Jumat, 17 April 2015

Tarik-Ulur Nasib SKK Migas, BUMN Khusus Solusinya?

Tarik-Ulur Nasib SKK Migas,

BUMN Khusus Solusinya?

Aryo Djojohadikusumo  ;  Anggota Komisi VII DPR RI
MEDIA INDONESIA, 16 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

EKSISTENSI Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dulu BP Migas, mengalami ketidakpastian pasca-Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan No. 36/PUU-X/2012 yang salah satu amarnya menyatakan lembaga ini inkonstitusional. Demi menghindari terjadinya kekosongan hukum, sejumlah langkah dilakukan, antara lain keluarnya Perpres No.9/2013. Pada Pasal 2 ayat (1) Perpres dikatakan SKK Migas berkedudukan sebagai pengelola kegiatan hulu, berbeda dengan UU Migas yang memosisikannya sebagai pengendali yang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama. Selain itu, Perpres juga menyatakan keberadaan SKK Migas beserta segala kewenangan yang melekat padanya berlaku sampai diundangkannya UU Migas baru meskipun sudah masuk Prolegnas 2015, tetapi perjalanannya masih panjang.

Dapat dilihat kerentanan eksistensi lembaga ini, tarik-ulur terjadi terutama menyangkut bentuknya. Versi UU Migas di Pasal 45 tegas menyebutkan SKK berstatus sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN), tetapi dinyatakan mereduksi hak menguasai negara atas sumber daya migas.

Berbagai masukan untuk menuntaskan ketidakpastian sampai kepada Menteri ESDM, salah satunya menjadikan SKK Migas BUMN Khusus (BUMN-K). Salah satu pengusul, Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) berharap status baru SKK Migas itu akan membuatnya lebih optimal mengeksplorasi potensi migas yang dimiliki negara. Mereka diharapkan layaknya badan usaha biasa, seperti menjual jatah migas pemerintah dan mencari dana untuk mempercepat eksplorasi blok migas. Tim ini juga yakin sebagai BUMN khusus, operasional SKK Migas tidak akan berbenturan dengan status PT Pertamina (persero) yang bakal didorong untuk menjadi perusahaan minyak global.

Berbagai alternatif solusi itu hendaknya dipertimbangkan secara matang, terutama menyangkut keselarasannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Tanpa bermaksud menegaskan UU lain yang terkait, pada tulisan ini saya hanya menggunakan UU BUMN dan UU Keuangan Negara sebagai instrumen dialektika. Diawali dengan pertanyaan, apakah UU ini berlaku terhadap BUMN-K dan jika tidak, apa cantolan hukumnya? Kembali pada Perpres 9/2013 yang menyebut UU Migas (baru) dapat melegitimasi. Namun, sayangnya beleid itu belum ada hingga kini. Di UU Migas sekarang pun, keberadaan lembaga-lembaga yang terkait dengan pengelolaan migas limitatif pengaturannya.

Berpegang pada penamaannya (BUMN), seharusnya UU BUMN berlaku terhadapnya sesuai dengan perintah Pasal 3. Adapun jika UU ini berlaku, pada konsiderans jelas disebutkan BUMN berkedudukan sebagai pelaku kegiatan ekonomi. Pertanyaannya, apakah pelaku layak membuat kebijakan atau regulasi untuk mengatur sesama pelaku ekonomi lainnya? Jika ada pelaku lain yang melakukan pelanggaran, dapatkah pelaku tersebut melakukan penindakan dan seberapa forceful (kuatkah) itu?

Selanjutnya mengenai bentuk, Pasal 9 hanya mengakui Persero dan Perum sebagai bentuk BUMN. UU mewajibkan output yang sama terhadap keduanya, yaitu melakukan penyediaan barang dan atau jasa dalam framework maksud dan tujuan BUMN di Pasal 2 ayat (1), di antaranya mengejar keuntungan, perintis, dan penyelenggaraan kemanfaatan umum. Framework itu tidak relevan dengan tupoksi pengawasan yang diemban SKK Migas berdasarkan Pasal 44 UU Migas dan Pasal 90 PP 35/2004. Apakah pengawasan pelaksanaan Kontrak Kerja Sama dikategorikan sebagai jasa? Dalam konteks itu, perintah di ayat (2) agar kegiatan BUMN harus disesuaikan dengan maksud dan tujuan dalam ayat 1, perlu ditaati.

Hal yang paling mencolok, UU BUMN memang dikonstruksikan sebagai aturan main bagi addressat yang kedudukannya sebagai pelaku operasional, bukan pembuat kebijakan dan pengawas. Jika SKK Migas akan menjadi BUMN-K, apa artinya akan hands on kegiatan operasi hulu, agar keberadaannya paralel dengan semangat BUMN? Ataukah BUMN-K akan diberikan semacam partisipasi interes meskipun minoritas, agar tidak dianggap menggerus penguasaan negara? Apakah porsi minor itu efektif untuk melakukan pengendalian? Dalam dialektika tersebut, pertanyaan tentang kompetensi dan kejelasan pembagian porsi dengan PT Pertamina (persero) jelas akan timbul kemudian.

Lebih lanjut, mengenai asal mula modal BUMN-K, apakah menggunakan mekanisme penyertaan modal versi UU BUMN yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan? Perlu dipertimbangkan bahwa UU Migas sudah mengatur anggaran biaya operasional didasarkan pada imbalan (fee) dari pemerintah, sedangkan Perpres No.9/2013 mengatur biaya operasional berasal dari jumlah tertentu dari bagian negara, dari setiap kegiatan hulu yang besarannya diusulkan oleh Menteri ESDM untuk ditetapkan oleh Menkeu. Aturan itu yang eksisting berlaku sehingga jika akan disesuaikan dengan mekanisme UU BUMN, apakah penyertaan modal untuk BUMN-K ini akan bersumber dari APBN?

Jika ya, UU Keuangan Negara akan berlaku terhadapnya, yakni Pasal 24 ayat (1) mengatakan penyertaan modal dari APBN dapat diberikan kepada perusahaan negara.Hubungan keuangan tersebut juga menimbulkan tugas sekaligus kewenangan bagi Menkeu untuk membina dan mengawasi BUMN-K ini, sebagaimana Pasal 24 ayat (3) UU Keuangan Negara mengatur. Berbeda dengan versi UU Migas dan Perpres 9/2013, yakni Menteri ESDM yang bertindak sebagai pengendali dan pengawas SKK Migas.

Tulisan ini memang tidak saya maksudkan untuk menentukan salah benarnya BUMN-K dari perspektif pribadi. Namun, sebagai pemantik, untuk sama-sama berdialek mencermati konsep kelembagaan yang notabene baru ini. Harapannya, jika pun SKK Migas akan dijadikan BUMN-K, pilihan itu dilandasi sejumlah konsep yang lebih jelas, sehingga tidak menimbulkan gap dengan tatanan konsep hukum yang selama ini sudah mapan.

Publik sudah cukup bingung dengan suguhan karut-marut hukum dalam kurun waktu terakhir ini yang sarat dengan terobosan-terobosan yang menimbulkan kekacauan sistem hukum. Harapan kita agar tidak ada celah hukum pada keberadaan lembaga ini yang memicu judicial review, sehingga dapat optimal menjalankan fungsinya sebagai pengaman keuangan dan kepentingan negara dari sektor migas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar