Hakim
Mulut Undang-Undang
Romli Atmasasmita ; Guru Besar
(Emeritus) Universitas Padjadjaran
|
KORAN SINDO, 14 April 2015
Judul tulisan di atas pernah terlontarkan secara sinis terhadap
fungsi dan peranan hakim abad ke-18 karena hakim dipandang hanya membaca dan
melaksanakan undang-undang pidana (hukum materiil).
Hakim dinilai tidak mendasarkan putusannya pada keyakinan mengenai
fakta atas suatu peristiwa dan keadaan-keadaan yang terjadi yang mendorong
terjadi peristiwa konkret. Intinya hakim pada abad ke-18 tidak berbeda dengan
hakim perdata hanya menemukan kebenaran formal mengenai penerapan ketentuan
UU pada peristiwa konkret.
Hakim saat itu tidak membedakan siapa pelaku kejahatan dan
keadaan kejiwaan pelakunya serta ihwal yang meringankan dan memberatkan dan
alasan pemaaf dan alasan pembenar. Perubahan zaman kehidupan dan peradaban
masyarakat abad ke-18 telah berkembang dan kini mengalami perubahan
signifikan mengenai nilai-nilai kehidupan bagi umat manusia.
Perubahan terpenting dan signifikan daripadanya adalah bahwa
kini setiap manusia memiliki hak yang paling asasi yang merupakan karunia
Tuhan Yang Maha Esa sejak ia dilahirkan.
Dalam perkembangannya hak asasi yang melekat bahkan sejak lahir
diklasifikasikan pada dua jenis: hak asasi yang dapat dikesampingkan (derogable rights) seperti hak ekonomi,
hak sosial, dan hak politik; dan hak yang tidak dapat dikesampingkan (nonderogable rights) seperti hak
hidup. Hak asasi tersebut melekat pada setiap manusia tidak terbatas pada
tempat maupun waktu dan abadi sepanjang manusia hidup bersama dalam
lingkungan masyarakatnya.
Tempat setiap orang hidup dalam masyarakatnya tentu berbeda-beda.
Perbedaan disebabkan beberapa aspek seperti aspek geografis, aspek sosial dan
budaya, serta aspek hukum, termasuk kesadaran hukum masyarakat dan penegak
hukumnya. Dahulu dalam HIR khusus hukum acara pidana tidak dikenal/diakui
fungsi dan peranan hakim sebagai penggali nilai-nilai keadilan
masyarakat—vide Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman dan ketentuan Pasal
10 ayat (1).
Di sana diatur bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara
hanya karena tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Sedangkan kedua
ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman tersebut mencerminkan bahwa hakim wajib
berperan proaktif (tidak pasif) dan juga tidak menjadi ”mulut undang-undang”
terhadap setiap orang yang memperjuangkan keadilan bagi dirinya terhadap
penyalahgunaan wewenang/ kekuasaan.
Perjuangan menuntut keadilan adalah perjuangan sepanjang hidup
dan sepanjang waktu. Karena itulah, putusan Mahkamah Konstitusi bahwa
peninjauan kembali (PK) untuk tujuan menemukan keadilan dapat dilakukan
berkali-kali; bukan hanya sekali atau tidak boleh lebih dari satu kali.
Perjuangan manusia sejak Deklarasi HAM Universal sampai saat ini
(abad ke-20 dan ke-21) adalah perjuangan untuk melindungi hak asasi bagi
setiap orang dalam setiap kepentingan apa pun sebagaimana telah dicantumkan
di dalam UUD 1945 (BAB XA).
Ketentuan Pasal 28 J bahkan memberikan kewenangan kepada negara
untuk membatasi HAM setiap orang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Perhatikan dan pahami ketentuan ini khusus kalimat, mengapa dan
untuk tujuan apa negara harus membatasi HAM setiap orang dan harus dengan
cara bagaimana pembatasan tersebut dilakukan. Doktrin dan ketentuan hukum
pidana yang berpegang teguh pada asas legalitas sebagaimana bunyi Pasal 1
ayat (1) KUHP dengan tafsir bahwa penemuan hukum hanya dapat dilakukan pada
hukum pidana materiil tidak sesuai dan relevan lagi dengan perkembangan HAM
dalam masyarakat demokratis.
Pola itu hanya cocok pada rezim totaliter dan oligarki di mana
posisi kekuasaan membuat UU dan kekuasaan eksekutif terhadap warganya tidak
lagi neben, melainkan untergeordnet. Pandangan sedemikian
itu juga berseberangan dengan arus masyarakat sipil yang demokratis. Mengapa?
Ini disebabkan hukum pidana formal atau hukum acara pidana
selain merupakan tata cara bagi pengadilan bagaimana menerapkan hukum pada
peristiwa konkret adalah juga bagaimana pengadilan (inklusif hakim) bekerja
tidak berpihak (imparsial) dan mandiri untuk menemukan kebenaran
materiil—sesungguh dan sebenar-benarnya—sesuai dengan nilai keadilan HAM
setiap pencari keadilan.
Bagaimana mungkin dalam suatu masyarakat demokratis, setiap
warganya tidak dapat atau terhambat untuk mencari dan memperoleh keadilan hanya
karena fakta suatu peristiwa tidak ada pengaturannya di dalam UU? Selain
alasan tersebut, fakta perkembangan hukum (baca UU) tidak selalu sejalan atau
sesuai dengan perkembangan nilai keadilan dalam masyarakat bukanlah pemikiran
baru karena sejak semester I (Pengantar Ilmu Hukum) telah diajarkan di
Fakultas Hukum.
Beranjak dari pemikiran sosiologi hukum dan teori hukum
pembangunan dan teori hukum progresif bahkan teori hukum integratif,
sejatinya nilai-nilai yang terdapat di balik putusan hakim Sarpin dalam
Praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan haruslah diakui objektif dan memperoleh
justifikasi filosofis yuridis dan sosiologis. Harusnya putusan tersebut
dipandang sebagai pintu masuk bagi setiap orang untuk memperjuangkan hak
asasinya yang telah ditetapkan sebagai tersangka, ditahan, dan dituntut tidak
berdasarkan hukum.
Atau juga karena tindakan kekuasaan yang telah melampaui batas
kewenangan atau tindakan mencampur adukkan wewenang atau tindakan sewenang-
wenang penyelenggara negara atau aparat penegak hukum (Pasal 17 UU Nomor30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar