Pendidikan
Musik, Apa Perlunya?
Ananda Sukarlan
; Pianis dan komponis Indonesia yang tinggal
di Spanyol
|
JAWA POS, 12 April 2015
Ya, ya, harus kita akui bahwa pendidikan musik (klasik) untuk
anak di bawah tujuh tahun saat ini memang cukup populer di keluarga kalangan
menengah ke atas. Tetapi, apakah benar bahwa pendidikan musik, apalagi musik
klasik, itu hanya berfungsi sebagai ’’hiburan’’, menyibukkan anak supaya
tidak mengerjakan hal-hal lain yang tidak positif, atau malah hanya untuk simbol
status orang tua?
Di sini saya mencoba menganalisis keadaan ini setelah beberapa
tahun terakhir aktif mengunjungi beberapa kota di Jawa dan Sumatera untuk
memberikan masterclasses kepada para pianis muda yang jumlahnya kini ratusan.
Karena saya adalah pemusik dari aliran ’’klasik’’, setiap kata ’’musik’’
disebut, itu berarti musik klasik.
Berdasar hasil sejumlah riset, musik terbukti sangat berguna
untuk banyak hal, baik untuk kecerdasan maupun perkembangan jiwa. Meskipun
kegiatan mendengarkan musik sudah umum di semua lapisan masyarakat negara
berkembang dan maju, faktor penentu kebutuhan biologis mendengarkan musik
masih belum diketahui. Menurut sebuah studi baru, mendengarkan musik klasik
meningkatkan aktivitas gen yang menghasilkan sekresi dopamin serta memperkuat
daya pembelajaran dan memori. Mendengarkan musik merupakan fungsi kognitif
yang kompleks dari otak manusia, yang diketahui dapat menginduksi beberapa
perubahan neuronal dan fisiologis. Namun, sebagian besar latar belakang
molekuler yang mendasari efek mendengarkan musik belum diketahui.
Sebuah kelompok studi di Finlandia telah menyelidiki bagaimana
mendengarkan musik klasik memengaruhi profil ekspresi gen dari pendengar yang
fokus (bukan mendengarkan musik hanya sebagai latar belakang/sambilan), baik
yang memang penikmat musik klasik maupun yang belum pernah mendengarnya.
Dari mendengarkan musik itulah, berkembang keinginan anak untuk
mencoba memainkan alat musik yang efeknya jauh lebih daripada sekadar
mendengarkan karena bermain instrumen melibatkan kegiatan fisik. Sayangnya,
masih banyak yang percaya bahwa keberhasilan anak-anak dalam kehidupan hanya
bergantung kepada keterampilan kognitif serta kecerdasan yang diukur pada tes
IQ dan segala hal yang bersifat logis. Juga dipercaya bahwa sekolah harus –
terutama– difokuskan kepada pengisian otak anak-anak dengan sebanyak mungkin
pengetahuan faktual, bukan pada pertumbuhan kreativitas, imajinasi,
keterampilan psikologis, dan pola pikir. Keterampilan psikologis itu
mencakup, antara lain, rasa ingin tahu dan keuletan untuk memecahkan masalah,
kesabaran untuk bertahan pada tugas berat (dan mungkin membosankan), dan
kemampuan menunda kepuasan.
Memegang alat musik di tangan anak Anda bisa menjadi kunci untuk
mengembangkan keterampilan psikologis tersebut. Jangan salah paham. Anak-anak
kita tidak perlu belajar instrumen dengan harapan bahwa mereka akan menjadi
seorang musisi profesional. Sama halnya, mereka mempelajari buku matematika
tidak dengan harapan akan menjadi ahli matematika, bukan?
Pendidikan keterampilan koordinasi indera dan otak itu yang
lebih berguna untuk perkembangan mereka. Ingat, pendidikan musik yang lengkap
HARUS melibatkan proses pembacaan partitur, menerjemahkannya menjadi suara
yang diproduksi oleh alat musik, dan memadukan not-not itu menjadi melodi dan
harmoni yang indah, sehingga ada tiga indera yang terlibat; penglihatan,
pendengaran, dan perasaan (seberapa besar tekanan di tuts piano, atau senar
biola/gitar, atau tiupan di flute harus dikontrol oleh sensitivitas).
Setelah mereka fasih membaca partitur serta menguasai teknik
permainan instrumen yang paling dasar dengan baik, baru kemudian mereka dapat
mengembangkan kreativitas dalam berimprovisasi. Nah, saya mengamati dua hal
pokok yang harus benar-benar dipahami oleh anak yang baru belajar memainkan
instrumen.
1. Kerja keras selalu mengalahkan bakat. Berlatih berkali-kali
untuk mengasah keterampilan dengan cara yang benar mengaktifkan sirkuit di
otak kita. Tentu saja untuk beberapa gelintir orang, ada keterampilan tertentu
yang lebih mudah pada awalnya daripada yang lain. Tetapi, orang-orang yang
berlatih keterampilan secara rutin setiap hari untuk ’’merekamnya’’ ke dalam
otak mereka selalu akan jauh melampaui orang-orang yang tidak berlatih cukup.
Bakat memang membantu dan saya tidak bisa menyangkal bahwa anak
yang berbakat membutuhkan lebih sedikit waktu dan tenaga untuk menguasai satu
keterampilan. Tetapi, bakat itu kadang-kadang malah berbahaya untuk menjadi
alasan untuk malas. Berlatih alat musik membantu anak-anak belajar kebenaran
universal ini: kerja keras mengalahkan bakat.
2. Kegagalan/kesalahan itu adalah satu hal yang sangat lazim dan
sangat diperbolehkan. Kita justru akan menjadi lebih baik karena pernah
mengalami kegagalan. Tidak ada nilai merah, tidak ada yang buruk ketika kita
bermain sesuatu yang ’’salah’’ dalam musik semasa periode pendidikan. Untuk
menjadi terampil memainkan alat musik –dan menjadi terampil pada apa pun–,
kita membutuhkan perjuangan. Dalam kasus anak/pemula, mereka perlu bermain
buruk sebelum terdengar lebih baik sehingga dapat membedakannya; mereka perlu
bekerja pada hal-hal di luar apa yang mereka mampu untuk mendapatkan yang
lebih baik; dan itu berarti mereka harus diperbolehkan membuat kesalahan.
Perbedaannya sangat jelas antara apa yang kita mampu lakukan dan
apa yang kita ingin bisa lakukan, dan fokus kepada perbedaan itulah yang
membuat kita hari ini menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Belajar alat
musik memungkinkan kita untuk belajar dan tumbuh justru dari kesalahan kita.
Dua hal itulah yang saya amati pada ratusan pianis muda yang
pernah mengikuti kompetisi piano Ananda Sukarlan Award selama bertahun-tahun
ini. Banyak sekali pianis muda yang akhirnya ’’gugur’’ hanya karena ’’kalah’’
di kompetisi. ’’Kekalahan’’ diinterpretasi sebagai ’’kegagalan’’ dan
dilanjutkan dengan ’’ah, mungkin memang (anak) saya sebaiknya tidak
melanjutkan main piano’’. Padahal, sebuah kompetisi yang berkategori
’’junior’’ (bukan seperti Ananda Sukarlan Award International yang diadakan
di Jakarta, yang memang untuk para profesional dan dapat menentukan langkah
awal karir mereka) memfokuskan justru ke apa yang saya sampaikan tadi:
kompetitor terbesar seorang peserta bukannya sesama pianis, melainkan diri
peserta itu sendiri. Sebab, dia dituntut untuk bermain lebih baik daripada
apa yang dia kira bisa dilakukan.
Mengikuti kompetisi membuat pianis muda berlatih untuk mengatasi
tekanan di panggung atau stage fright
(demam panggung). Demam panggung ini yang sering membuat penampilan kita
lebih rendah daripada ekspektasi sebelumnya. Tetapi, itulah gunanya musik:
untuk berkomunikasi dengan publik serta menyampaikan ekspresi yang terlalu
dalam untuk bisa disampaikan dengan kata-kata. Dan dalam musik, kebebasan
berekspresi itu bisa dimanifestasikan secara total.
Itu adalah sebuah kemewahan yang hanya ada di bidang seni. Jika
kita berhasil menaklukkan diri kita sendiri, itu akan menghasilkan sebuah
kepuasan tersendiri yang unik karena berekspresi lewat musik membutuhkan
kejujuran, tanpa perlu jaim. Saya selalu mengatakan, ’’Jika Anda ingin mengerti saya, dengarlah omongan saya. Tetapi, jika
Anda ingin mengenal saya, dengarlah musik saya.’’ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar