Jumat, 17 April 2015

Aku Cinta Populer dan Uangmu!

Aku Cinta Populer dan Uangmu!

Teuku Kemal Fasya  ;  Antropolog;
Mengajar tentang Semiotika, Komunikasi dan Perubahan Budaya
SATU HARAPAN, 16 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Iklan yang dibuat Wina Lia, 40 tahun di media sosial telah menjadi kehebohan publik. “Penawaran Langka Abad Ini!!! Beli rumahnya sekaligus bisa mengajak pemiliknya menikah”. Sebuah iklan dengan redaksi langka telah melambungkan namanya ala selebritas. 

Tentang peran media sosial yang membuat seseorang nobody menjadi terkenal bukan hal aneh. Kita lihat bagaimana Justin Bieber, Andy McKee, Psy Gangnam Style, Norman Kamaru, Raditya Dika, Eka Gusni, Keong Racun, dll, bisa menjadi figur publik penting karena media sosial, portal online, dan televisi yang sukses membangun citra berkali-kali lebih cepat dibandingkan media cetak. 

Dengan bekal “berbeda dan unik (different and distinctive)” dari kebanyakan awam, mereka menjadi artis. Akhirnya segala “keunikan dan perbedaan” mereka menjadi “sesuatu”, digilai publik, masuk ke dalam imajinasi dan selera kebanyakan orang. Itulah yang disebut dengan budaya pop!

Banalitas Popisme

Jika yang diinginkan Wina Lia menjadi populer, ia sudah merengkuhnya dengan cepat. Iklan menjual rumah sekaligus pemiliknya sudah menyebar ke pelbagai bentuk pemberitaan. Videografi ia sedang menelpon dengan gaya mendesah dan mengangguk-anggukkan kaki putihnya sudah bisa dinikmati oleh oleh siapa pun melalui pemberitaan televisi atau shared link ke telpon genggam cerdas.

Setiap kita mungkin pernah berada dalam situasi terkenal. Sebuah tulisan saya tentang semiotika undian calon presiden pada saat pilpres beberapa waktu lalu menyebar dan terbaca publik dengan cepat. Dalam 24 jam telah ada lima ribu pembaca. Para pembaca itu menyebarkan lagi melalui pelbagai media lain dengan tautan di facebook, twitter, dan google+. Padahal portal online yang mempublikasi tulisan saya itu belum cukup mapan dari sisi finansial dan belum kuat dari segi redaksi. Hanya seminggu pembacanya telah tembus 15 ribu!

Apa yang menyebabkan tulisan itu menyebar begitu cepat? Pertama, yang jelas penyampaiannya tidak teoritis, langsung masuk ke pokok masalah, berpraktik wacana, dan tambahan sedikit sambal retorika-politis di sana-sini. Bandingkan dengan berapa banyak pembaca jurnal dan buku serius di era dunia yang berlari cepat seperti sekarang ini? Artikel pendek lebih menjadi bacaan publik. Pengetahuan bukan lagi narasi besar, tapi particulus ide atas situasi sekarang dan di sini.

Kedua, pembaca sesungguhnya sudah mengetahui tentang keberadaan tulisan itu melalui “gosip” di kalangan netizen dan polemiknya. Bagi kelompok yang menganggap tulisan itu mendiskriminasikan calon presidennya maka tulisan itu dituduh pesanan. Namun bagi kelompok yang setuju maka dianggap itu tulisan ideal. Mereka kembali menjadi distributor ide ke kalangan lain. Jadi, popularitas adalah perpaduan mekanisme komunikasi “publik” dan keinginan mereka mengonsumsi, mendistribusi dan/atau mereproduksinya kembali.

Demikian pula dengan iklan Wina Lia. Ia tahu bahwa meskipun janda cantik, ia tidak seperti Cita Citata atau Ayu Tinting yang punya banyak talenta. Dari segi umur ia sudah “sangat matang” untuk memulai dari bawah. Iklan itu mengambil strategi bahasa yang ringkas tapi menyentil kesadaran awam; mengomodifikasi dua properti sekaligus: rumah dan dirinya!

Dengan cepat pula ia menjadi objek konsumsi. Terbukti telah ada 600 penelpon yang bersedia memenuhi pembelian rumah itu, sebagian besar adalah pengusaha Arab dan Malaysia. Ia masuk dalam kesadaran massa borjuis dalam hubungan budaya pop. Ia secara sempurna - istilah Theodor W. Adorno – terpenjara ke dalam “kekuasaan komoditas”.
                                                   
Siapa yang peduli atas asas kemanfaatan (utility)? Wina Lia adalah janda dua anak. Di sini yang bergerak adalah citra cermin (mirror image) melalui mekanisme pemantul citra yaitu iklan dan media. Wina bernilai bukan kepribadiannya, tapi kompleksitas citra yang dibangun oleh impresario pembentuk citra baru.

Impresario ini memberikannya nilai lebih (surplus value) sekaligus nilai tukar (exchange-value). Sekarang terbukti, Wina telah lebih sibuk memenuhi undangan talk show dan tampil televisi dibandingkan menuntaskan penjualan rumah. Popularitasnya adalah investasi yang berharga. Buktinya sudah ada yang menawar berkali-kali lipat jika mau dinikahi, tapi ia bergeming.

Kini masyarakat tidak lagi peduli seberapa tinggi pendidikannya, seberapa berbobot filosofinya  tentang pernikahan, dan seberapa canggih strategi pemasaran yang dilakukan. Yang penting saat ini ia menjadi “perempuan bagi semua orang”, orang “jenius” pertama yang membuat ide menjual rumah sekaligus pemiliknya. Upayanya itu telah tersebar tanpa batas geografi, teritorial, dan kultural. Ia sudah diliput oleh media-media internasional seperti BBC, Time, Canada Standard, Huffington Post, dll..

Banalitas Cinta

Hal lain yang akan diulas adalah aspek pernikahan dalam iklan. Bagaimana ia bisa menjadi sesuatu yang otentik, menemukan pujaan hati yang tepat melalui iklan? Bagaimana memaknai cinta di tengah jejaring media sosial kompleks, mencari somebody di sana yang masih gelap tersaput kabut?

Sebenarnya Wina bukan orang pertama yang ingin mendapatkan jodoh melalui iklan. Iklan konvensional di media cetak telah dilakukan berjuta-juta keturunan Adam untuk mencari kekasih hati. Meskipun tidak persis sama, media sosial juga memiliki fungsi iklan melalui aksi “eksbisionisme” sang penggunanya– karena ada kesempatan meletakkan foto profil (tapi kadang tidak seindah warna aslinya berkat editing foto canggih) dan status pikiran (state of mind) yang tersedia. Bukan barang baru jika facebook, path, twoo, atau instagram sudah menyatukan banyak percintaan menjadi pernikahan. Sebagian kekal dan sebagian lagi berantakan.

Situasi ini sudah pernah disitir oleh filsuf Jean-Franscois Lyotard sebagai efek hadirnya era baru yang disebut posmodernisme. Posmodernisme bukan sekedar gelombang teknologi dan hancurnya totalitas pengetahuan, tapi juga terbentuknya nilai-nilai sosial baru yang dianut oleh masyarakat sipil yang berhubungan dengan apa yang dia percayai, rasai, dan pikirkan. Mereka membangun kebaruan nilai-nilai hidup berdasarkan Die Zeitgeist – istilah GWF Hegel: gairah zaman yang sedang berjalan.

Tentu saja konsep tentang sakralitas pernikahan dan hubungan suami-istri pun berubah. Pernikahan atas dasar cinta yang tulus seperti banyak ditulis kitab suci dan roman klasik didekonstruksi dan direkonstruksi dalam bentang karpet postindustrial yang menjanjikan sekaligus mengancam masa depan.

Demikian pula arti cinta, kesetiaan, dan perselingkuhan tidak lagi terperangkap dalam makna lama. Telah muncul spritualitas baru dari masyarakat posmodernisme yang mengartikan cinta lebih progresif dan subjektif dibandingkan grand-narration masa lalu. Kadang arti cinta dalam Zeitgeist saat ini memiliki umur lebih pendek atau tergantung pada hal-hal lain seperti materi, posisi, kekayaan, popularitas, dsb. Atau bisa jadi ia menjadi cinta secara platonis tapi praksis ia berwujud pragmatis Dewey-tian.

Kisah dalam novel Paulo Coelho, Adultery (2014) – edisi bahasa Indonesia berjudul Selingkuh (Januari 2015) - tentang sosok Linda, istri dari suami kaya-raya dan pengertian, tinggal di pusat peradaban Eropa Barat, serta memiliki anak-anak yang pintar adalah impian banyak orang. Ia juga menjalankan peran sebagai jurnalis bukan untuk nafkah tapi sebagai ekspresi diri. Secara umum ia adalah tipe keluarga bahagia dalam konteks birokrasi masyarakat konsumeristik.

Namun dalam perjalanan hidupnya dan umur 36 ia merasakan kebosanan dan neraka karena inti kebahagiaan belum dijumpainya. Sehingga akhirnya ia terlibat perselingkungan dengan narasumbernya, seorang politikus yang juga teman lama SMA. Waktu-waktu percintaan itu dirasakan ikut meremajakannya. Ia tergetar oleh pengakuan cinta sejati yang telah lama hilang. Ia tersulut api yang tak pernah padam. Ia mengambil resiko baru bersama kekasih masa depan.

Kisah novel Paulo Coelho mewakili kondisi posmodernitas saat ini. Namun ada juga sisi antagonistik dari post-modernism, ketika ia menjadi ruang banalitas baru. Dengan memakai perspektif filsuf Perancis lain, Jean Baudrillard, cinta saja tidak cukup, harus ada garansi lain, yaitu materi, kekayaan, kesenangan hedonistik, dan aspek hiperrealitas lainnya untuk menunjangnya, seperti yang diimpikan Wina dan perempuan lain.

Dalam konteks banalitas cinta itu, maka konstruksi keindahannya menjadi sedalam kacamata masyarakat posindustrial, yaitu masyarakat penyaksi (the society of the spectacle) dan bukan refleksi. Maka saat ini kita dengan mudah menemukan cinta via Blackberry Messenger dan teknologi komunikasi modern. Jika tak ada pesan mesra, ikon-ikon psikologis, dan foto-foto gairah dalam tunggangan dunia hiperrealitas, maka tak jua ada cinta!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar