Membangun
"dari Dalam"
Tjahjo Kumolo
; Menteri Dalam Negeri (2014-2019)
|
KOMPAS, 14 April 2015
Para ahli demokrasi pernah berdebat tentang apakah demokrasi
datang dari luar atau dari dalam masyarakat. Kelompok yang cenderung anti
asing tentu saja percaya, demokrasi datang dari luar dan tidak sesuai nilai
bangsa kita.
Kelompok yang moderat (dan kita semua harusnya ada di sini!)
mengakui memang demokrasi sebagai sistem politik diperkenalkan dari luar.
Namun, sebagai semangat hidup bernegara yang berlandaskan penghargaan
terhadap kemanusiaan serta sebagai tatanan nilai yang bertujuan baik,
demokrasi lahir dan berkembang di setiap kelompok masyarakat.
Nenek moyang kita, yang barangkali tidak belajar teori
berdemokrasi, juga mengenal dan menjalankan prinsip demokrasi. Ahli dunia
bernama Larry Diamond (2008) pernah mengatakan dalam bukunya bahwa demokrasi
lahir dan hidup dalam setiap bentuk masyarakat. Itulah yang sesungguhnya
terjadi.
Sejak menjalankan tugas sebagai Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet
Kerja Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, kami menemui penguatan-penguatan
yang membenarkan hipotesis tadi. Bahwa demokrasi sesungguhnya datang dari
dalam masyarakat. Untuk itu, hidup dan matinya demokrasi ditentukan oleh
hidup dan matinya sebuah masyarakat. Dengan kata lain, kami ingin mengatakan
dengan optimistis bahwa apa pun masalah yang dihadapi bangsa ini, demokrasi
tidak akan pernah mati.
Kinerja 100 hari
Pada saat 100 hari pemerintahan, banyak yang memberikan
penilaian. Ada yang positif dan ada yang cenderung negatif. Kemendagri tidak
mempunyai target 100 hari kerja. Namun, dalam tiga bulan awal, kami secara
keseluruhan menjabarkan secara operasional visi-misi Kabinet Kerja dengan
mempersiapkan agenda prioritas pada 2015-2016. Sudah ada peraturan pemerintah
(PP) yang dikeluarkan, antara lain PP tentang tata cara pengusulan atau
pengangkatan kepala daerah dan peraturan presiden tentang tata cara
pelantikan kepala daerah seperti yang digunakan dalam pelantikan Basuki
Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Selain itu, telaah terhadap perda-perda kontroversial juga
penting. Ada 100 perda bermasalah dikembalikan kepada pemerintah provinsi
atau kabupaten/kota yang membuatnya. Perda bermasalah ini sangat serius
karena sebagian berkaitan langsung dengan integrasi nasional dan masa depan
Indonesia.
Kita ingin menjamin kehidupan multikultural ketika setiap
komponen bangsa saling menerima dan menghargai. Tiap komponen masyarakat,
tidak ada istilah mayoritas-minoritas, adalah bagian utuh dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Keindonesiaan ini yang harus kita jaga dan
perkuat sehingga kami berani membatalkan sejumlah perda bermasalah.
Selain itu, secara struktural, pembenahan internal sudah
berjalan, di antaranya (1) Revisi anggaran Kemendagri dan APBD dalam rangka
optimalisasi pembangunan infrastruktur daerah; (2) Memperpendek jalur
perizinan dan mendorong terbentuknya perizinan satu atap (one stop service)
di level daerah; (3) Percepatan penetapan APBD provinsi dan kabupaten/kota;
(4) Percepatan pengenaan pajak kendaraan bermotor tahun 2015; (5) Pembangunan
unit gratifikasi untuk bebas korupsi; (6) Penerbitan permendagri tentang
penetapan perbatasan daerah di 22 daerah perbatasan, termasuk pembangunan
sarana di 17 daerah perbatasan.
Daerah perbatasan adalah masalah krusial karena banyak konflik
di daerah terkait perbatasan. Begitu terkontaminasi dengan persoalan
kemiskinan, konflik politik, dan sebagainya, masalah perbatasan menjadi bom
waktu. Kemendagri menempatkan ini sebagai salah satu prioritas.
Yang juga krusial adalah masalah perbatasan dengan negara lain.
Dua hal yang menjadi konsentrasi di situ. Pertama, soal administratif wilayah
perbatasan dan segala konsekuensi teknis lainnya. Ini barangkali tidak begitu
rumit. Yang cukup kompleks adalah problem nasionalisme. Masalah kedua ini
sudah lama menjadi perhatian pemerintah, tetapi belum ada solusi tepat.
Kita tidak ingin orang Indonesia yang tinggal di perbatasan
tidak merasa sebagai Indonesia. Faktanya, barangkali ada yang merasa begitu.
Kami ingin itu diperbaiki. Bahwa mereka yang berada di perbatasan bukan saja
warga Indonesia yang sah, melainkan garda terdepan yang menjaga keutuhan
NKRI.
Warga perbatasan bersama aparat keamanan adalah kekuatan bangsa
dan negara di wilayah terluar. Mereka telah berjasa menjaga NKRI dan ke depan
harus diperkuat supaya kita makin bertumbuh hebat.
Lahir di masyarakat
Refleksi tiga bulan awal bekerja membawa kami pada kesimpulan
baik bahwa demokrasi sebenarnya lahir dari masyarakat. Karena itu, membangun
demokrasi harus dengan membangun masyarakatnya. Masyarakat dan demokrasi itu
tak terpisahkan seperti tubuh dan jiwa.
Trisakti Bung Karno menyadarkan kita bahwa menjadi masyarakat
yang berdikari adalah syarat menjadi bangsa besar. Karena kekuatan sebuah
bangsa dan sebuah demokrasi ada dan datang dari dalam masyarakat. Nawacita
sebagai penjabaran Trisakti adalah upaya konseptual pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla untuk memperkuat jati diri bangsa dan mewujudkan
kemakmuran bagi rakyat.
Menatap masa depan Indonesia, meski dengan sambil memperhatikan
keseimbangan global, tidak harus bersandar pada kekuatan di luar bangsa. Kita
perlu kembali ke dalam diri dan menggali kekuatan bangsa supaya kita bisa
memperkuat diri dengan tetap berhubungan baik dengan dunia global.
Revolusi mental yang menjadi kekhasan gagasan Presiden Joko
Widodo adalah gerakan untuk kembali ke dalam diri. Gerakan untuk kembali ke
dalam hakikat masyarakat dan membangun Indonesia dari dalam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar