpengaruh oleh opini yang dipublikasikan. Inilah dasar-dasar kepemimpinan Indonesia. Kepemimpinan yang menyatu dengan rakyat, dan pada saat bersamaan, setia pada konstitusi. Kesetiaan pada konstitusi ini sifatnya mutlak. Pemimpin memang harus menjalankan kewajiban konstitusionalnya tanpa menghitung apa akibatnya.“

Ucapan Megawati itu saya yakin bukan hanya pemanis bibir, bahwa sejak reformasi 1998, ia salah satu presiden yang paling menonjol memiliki karakter kuat dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya. Sependek pengetahuan, saya belum pernah tahu bahwa Megawati ketika menjadi presiden tiba-tiba mengubah apa yang sudah diputuskannya karena terjadi serangan opini terhadapnya, dan kemudian menunjuk seolah bawahannyalah yang bersalah. Apalagi jika hanya terjadi perbedaaan pendapat atas keputusan yang sudah dikeluarkannya. Megawati tidak pernah mencabut keputusannya atas dasar opini yang berbeda terjadi di publik. Megawati adalah pemimpin yang selalu teguh dengan keyakinannya, meski saya atau mungkin sebagian berbeda pendapat dengan keputusan tersebut.

Di sinilah saya pernah katakan sebelum Pemilu 2014, bahwa demokrasi yang tumbuh di era derasnya irisan industri dan informasi yang cenderung bergerak `liar', maka demokrasi konstitusional kita mem butuhkan sosok presiden yang berkarakter kuat bahkan kalau perlu `kepala batu' (bugis: matedde ati) yang penting tidak mabecco (sangat angkuh, angkara). Sosok presiden inilah yang bisa menjadi penyeimbang implikasi arus demokrasi itu yang bisa jadi mengancam urat nadi bahkan jantung dari konstitusi itu sendiri.

Di bagian lain dalam pidatonya Megawati mengatakan, “Saudara-saudara, hal lain yang perlu saya sampaikan di sini.... Kesadaran awal ketika saya memberikan mandat kepada Bapak Jokowi adalah komitmen ideologis yang berpangkal dari kepemimpinan Trisakti. Suatu komitmen untuk menjalankan pemerintahan negara yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Konsepsi ini adalah jawaban atas realitas Indonesia yang begitu bergantung dengan bangsa lain. Konsepsi Trisakti inilah yang menjadi kepentingan utama partai. Pekerjaan rumah yang lainnya dalah bagaimana mengatur mekanisme kerja antara pemerintah dan partai politik pengusungnya. Hal ini penting, mengingat hubungan keduanya adalah kehendak dan prinsip dalam demokrasi itu sendiri. Landasan konstitusionalnya pun sangat jelas.... Hukum demokrasilah yang mengatur itu, bahwa presiden dan wakil presiden memang sudah sewajarnya menjalankan garis kebijakan politik partai. Untuk itulah, mengapa kebijakan partai menyatu dengan kehendak rakyat, dan mengapa partai harus mengorganisir rakyat sehingga suara-suara yang tersembunyi sekalipun dapat disuarakan partai.... Atas dasar konstitusi pula, saya berulang kali menyampaikan kepada Presiden, pegang teguhlah konsitusi itu. Berpijaklah pada konsitusi karena itulah jalan kenegaraan.Penuhilah janji kampanye-mu, sebab itulah ikatan suci dengan rakyat. Dalam kaitannya dengan tugas konstitusi pula, PDI Perjuangan mengingatkan kembali terhadap tugas pemimpin nasional untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.“ (http:// http://www.tribunnews.com/nasional/2015/04/09/ pidato-lengkap-megawati-soekarnoputri-dikongres-iv-pdip)

Dalam pidato itu kemudian istilah `petugas partai' itu dimunculkan kembali, yang kemudian memang menimbulkan impresi bahwa presiden akan menjadi intrumen oligarki partai atau instrumen ketua umum partai dalam melampiaskan ambisi pribadinya. Dalam konteks tersebut maka presiden sebagai petugas partai memang `haram adanya'. Bahkan saya pernah mengatakan sebelum Pemilu 2014 lalu bahwa kalau presiden harus diperhadap-hadapkan dalam sebuah pengambilan kebijakan antara kepentingan konstitusi dan kepentingan partai, apalagi cuma kepentingan pribadi ketua umumnya yang bertentangan dengan konstitusi, maka konstitusi akan menghalalkan presiden tersebut menjadi `Malin Kundang' alias anak durhaka bagi partai pengusungnya sendiri, bahkan ketua umum partainya.

Bagaimanapun presiden adalah petugas konstitusi yang akan telah berjanji di hadapan rakyat seluruh Indonesia bahwa akan menjalankan kewajibannya sebagai presiden sesuai konstitusi selurus-lurusnya (Pasal 9 UUD 1945). Oleh karena itu, kalau kepentingan partai berhadap-hadapan dengan kepentingan konstitusi, ketika partai lebih menyatu dengan arus opini dan per sepsi politik yang implikasi mengancam konstitusi, maka presiden harus lebih memilih mengagungkan konstitusi.

Dalam konteks ini, tampaknya sikap Megawati ini tidak ada yang berhadap-hadapan dengan konstitusi, karena ketika kepentingan ideologis partai berupa kepemimpinan Trisakti--berdikari, berdaulat, dan berkepribadian--agar kita tidak menjadi bangsa yang bergantung pada bangsa lain hendak disematkan di pundak Presiden Jokowi, tentunya saya pun dan mungkin masih banyak lagi rakyat Indonesia di luar partai akan berada di belakang barikade Presiden guna pemenuhan kepentingan itu. Bagaimanapun berdikari, berdaulat, dan berkepribadian seperti denyut nadi dan darah yang mengalir dalam konstitusi kita.

Dalam konteks kepentingan ideologis itu maka presiden dan kabinetnya disebut petugas partai tidak perlu diperhadap-hadapkan dengan rakyat, kecuali petugas partai itu sudah bergeser dari arus konstitusi itu sendri. Apalagi Megawati sendiri menyerukan agar Presiden berpegang teguh kepada konstitusi, karena itu sesungguhnya adalah jalan kenegaraaan.

Oleh karena itu, kita semua berhak mengatakan bahwa Presiden adalah petugas kita, termasuk parpol pengusungnya, nonpengusungnya, bahkan Megawati itu sendiri.

Namun, sebelum akhir, saya pun perlu menyampaikan bahwa tidak perlu khawatir dengan deparpolisasi. Bagaimanapun rakyat melalui konstitusi seluruhnya sudah sepakat guna memandatkan hanya kepada parpol untuk setiap lima tahun mencari dan menyajikan prasmanan kader-kader pemimpin negara (Pasal 6A dan 22E UUD 1945). Sebaliknya, parpol pun tidak perlu matempo (bugis: angkuh) bahwa orang yang nonparpol kemudian tiba-tiba berada di seputar kekuasaan negara dan serta-merta bisa distigma sebagai penumpang gelap, oportunis, atau penyalip di tikungan.

Hal ini juga sangat tidak diinginkan oleh konstitusi. Yang penting jangan sampai orang tersebut mengoyak konstitusi dengan motif melakukan penguasaan atas sumber daya, bumi, air, kekayaaan alam, serta cabang produksi bangsa kita. Hal itu yang harus bersama kita waspadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar