Peran
Eksternal dalam Konflik Internal Partai
Firman Noor ; Pengajar pada Program Studi Ilmu Politik
Universitas;
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN SINDO, 14 April 2015
Peran mediasi pihak eksternal dalam penyelesaian konflik kerap
dibutuhkan dalam rangka segera menghentikan konflik baik yang bersifat
sementara ataupun permanen.
Dalam beberapa kasus politik peran pihak eksternal itu terbukti
mampu dapat menghentikan atau menyelesaikan konflik-konflik yang sulit bahkan
telah dianggap tidak mungkin dihentikan. Sebut saja misalnya konflik antara
etnis Tutsi dan Hutu ataupun antara Pemerintah RI dan GAM.
Meski mampu dengan baik menyelesaikan sejumlah persoalan pelik
terutama pada kasus-kasus yang berskala internasional, peran eksternal atau
pihak ketiga dalam kasus konflik internal partai, terutama dalam kasus
Indonesia tidaklah berakhir dengan manis. Peran pihak eksternal dalam banyak
kasus justru makin mengacaukan dan memperumit situasi.
Dari PSII hingga Golkar
Pada masa Orde Baru peran pihak eksternal dalam hal ini
intervensi pemerintah dalam konflik-konflik internal partai demikian
terasakan. Dalam konflik itu, pemerintah mengondisikan situasi yang pada
akhirnya memaksa satu di antara kedua kelompok yang bertikai ”meminta
petunjuk” atau saran dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik internal
yang ada.
Situasi ini dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai pintu masuk
bagi ”pembenahan” partai, yang pada intinya mengamankan pihak-pihak yang
dianggap ”ramah rezim”, yakni mereka yang mudah diajak kerja sama untuk
memuluskan agenda dan kepentingan pemerintah agar dapat menguasai partai.
Pada 1970-an situasi ini terjadi misalnya, pada kasus yang menimpa PSII. Kala
itu ada pertikaian antara kelompok PSII yang dipimpin oleh MCH Ibrahim versus
kelompok TM Gobel.
Kelompok yang pertama dipersepsikan sebagai antirezim karena
dituduh tidak sepakat dengan ide Fusi Partai yang dicanangkan Orde Baru.
Persepsi antirezim ini dimanfaatkan oleh kelompok Gobel untuk meminta
dukungan pemerintah agar mendukung eksistensi kelompok mereka dan membenarkan
berbagai manuver untuk mendongkel keberadaan kelompok Ibrahim yang jelasjelas
terpilih secara sah dan demokratis pada Kongres Nasional Ke-33 pada 1971.
Perebutan Kantor DPP PSII oleh kelompok Gobel didiamkan, bahkan
juga sebenarnya direstui, oleh pemerintah, yang bahkan tidak lama setelahnya
justru mengundang kelompok Gobel di bawah pimpinan Anwar Cokroaminoto untuk
bersama- sama pimpinan partaipartai Islam yang lain menandatangani
kesepakatan fusi ke dalam PPP pada 1973. Undangan ini bentuk pengakuan
sepihak kepada kelompok Gobel, pihak yang dianggap lebih sah oleh pemerintah.
Valina Singka memersepsikan situasi ini sebagai bentuk
intervensi pihak eksternal yakni pemerintah yang berujung pada terjadi sebuah
kudeta yang disusul dengan pemakzulan kelompok yang sah di tubuh PSII
(Singka, 2014). Situasi yang kurang lebih sama terjadi lagi pada konflik PPP
dan PDI, tentu saja dengan aksentuasi yang berbeda. Pada kasus PPP, konflik
antara kelompok NU dan Parmusi, berujung pada banyak kekecewaan terutama bagi
kalangan NU.
Manuver Jaelani Naro, tokoh yang dipandang ”ramah rezim”, untuk
melakukan koreksi secara sepihak tokoh-tokoh NU dalam daftar caleg sementara
yang diajukan PPP ke LPU pada 1981 bergayung sambut dalam kepentingan rezim
untuk memastikan bahwa caleg yang disampaikan oleh partai ini adalah yang
sejalan dengan agenda dan kepentingan rezim.
Kelompok NU yang merasa dirugikan melakukan perlawanan, termasuk
di antaranya dengan mengungkit asas proporsionalitas komposisi jumlah kursi
dan alat kelengkapan dewan (AKD) di DPR yang harusnya lebih banyak dimiliki
oleh kalangan NU ketimbang Parmusi. Pertikaian ini sebetulnya kelanjutan saja
dari konflik sejenis di beberapa tahun sebelumnya.
Namun, dengan dukungan Fraksi Golkar dan ABRI, kalangan Parmusi
mampu mempertahankan beberapa posisi AKD yang dituntut kelompok NU untuk
dikembalikan. Sikap berat sebelah pemerintah dan pertikaian yang tidak berujung
dengan kelompok yang ”ramah rezim” menyebabkan kemudian NU melalui Muktamar
Situbondo 1984 secara resmi menarik dukungan formalnya kepada PPP.
Pertikaian Megawati dan Suryadi di PDI yang bermuara pada
peristiwa 27 Juli 1996 jelas pula tidak dapat terlepas dari ada intervensi
pemerintah. Kekhawatiran pemerintah terhadap sosok Megawati berujung pada
penyerbuan Kantor DPP PDI oleh sekelompok orang yang digambarkan sebagai
tegap dan berambut cepak.
Pertikaian di tubuh partai ini ”diselesaikan” dengan cara-cara
kekerasan oleh Rezim Soeharto, yang berakhir pada pembersihan partai ini dari
para pendukung Megawati, figur yang jelas lebih populis dan mengakar
ketimbang Suryadi. Sebelum era Jokowi, peran eksternal yang berdampak pada
tidak terselesaikan konflik internal secara memuaskan terjadi pada kasus
”konflik serial” di tubuh PKB.
Pada kasus PKB ini, baik yang menghadapkan kelompok Matori
versus Alwi, Alwi versus Gus Dur, maupun Gus Dur versus Muhaimin, peran
eksternal yang dimaksud lebih pada pihak pengadilan. Studi mengenai konflik
internal partai ini mengarah pada kesimpulan bahwa keputusan pihak pengadilan
yang cenderung bertele-tele dan terkesan ambigu telah menimbulkan peluang
multitafsir yang kemudian dimanfaatkan oleh masing-masing pihak yang bertikai
untuk membenarkan keberadaannya (Kamarudin
2008).
Konflik justru berakhir setelah salah satu pihak yang bertikai
berinisiatif membentuk partai baru demi menghadapi pemilu yang berikutnya.
Pada era Jokowi, situasi yang terjadi pada Orde Baru muncul kembali.
Pemerintah tampak berkepentingan untuk membela dan mempertahankan
kelompok-kelompok yang ”ramah rezim”.
Dengan memanfaatkan momentum konflik internal, uluran tangan
pemerintah melalui Menteri Yasonna, yang katanya membantu keutuhan partai,
sejatinya sia-sia karena ada kepentingan terselubung untuk menyingkirkan
pihak yang berpotensi menyulitkan pemerintah di kemudian hari.
Sudah jelas bagi kita semua bahwa komitmen kelompok Romahurmuziy
(PPP) dan Agung Laksono (Golkar) untuk berkhidmat ke KIH menjadi kartu pas
bagi berolehnya dukungan pemerintah kepada mereka. Untungnya, keputusan
pengadilan saat ini tidak ambigu sehingga mampu meredam potensi multitafsir.
Namun, jelas, peran eksternal yakni pemerintah telah turut membuat persoalan
konflik internal dua partai, PPP dan Golkar, menjadi berkepanjangan.
Posisi Rezim
Kasus-kasus di atas mengindikasikan bahwa sejauh kepentingan
yang tidak tulus, baik dalam rangka mempertahankan rezim atau membela
kelompok yang propemerintah menjadi acuannya, maupun ambiguitas keputusan
hadir, peran eksternal dalam konflik internal partai justru kontraproduktif
bagi upaya penyelesaian konflik.
Untuk itu, kepentingan sedemikian harus disingkirkan oleh siapa
saja yang peduli terhadap upaya penyelesaian konflik internal partai,
termasuk pemerintah. Meski akar persoalan konflik tetap berasal dari internal
partai, peran eksternal jelas tidak dapat disepelekan. Berlarut-laturnya
penyelesaian konflik partai jelas merugikan karena partai akhirnya lebih
disibukkan pada pembenahan internal ketimbang berkiprah di tengah masyarakat.
Pun intervensi yang kebablasan dan tanpa solusi yang objektif
dari pihak ketiga hanya akan membawa preseden bagi pembenaran perilaku buruk
rezim terhadap partai, yang ujungnya jelas mematikan upaya pendewasaan partai
itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar