Sabtu, 18 April 2015

Generasi Z dalam Ujian Nasional

Generasi Z dalam Ujian Nasional

Helmy Faishal Zaini  ;  Ketua Fraksi PKB DPR dan Anggota Komisi X DPR
JAWA POS, 17 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kecuali hiruk-pikuk pelaksanaannya, apa yang paling dominan dalam ingatan kita ketika berbicara tentang ujian nasional (unas)? Ya, dari tahun ke tahun sejak pertama sistem unas digulirkan, kita kerap, bahkan rutin, berjibaku dan bertungkus lumus bahu-membahu menyukseskan pelaksanaannya.

Pemerintah melalui Kemendikbud menjadi pihak yang sangat sibuk oleh perhelatan unas. Mulai lelang pengadaan perlengkapan, distribusi soal, distribusi lembar jawaban, sampai pengawasan yang ekstraketat hingga melibatkan kepolisian.

Pihak kedua yang tidak kalah sibuk menyambut unas adalah sekolah. Aneka persiapan demi suksesnya pelaksanaan unas juga dijalankan pihak sekolah dengan sangat serius. Bahkan, sebagaimana yang terjadi dan diberitakan, banyak sekolah yang ’’terlampau serius’’ ingin terlihat sukses dalam menyelenggarakan unas. Mereka pun menempuh jalan yang keliru dan tidak bisa dibenarkan. Singkat kata, demi merengkuh angka kelulusan yang sempurna, mereka melakukan kecurangan dan menghalalkan segala cara.

Pihak ketiga yang juga dibuat supersibuk adalah siswa, orang tua siswa, serta keluarga mereka. Betapa tidak, demi ingin dinyatakan lulus unas, seorang siswa harus rela berjibaku mengikuti serangkaian kursus, jam pelajaran tambahan, serta aneka tryout. Melelahkan dan tidak hanya menguras tenaga, tetapi juga pikiran.

Pertanyaan yang patut dikemukakan, berapa ongkos pelaksanaan unas yang melibatkan sekian banyak perhatian tersebut? Ongkos yang dimaksud tentu saja bukan ongkos materi semata, namun lebih dari itu, yakni ongkos-ongkos di luar materi yang meliputi psikis dan sosial.

Berdasar data yang dirilis Kemendikbud, tahun ini pemerintah harus menyediakan 35 juta eksemplar naskah unas untuk 7,3 juta siswa tingkat SMP-SMA. Berapa biaya cetak naskah sebanyak itu? Berapa biaya distribusinya ke segenap provinsi di Indonesia? Yang pasti, jawabannya adalah mahal. Mahalnya materi masih bisa diupayakan. Namun, mahalnya psikologis dan pikiran, itulah yang harus kita diskusikan.

Pelaksanaan unas selama ini, terus terang, sesungguhnya lebih didominasi serangkaian kolosalisme. Pelaksanaan unas yang melibatkan banyak pihak membuat kita dengan mudah menyimpulkan bahwa yang tampak di permukaan adalah kesan sibuk dengan hal-hal teknis perhelatan unas yang cenderung bersifat kolosal tersebut.

Hal itu sesungguhnya patut disayangkan. Sebab, unas yang sejatinya merupakan alat untuk memetakan kemampuan siswa yang semestinya bisa diikuti dengan rasa riang tanpa tekanan dan beban apa pun oleh siswa ternyata malah berlaku laiknya teror yang menghantui siswa.

Inisiatif Kemendikbud pada 2015 yang menyelenggarakan rintisan unas berbasis daring (dalam jaringan), pada titik ini, perlu kita dukung dan apresiasi. Sebab, menurut hemat saya, bagaimanapun, pelaksanaan unas berbasis daring setidaknya memiliki tiga keunggulan.

Pertama, tereliminasinya kolosalisme. Pihak sekolah tinggal menyediakan komputer dan jaringan internet yang disinkronkan dengan server Kemendikbud. Hal itu sangat mengurangi watak kolosal yang selama ini kita rasakan setiap pelaksanaan unas. Dengan sistem lembar soal yang sudah masuk ke komputer siswa, sekolah tidak perlu lagi repot-repot menyiapkan gudang penyimpanan soal. Begitu pula, pihak sekolah tidak perlu repot begadang hanya demi menjaga berkas-berkas soal.

Kedua, penghematan anggaran. Kepala Puspendik Kemendikbud Nizam berpendapat, unas berbasis komputer setidaknya bisa menghemat anggaran hingga 20 persen atau Rp 70 miliar. Sebagian besar anggaran digunakan untuk pencetakan, penggandaan, distribusi naskah soal, serta pengamanan naskah hingga tiba di sekolah.

Angka Rp 70 miliar bukanlah angka kecil. Dengan penghematan, Kemendikbud bisa mengalihkan anggaran tersebut untuk program-program peningkatan pendidikan di sektor lain. Sebut saja, membantu rehabilitasi sekolah serta menguatkan kapasitas kelembagaan dan pendidikan keprofesian untuk guru.

Ketiga, terwadahinya aspirasi generasi Z. Generasi Z, sebagaimana dikatakan Radhar Panca Dahana (2012), adalah mereka yang terlahir pada rentang 1995–2005. Generasi itu juga kerap dikatakan generasi melek digital.

Sejak lahir, anak-anak generasi Z sangat karib dengan gadget, laptop, telepon seluler, dan tentu saja internet. Keakraban mereka dengan seperangkat alat teknologi tersebut tentu saja tidak sepenuhnya bisa kita simpulkan baik. Sebab, teknologi, sebagaimana dikatakan Einstein, adalah sebilah pisau yang tergantung di tangan siapa ia akan bermanfaat.

Pada momen itulah pelaksanaan unas dengan sistem daring penting dilakukan. Akan sangat sayang jika ’’keterampilan’’ generasi Z yang sejak lahir mengenal teknologi di kanan kirinya tidak dimanfaatkan.

Berdasar tiga argumen itulah, saya berpendapat, pelaksanaan unas dengan sistem daring harus dipertahankan dan wajib dikembangkan. Langkah Kemendikbud yang sudah merintis pelaksanaan Unas 2015 dengan sistem daring di 515 sekolah tingkat SMA-SMK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia sudah semestinya kita apresiasi.

Sistem unas daring memang tidak sepenuhnya terbebas dari kendala. Listrik mati, server turun, dan sebagainya menjadi pekerjaan rumah berikutnya. Namun, yang penting untuk dicatat, kendala-kendala tersebut mencakup persoalan teknis semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar